Disarikan dari Dialog Islam
Cahaya Ruhani Subuh K 911 FM
Oleh : Asep Gunawan
Moderator : Agus Sopyan
Menurut penelitian beberapa pakar sosiologi muslim, pertumbuhan Islam di Indonesia saat ini sedang mengalami fluktuasi peningkatan yang sangat menggembirakan. Semakin suburnya animo dan “ghirah” masyarakat dalam pembangunan masjid, menjadi indikasi yang sangat kuat. Hampir di setiap lingkungan RW – atau bahkan di lingkungan RT, sekarang ini tidak sulit untuk menemukan sarana peribadatan bagi umat Islam ini. Motivasi hadits Nabi yang berbunyi :”Barang siapa yang membangun masjid, maka akan dibangunkan istana oleh Allah nanti di surga”, sepertinya menjadi salah satu penyebab yang paling utama (kausa efisien).
Namun, melihat penomena yang berkembang saat ini, sepertinya pernyataan itu tidak seluruhnya benar. Sebab, animo dan “ghirah” masyarakat dalam pembangunan masjid, umumnya tidak sepenuhnya ditindak-lanjuti dengan pemanfaatan (pemakmuran) masjid secara maksimal. Padahal, dimensi pemanfaatan masjid secara maksimal merupakan rangkaian usaha yang wajib diikuti setelah selesai pembangunan masjid.
Maka dari itu, tidaklah mengherankan bila ditemukan banyak sekali masjid-masjid yang selesai dibangun, kemudian setelah itu terbengkalai tidak difungsikan sebagaimana seharusnya. Masjid hanya sekedar difungsikan menjadi tempat ibadah dalam pengertian mahdhah saja. Sehingga akhirnya, perlahan tapi pasti, masjid-masjid itu seakan kehilangan fungsi nilai universalnya yang strategis. Ini tentu saja tidak relevan dengan fungsi masjid sebagai tempat ibadah (taqarrub) kepada Alllah SWT dan sekaligus menjadi tempat pendidikan umat Islam dalam pengertian yang luas.
Terjadinya penomena di atas, tentu erat kaitannya dengan minimnya pengetahuan tentang fungsionalisasi masjid sebagai sarana pembinaan masyarakat, dan ditambah pula dengan minimnya pengetahuan tentang pengelolaan (manajemen) masjid dimiliki oleh masyarakat Islam. Tulisan ini ingin mengetengahkan bahwa manajemen merupakan dimensi paling penting dalam pemanfaatan (pemakmuran) masjid sebagai medium pembinaan bagi masyarakat Islam.
Pengertian Masjid
Lafadz masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali dalam al-Qur’an. Secara etimologi (lughoh), lafadz masjid diambil dari akar lafadz “sajada – yasjudu – sujuudan”, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Dalam bentuk lahiriyah, secara syari’at, yang dinamakan sujud adalah meletakan dahi, kedua telapak tangan, lutut, dan kaki ke bumi. Dari sinilah akarnya, mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan sujud (sebagai rangkaian dari shalat) dinamai masjid (isim makan), yang artinya “tempat bersujud”.
Menurut Quraish Shihab dalam buku “Wawasan al-Qur’an”, dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat umat Islam. Namun, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, maka hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mencerminkan kepatuhan dan ketundukan kepada Allah semata. Dengan demikian, masjid harus menjadi pangkal tempat seorang muslim bertolak, sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh.
Masjid Pada Masa Rasulullah SAW
Ketika datang pada suatu daerah, usaha pertama yang dilakukan oleh Rasulullah adalah mendirikan masjid sebagai pusat aktivitas. Pada waktu itu, bentuk masjid yang didirikan sangatlah sederhana, yakni bangunan berlantaikan tanah dan beratapkan daun pelepah kurma. Setelah Rasulullah dan para sahabatnya mencapai kejayaan, barulah kemudian didirikan bangunan masjid yang besar dari atsar-atsar masjid yang sangat sederhana tersebut.
Masjid pertama yang didirikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itu adalah Masjid Quba’, dan kemudian disusul dengan Masjid Nabawi di Madinah. Walaupun terjadi kontradiksi tentang masjid yang didirikan atas dasar takwa (sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Taubah 108) – apakah Masjid Quba’ atau Masjid Nabawi, yang jelas kedua masjid yang didirikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itu telah memenuhi kriteria landasan dan fungsi ketakwaan sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.
Pada masa Rasulullah juga, pernah berdiri sebuah bangunan masjid yang didirikan oleh orang-orang munafik – yang dikenal dengan Masjid Dhiror (masjid pembawa kemudhorotan). Karena bukan didirikan atas fungsi masjid yang sebenarnya, yakni atas dasar takwa, maka bangunan masjid tersebut kemudian diruntuhkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, serta kemudian menjadikan lokasi masjid itu tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang. Kisah Masjid Dhiror ini kemudian diabadikan dalam al-Qur’an Surat al-Taubah ayat 107.
Masjid Nabawi yang didirikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah, telah berperan besar dalam pembentukan identitas dan mentalitas ketakwaan umat Islam dengan beragam aktivitas kegiatan yang diprogramnya. Menurut catatan sejarah, tidak kurang dari sepuluh peran yang telah diemban oleh Masjid Nabawi, yakni :
1. Sebagai tempat ibadah (shalat dan dzikir).
2. Sebagai tempat konsultasi dan komunikasi masalah sosial-budaya, sosial-ekonomi, dan sosial-politik.
3. Sebagai tempat pendidikan.
4. Sebagai tempat santunan sosial.
5. Sebagai tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
6. Sebagai tempat pengobatan korban perang.
7. Sebagai tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
8. Sebagai auditorium dan tempat menerima tamu.
9. Sebagai tempat menawan tahanan, dan
10. Sebagai pusat penerangan atau advokasi agama.
(Dikutip dari Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Mizan).
Bagaimana Memfungsikan Masjid Pada Masa Kini
Fungsi dan peranan masjid seperti yang dijalankan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itu tentunya sangat berat untuk diterapkan pada masa sekarang ini. Disamping situasi dan kondisi umat Islam pada waktu itu dengan masa sekarang jelas-jelas berbeda, juga tentu saja untuk pengelolaannya akan memerlukan konsepsi manajemen yang harus benar-benar modern.
Berkaitan dengan situasi dan kondisi umat Islam pada masa Rasulullah yang dapat memposisikan masjid mampu berperan begitu luas, Quraish Shihab menjelaskan faktor-faktor penyebabnya, yakni : Pertama, karena kondisi umat Islam pada waktu itu masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama. Kedua, karena kemampuan pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan program kegiatan masjid. Dan ketiga, karena manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid - baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam atau khatib, maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan musyawarah (syura).
Sedangkan berkaitan dengan persoalan kedua, yakni mengenai konsepsi manajemen yang harus benar-benar modern, tentu saja diperlukan upaya serius untuk merumuskannya. Diantara beberapa pokok pikiran yang harus dijadikan pedoman dalam penyusunan rumusan konsepsi manajemen masjid itu adalah sebagai berikut :
1. Harus berangkat dari dasar pemikiran bahwa masjid memiliki fungsi yang sangat strategis, yakni, disamping sebagai tempat ibadah (dzikir) kepada Allah SWT, masjid juga harus difungsikan menjadi tempat pembinaan dan pemberdayaan umat Islam.
2. Oleh karena itu, harus diupayakan terwujud berbagai sarana masjid yang menyenangkan dan menarik bagi umat Islam – baik yang dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat ataupun sakit, serta kaya ataupun miskin.
3. Untuk mengejar fungsi dan pemanfaatan berbagai sarana di atas, maka harus disusun program-program kegiatan masjid yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Islam serta kemampuan sarana dan dana.
4. Program-progam tersebut harus didukung pula dengan sumber daya manusia yang berlandaskan “the right man on the right job and place”. Atau dengan kata lain, harus dikelola oleh struktur manajerial yang memiliki kompetensi.
Dalam Muktamar Risalatul Masjid di Mekah pada tahun 1975, mengenai masalah sarana dan prasarana masjid ini telah didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan dan peralatan yang memadai untuk :
1. Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
2. Ruang–ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar-masuk tanpa bercampur dengan pria - baik digunakan untuk shalat maupun untuk pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK).
3. Ruang pertemuan dan perpustakaan.
4. Ruang poliklinik serta ruang untuk memandikan dan mengkafankan mayat.
5. Ruang bermain, berolah raga, dan berlatih bagi remaja.
Yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan di Masjid
Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dijaga dan dipelihara. Segala hal yang diduga akan mengurangi kesucian masjid atau mengesankan hal tersebut, tidak boleh dilakukan di dalam masjid maupun diperlakukan terhadap masjid. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah Saw sangat menganjurkan agar memakai wangi-wangian saat berkunjung ke masjid dan melarang mereka yang baru saja memakan bawang untuk memasukinya.
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman : “Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.”
Masjid harus mampu memberikan ketenangan dan ketentraman pada para pengunjung dan lingkungannya. Karenanya, Rasulullah melarang keras orang yang melakukan perniagaan di dalam masjid. Dalam salah satu haditsnya beliau mengatakan : “Jika engkau mendapati seseorang menjual atau membeli di dalam masjid, katakanlah kepadanya : “Semoga Allah tidak memberikan keuntungan bagi perdaganganmu”. Dan bila engkau mendapati seseorang mencari barangnya yang hilang di dalam masjid, maka katakanlah : “Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu.”
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab
Cahaya Ruhani Subuh K 911 FM
Oleh : Asep Gunawan
Moderator : Agus Sopyan
Menurut penelitian beberapa pakar sosiologi muslim, pertumbuhan Islam di Indonesia saat ini sedang mengalami fluktuasi peningkatan yang sangat menggembirakan. Semakin suburnya animo dan “ghirah” masyarakat dalam pembangunan masjid, menjadi indikasi yang sangat kuat. Hampir di setiap lingkungan RW – atau bahkan di lingkungan RT, sekarang ini tidak sulit untuk menemukan sarana peribadatan bagi umat Islam ini. Motivasi hadits Nabi yang berbunyi :”Barang siapa yang membangun masjid, maka akan dibangunkan istana oleh Allah nanti di surga”, sepertinya menjadi salah satu penyebab yang paling utama (kausa efisien).
Namun, melihat penomena yang berkembang saat ini, sepertinya pernyataan itu tidak seluruhnya benar. Sebab, animo dan “ghirah” masyarakat dalam pembangunan masjid, umumnya tidak sepenuhnya ditindak-lanjuti dengan pemanfaatan (pemakmuran) masjid secara maksimal. Padahal, dimensi pemanfaatan masjid secara maksimal merupakan rangkaian usaha yang wajib diikuti setelah selesai pembangunan masjid.
Maka dari itu, tidaklah mengherankan bila ditemukan banyak sekali masjid-masjid yang selesai dibangun, kemudian setelah itu terbengkalai tidak difungsikan sebagaimana seharusnya. Masjid hanya sekedar difungsikan menjadi tempat ibadah dalam pengertian mahdhah saja. Sehingga akhirnya, perlahan tapi pasti, masjid-masjid itu seakan kehilangan fungsi nilai universalnya yang strategis. Ini tentu saja tidak relevan dengan fungsi masjid sebagai tempat ibadah (taqarrub) kepada Alllah SWT dan sekaligus menjadi tempat pendidikan umat Islam dalam pengertian yang luas.
Terjadinya penomena di atas, tentu erat kaitannya dengan minimnya pengetahuan tentang fungsionalisasi masjid sebagai sarana pembinaan masyarakat, dan ditambah pula dengan minimnya pengetahuan tentang pengelolaan (manajemen) masjid dimiliki oleh masyarakat Islam. Tulisan ini ingin mengetengahkan bahwa manajemen merupakan dimensi paling penting dalam pemanfaatan (pemakmuran) masjid sebagai medium pembinaan bagi masyarakat Islam.
Pengertian Masjid
Lafadz masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali dalam al-Qur’an. Secara etimologi (lughoh), lafadz masjid diambil dari akar lafadz “sajada – yasjudu – sujuudan”, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Dalam bentuk lahiriyah, secara syari’at, yang dinamakan sujud adalah meletakan dahi, kedua telapak tangan, lutut, dan kaki ke bumi. Dari sinilah akarnya, mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan sujud (sebagai rangkaian dari shalat) dinamai masjid (isim makan), yang artinya “tempat bersujud”.
Menurut Quraish Shihab dalam buku “Wawasan al-Qur’an”, dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat umat Islam. Namun, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, maka hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mencerminkan kepatuhan dan ketundukan kepada Allah semata. Dengan demikian, masjid harus menjadi pangkal tempat seorang muslim bertolak, sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh.
Masjid Pada Masa Rasulullah SAW
Ketika datang pada suatu daerah, usaha pertama yang dilakukan oleh Rasulullah adalah mendirikan masjid sebagai pusat aktivitas. Pada waktu itu, bentuk masjid yang didirikan sangatlah sederhana, yakni bangunan berlantaikan tanah dan beratapkan daun pelepah kurma. Setelah Rasulullah dan para sahabatnya mencapai kejayaan, barulah kemudian didirikan bangunan masjid yang besar dari atsar-atsar masjid yang sangat sederhana tersebut.
Masjid pertama yang didirikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itu adalah Masjid Quba’, dan kemudian disusul dengan Masjid Nabawi di Madinah. Walaupun terjadi kontradiksi tentang masjid yang didirikan atas dasar takwa (sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Taubah 108) – apakah Masjid Quba’ atau Masjid Nabawi, yang jelas kedua masjid yang didirikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itu telah memenuhi kriteria landasan dan fungsi ketakwaan sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.
Pada masa Rasulullah juga, pernah berdiri sebuah bangunan masjid yang didirikan oleh orang-orang munafik – yang dikenal dengan Masjid Dhiror (masjid pembawa kemudhorotan). Karena bukan didirikan atas fungsi masjid yang sebenarnya, yakni atas dasar takwa, maka bangunan masjid tersebut kemudian diruntuhkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, serta kemudian menjadikan lokasi masjid itu tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang. Kisah Masjid Dhiror ini kemudian diabadikan dalam al-Qur’an Surat al-Taubah ayat 107.
Masjid Nabawi yang didirikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah, telah berperan besar dalam pembentukan identitas dan mentalitas ketakwaan umat Islam dengan beragam aktivitas kegiatan yang diprogramnya. Menurut catatan sejarah, tidak kurang dari sepuluh peran yang telah diemban oleh Masjid Nabawi, yakni :
1. Sebagai tempat ibadah (shalat dan dzikir).
2. Sebagai tempat konsultasi dan komunikasi masalah sosial-budaya, sosial-ekonomi, dan sosial-politik.
3. Sebagai tempat pendidikan.
4. Sebagai tempat santunan sosial.
5. Sebagai tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
6. Sebagai tempat pengobatan korban perang.
7. Sebagai tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
8. Sebagai auditorium dan tempat menerima tamu.
9. Sebagai tempat menawan tahanan, dan
10. Sebagai pusat penerangan atau advokasi agama.
(Dikutip dari Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Mizan).
Bagaimana Memfungsikan Masjid Pada Masa Kini
Fungsi dan peranan masjid seperti yang dijalankan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itu tentunya sangat berat untuk diterapkan pada masa sekarang ini. Disamping situasi dan kondisi umat Islam pada waktu itu dengan masa sekarang jelas-jelas berbeda, juga tentu saja untuk pengelolaannya akan memerlukan konsepsi manajemen yang harus benar-benar modern.
Berkaitan dengan situasi dan kondisi umat Islam pada masa Rasulullah yang dapat memposisikan masjid mampu berperan begitu luas, Quraish Shihab menjelaskan faktor-faktor penyebabnya, yakni : Pertama, karena kondisi umat Islam pada waktu itu masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama. Kedua, karena kemampuan pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan program kegiatan masjid. Dan ketiga, karena manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid - baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam atau khatib, maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan musyawarah (syura).
Sedangkan berkaitan dengan persoalan kedua, yakni mengenai konsepsi manajemen yang harus benar-benar modern, tentu saja diperlukan upaya serius untuk merumuskannya. Diantara beberapa pokok pikiran yang harus dijadikan pedoman dalam penyusunan rumusan konsepsi manajemen masjid itu adalah sebagai berikut :
1. Harus berangkat dari dasar pemikiran bahwa masjid memiliki fungsi yang sangat strategis, yakni, disamping sebagai tempat ibadah (dzikir) kepada Allah SWT, masjid juga harus difungsikan menjadi tempat pembinaan dan pemberdayaan umat Islam.
2. Oleh karena itu, harus diupayakan terwujud berbagai sarana masjid yang menyenangkan dan menarik bagi umat Islam – baik yang dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat ataupun sakit, serta kaya ataupun miskin.
3. Untuk mengejar fungsi dan pemanfaatan berbagai sarana di atas, maka harus disusun program-program kegiatan masjid yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Islam serta kemampuan sarana dan dana.
4. Program-progam tersebut harus didukung pula dengan sumber daya manusia yang berlandaskan “the right man on the right job and place”. Atau dengan kata lain, harus dikelola oleh struktur manajerial yang memiliki kompetensi.
Dalam Muktamar Risalatul Masjid di Mekah pada tahun 1975, mengenai masalah sarana dan prasarana masjid ini telah didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan dan peralatan yang memadai untuk :
1. Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
2. Ruang–ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar-masuk tanpa bercampur dengan pria - baik digunakan untuk shalat maupun untuk pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK).
3. Ruang pertemuan dan perpustakaan.
4. Ruang poliklinik serta ruang untuk memandikan dan mengkafankan mayat.
5. Ruang bermain, berolah raga, dan berlatih bagi remaja.
Yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan di Masjid
Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dijaga dan dipelihara. Segala hal yang diduga akan mengurangi kesucian masjid atau mengesankan hal tersebut, tidak boleh dilakukan di dalam masjid maupun diperlakukan terhadap masjid. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah Saw sangat menganjurkan agar memakai wangi-wangian saat berkunjung ke masjid dan melarang mereka yang baru saja memakan bawang untuk memasukinya.
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman : “Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.”
Masjid harus mampu memberikan ketenangan dan ketentraman pada para pengunjung dan lingkungannya. Karenanya, Rasulullah melarang keras orang yang melakukan perniagaan di dalam masjid. Dalam salah satu haditsnya beliau mengatakan : “Jika engkau mendapati seseorang menjual atau membeli di dalam masjid, katakanlah kepadanya : “Semoga Allah tidak memberikan keuntungan bagi perdaganganmu”. Dan bila engkau mendapati seseorang mencari barangnya yang hilang di dalam masjid, maka katakanlah : “Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu.”
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar