Terlepas dari penilaian evaluatif pro dan kontra terhadapnya, sistem demokrasi masih dianggap sebagai sistem politik yang memberi ekspektasi besar dapat mengeluarkan bangsa Indonesia dari keterpurukan politik. Banyak sinyalemen menyebutkan bahwa keterpurukan politik merupakan biang masalah (root of problems) dari seluruh permasalahan krusial yang ada di Indonesia. Maka dari itu, tidak mengherankan bila demokrasi menjadi wacana serius dalam proses dan dinamika politik di Indonesia. Dalam konteks politik lokal, misalnya dalam proses pemilihan kepala daerah (Pilkada), selalu ada harapan dapat berjalan sesuai dengan tuntutan demokrasi. Ada asumsi, hanya Pilkada yang berjalan demokratis yang akan melahirkan pimpinan daerah yang memiliki komitmen terhadap ethos dan moral kepemimpinan.
Salah satu pilar penting untuk mendukung tegak dan tidaknya demokrasi dalam proses dan dinamika politik lokal adalah terpeliharanya kemandirian politik elit-elit politik lokal. Tentu saja yang dimaksud elit-elit politik lokal disini tidak hanya terbatas pada elit-elit politik yang ada di partai politik saja, melainkan mereka yang secara langsung ataupun tidak langsung ikut mempengaruhi proses politik di tingkat lokal. Dalam konteks Pilkada, elit-elit politik lokal itu ada di partai politik, pemerintahan daerah (baik pejabat publik maupun para birokrat), KPUD, Panwas, unsur-unsur Muspida dan tokoh masyarakat.
Karena menafikan ketergantungan pada elit-elit politik tertentu yang memiliki akses kuat dalam “mengatur” kekuasaan di tingkat lokal, kemandirian sikap berpolitik akan melahirkan keragaman sikap politik. Lahirnya keragaman sikap politik ini dalam tataran tertentu akan memunculkan keragaman kepentingan politik yang pada titik tertentu biasanya mengkristal menjadi suatu konflik politik. Ted Robert Gurr (1980) membatasi pengertian konflik politik dengan menyebut adanya empat karakteristik minimal, yakni : (1) melibatkan dua pihak atau lebih, (2) mereka saling menentang, (3) mereka melakukan tindakan pemaksaan yang diarahkan untuk menghancurkan, melukai, merintangi ataupun mengontrol lawan-lawannya, dan (4) interaksi saling perlawanan itu dilakukan secara terang-terangan; sehingga tindakan mereka dapat dengan mudah dideteksi dan disepakati oleh pihak-pihak atau pengamat independen.
Dalam kerangka demokrasi, konflik politik adalah gejala yang dianggap wajar sepanjang ikhtiar-ikhtiar dan manuver-manuver politik yang berlangsung tidak menyalahi peraturan normatif perundang-undangan yang berlaku. Malahan dalam kacamata pendidikan politik, gejala-gejala konflik politik yang terjadi di tingkat lokal dapat menjadi media pembelajaran politik yang efektif bagi elit-elit politik dan masyarakat lokal.
Jika berhasil dikelola dengan baik oleh elit-elit politik lokal, dalam kadar tertentu adanya konflik politik dapat menjadi energi tersendiri untuk terwujudnya capaian-capaian politik yang demokratis. Paling tidak, aktor-aktor politik dan tentunya juga masyarakat lokal diperkenalkan tidak hanya pada satu pilihan sikap politik, melainkan beberapa alternatif sikap politik yang memungkinkan terjadinya kompromi, kerjasama dan konsensus politik. Sinergitas beragam alternatif sikap politik melalui kompromi, kerjasama dan konsensus politik sebagai resolusi konflik inilah yang merupakan substansi demokrasi.
Namun begitu, upaya kompromi, kerjasama dan konsensus politik sulit dapat terwujud tanpa adanya sikap kedewasaan berpolitik dari masing-masing elit politik lokal yang terlibat konflik. Kedewasaan berpolitik akan melahirkan sikap legowo yang dapat memotivasi nurani elit-elit politik lokal untuk mau duduk berdialog mencari resolusi konflik dalam satu meja; sehingga mencapai konsensus politik yang bukan saja akan menguntungkan kedua belah pihak yang berkonflik, melainkan juga masyarakat lokal sebagai pemilik kedaulatan Pilkada. Apalagi bila diperhatikan dengan seksama, yang dipertaruhkan dalam situasi konflik politik biasanya bukan hal-hal yang prinsipil dilihat dari sudut pandang kepentingan masyarakat lokal; meskipun juga bukan hal yang tidak penting dilihat dari sudut pandang kepentingan politik elit-elit politik lokal.
Sejalan dengan itu, arogansi berpolitik adalah salah satu sikap yang harus diwaspadai dan sebisa mungkin harus dijauhi oleh siapapun yang menginginkan terwujudnya proses dan dinamika politik lokal yang demokratis. Sikap arogansi berpolitik yang berlebihan hanya akan memelihara dan melanggengkan konflik yang dalam kadar tertentu dapat menyeret elit-elit politik lokal dan masa pendukungnya di tingkat akar rumput (grass-root) kepada konflik horizontal yang dapat berkembang menjadi benturan adu-fisik yang bersifat kekerasan (violent), seperti yang banyak terjadi baru-baru ini di daerah-daerah yang sedang melangsungkan Pilkada. Kita tentunya tidak menginginkan hal ini terjadi di Purwakarta.
Peristiwa 5 Nopember 2007 kemarin di kantor KPUD Purwakarta adalah satu diantara rentetan peristiwa yang wajar terjadi dalam proses dan dinamika politik lokal menuju transisi demokrasi. Akan tetapi bisa menjadi peristiwa yang kurang ajar bila resolusi konflik yang dilakukan oleh elit-elit politik lokal menggunakan cara-cara yang arogan, tidak cerdas dan tidak mencerdaskan. Sekarang tinggal kita tunggu bagaimana elit-elit politik lokal mampu merepresentasikan dirinya : apakah bekerja untuk kepentingan rakyat atau hanya untuk kepentingan sesaat (bukan sesat). Kita lihat aja nanti!!
Salah satu pilar penting untuk mendukung tegak dan tidaknya demokrasi dalam proses dan dinamika politik lokal adalah terpeliharanya kemandirian politik elit-elit politik lokal. Tentu saja yang dimaksud elit-elit politik lokal disini tidak hanya terbatas pada elit-elit politik yang ada di partai politik saja, melainkan mereka yang secara langsung ataupun tidak langsung ikut mempengaruhi proses politik di tingkat lokal. Dalam konteks Pilkada, elit-elit politik lokal itu ada di partai politik, pemerintahan daerah (baik pejabat publik maupun para birokrat), KPUD, Panwas, unsur-unsur Muspida dan tokoh masyarakat.
Karena menafikan ketergantungan pada elit-elit politik tertentu yang memiliki akses kuat dalam “mengatur” kekuasaan di tingkat lokal, kemandirian sikap berpolitik akan melahirkan keragaman sikap politik. Lahirnya keragaman sikap politik ini dalam tataran tertentu akan memunculkan keragaman kepentingan politik yang pada titik tertentu biasanya mengkristal menjadi suatu konflik politik. Ted Robert Gurr (1980) membatasi pengertian konflik politik dengan menyebut adanya empat karakteristik minimal, yakni : (1) melibatkan dua pihak atau lebih, (2) mereka saling menentang, (3) mereka melakukan tindakan pemaksaan yang diarahkan untuk menghancurkan, melukai, merintangi ataupun mengontrol lawan-lawannya, dan (4) interaksi saling perlawanan itu dilakukan secara terang-terangan; sehingga tindakan mereka dapat dengan mudah dideteksi dan disepakati oleh pihak-pihak atau pengamat independen.
Dalam kerangka demokrasi, konflik politik adalah gejala yang dianggap wajar sepanjang ikhtiar-ikhtiar dan manuver-manuver politik yang berlangsung tidak menyalahi peraturan normatif perundang-undangan yang berlaku. Malahan dalam kacamata pendidikan politik, gejala-gejala konflik politik yang terjadi di tingkat lokal dapat menjadi media pembelajaran politik yang efektif bagi elit-elit politik dan masyarakat lokal.
Jika berhasil dikelola dengan baik oleh elit-elit politik lokal, dalam kadar tertentu adanya konflik politik dapat menjadi energi tersendiri untuk terwujudnya capaian-capaian politik yang demokratis. Paling tidak, aktor-aktor politik dan tentunya juga masyarakat lokal diperkenalkan tidak hanya pada satu pilihan sikap politik, melainkan beberapa alternatif sikap politik yang memungkinkan terjadinya kompromi, kerjasama dan konsensus politik. Sinergitas beragam alternatif sikap politik melalui kompromi, kerjasama dan konsensus politik sebagai resolusi konflik inilah yang merupakan substansi demokrasi.
Namun begitu, upaya kompromi, kerjasama dan konsensus politik sulit dapat terwujud tanpa adanya sikap kedewasaan berpolitik dari masing-masing elit politik lokal yang terlibat konflik. Kedewasaan berpolitik akan melahirkan sikap legowo yang dapat memotivasi nurani elit-elit politik lokal untuk mau duduk berdialog mencari resolusi konflik dalam satu meja; sehingga mencapai konsensus politik yang bukan saja akan menguntungkan kedua belah pihak yang berkonflik, melainkan juga masyarakat lokal sebagai pemilik kedaulatan Pilkada. Apalagi bila diperhatikan dengan seksama, yang dipertaruhkan dalam situasi konflik politik biasanya bukan hal-hal yang prinsipil dilihat dari sudut pandang kepentingan masyarakat lokal; meskipun juga bukan hal yang tidak penting dilihat dari sudut pandang kepentingan politik elit-elit politik lokal.
Sejalan dengan itu, arogansi berpolitik adalah salah satu sikap yang harus diwaspadai dan sebisa mungkin harus dijauhi oleh siapapun yang menginginkan terwujudnya proses dan dinamika politik lokal yang demokratis. Sikap arogansi berpolitik yang berlebihan hanya akan memelihara dan melanggengkan konflik yang dalam kadar tertentu dapat menyeret elit-elit politik lokal dan masa pendukungnya di tingkat akar rumput (grass-root) kepada konflik horizontal yang dapat berkembang menjadi benturan adu-fisik yang bersifat kekerasan (violent), seperti yang banyak terjadi baru-baru ini di daerah-daerah yang sedang melangsungkan Pilkada. Kita tentunya tidak menginginkan hal ini terjadi di Purwakarta.
Peristiwa 5 Nopember 2007 kemarin di kantor KPUD Purwakarta adalah satu diantara rentetan peristiwa yang wajar terjadi dalam proses dan dinamika politik lokal menuju transisi demokrasi. Akan tetapi bisa menjadi peristiwa yang kurang ajar bila resolusi konflik yang dilakukan oleh elit-elit politik lokal menggunakan cara-cara yang arogan, tidak cerdas dan tidak mencerdaskan. Sekarang tinggal kita tunggu bagaimana elit-elit politik lokal mampu merepresentasikan dirinya : apakah bekerja untuk kepentingan rakyat atau hanya untuk kepentingan sesaat (bukan sesat). Kita lihat aja nanti!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar