SELAMAT DATANG DI ASGUN INSTITUTE " BANGKIT BERSAMA KAUM MUDA!!! MARI BERBUAT AGAR HIDUP BERMANFAAT " Asgun Institute

"Bangkit Bersama Kaum Muda" "Kami Siap Memegang Amanat!"

"Bangkit Bersama Kaum Muda" "Kami Siap Memegang Amanat!"
"Mari Berbuat Agar Hidup Bermanfaat"

Jumat, 25 Juli 2008

AROGANSI VS KEDEWASAAN POLITIK (Pilihan Resolusi Konflik Politik dalam Pilkada Purwakarta 2008)

Terlepas dari penilaian evaluatif pro dan kontra terhadapnya, sistem demokrasi masih dianggap sebagai sistem politik yang memberi ekspektasi besar dapat mengeluarkan bangsa Indonesia dari keterpurukan politik. Banyak sinyalemen menyebutkan bahwa keterpurukan politik merupakan biang masalah (root of problems) dari seluruh permasalahan krusial yang ada di Indonesia. Maka dari itu, tidak mengherankan bila demokrasi menjadi wacana serius dalam proses dan dinamika politik di Indonesia. Dalam konteks politik lokal, misalnya dalam proses pemilihan kepala daerah (Pilkada), selalu ada harapan dapat berjalan sesuai dengan tuntutan demokrasi. Ada asumsi, hanya Pilkada yang berjalan demokratis yang akan melahirkan pimpinan daerah yang memiliki komitmen terhadap ethos dan moral kepemimpinan.
Salah satu pilar penting untuk mendukung tegak dan tidaknya demokrasi dalam proses dan dinamika politik lokal adalah terpeliharanya kemandirian politik elit-elit politik lokal. Tentu saja yang dimaksud elit-elit politik lokal disini tidak hanya terbatas pada elit-elit politik yang ada di partai politik saja, melainkan mereka yang secara langsung ataupun tidak langsung ikut mempengaruhi proses politik di tingkat lokal. Dalam konteks Pilkada, elit-elit politik lokal itu ada di partai politik, pemerintahan daerah (baik pejabat publik maupun para birokrat), KPUD, Panwas, unsur-unsur Muspida dan tokoh masyarakat.
Karena menafikan ketergantungan pada elit-elit politik tertentu yang memiliki akses kuat dalam “mengatur” kekuasaan di tingkat lokal, kemandirian sikap berpolitik akan melahirkan keragaman sikap politik. Lahirnya keragaman sikap politik ini dalam tataran tertentu akan memunculkan keragaman kepentingan politik yang pada titik tertentu biasanya mengkristal menjadi suatu konflik politik. Ted Robert Gurr (1980) membatasi pengertian konflik politik dengan menyebut adanya empat karakteristik minimal, yakni : (1) melibatkan dua pihak atau lebih, (2) mereka saling menentang, (3) mereka melakukan tindakan pemaksaan yang diarahkan untuk menghancurkan, melukai, merintangi ataupun mengontrol lawan-lawannya, dan (4) interaksi saling perlawanan itu dilakukan secara terang-terangan; sehingga tindakan mereka dapat dengan mudah dideteksi dan disepakati oleh pihak-pihak atau pengamat independen.
Dalam kerangka demokrasi, konflik politik adalah gejala yang dianggap wajar sepanjang ikhtiar-ikhtiar dan manuver-manuver politik yang berlangsung tidak menyalahi peraturan normatif perundang-undangan yang berlaku. Malahan dalam kacamata pendidikan politik, gejala-gejala konflik politik yang terjadi di tingkat lokal dapat menjadi media pembelajaran politik yang efektif bagi elit-elit politik dan masyarakat lokal.
Jika berhasil dikelola dengan baik oleh elit-elit politik lokal, dalam kadar tertentu adanya konflik politik dapat menjadi energi tersendiri untuk terwujudnya capaian-capaian politik yang demokratis. Paling tidak, aktor-aktor politik dan tentunya juga masyarakat lokal diperkenalkan tidak hanya pada satu pilihan sikap politik, melainkan beberapa alternatif sikap politik yang memungkinkan terjadinya kompromi, kerjasama dan konsensus politik. Sinergitas beragam alternatif sikap politik melalui kompromi, kerjasama dan konsensus politik sebagai resolusi konflik inilah yang merupakan substansi demokrasi.
Namun begitu, upaya kompromi, kerjasama dan konsensus politik sulit dapat terwujud tanpa adanya sikap kedewasaan berpolitik dari masing-masing elit politik lokal yang terlibat konflik. Kedewasaan berpolitik akan melahirkan sikap legowo yang dapat memotivasi nurani elit-elit politik lokal untuk mau duduk berdialog mencari resolusi konflik dalam satu meja; sehingga mencapai konsensus politik yang bukan saja akan menguntungkan kedua belah pihak yang berkonflik, melainkan juga masyarakat lokal sebagai pemilik kedaulatan Pilkada. Apalagi bila diperhatikan dengan seksama, yang dipertaruhkan dalam situasi konflik politik biasanya bukan hal-hal yang prinsipil dilihat dari sudut pandang kepentingan masyarakat lokal; meskipun juga bukan hal yang tidak penting dilihat dari sudut pandang kepentingan politik elit-elit politik lokal.
Sejalan dengan itu, arogansi berpolitik adalah salah satu sikap yang harus diwaspadai dan sebisa mungkin harus dijauhi oleh siapapun yang menginginkan terwujudnya proses dan dinamika politik lokal yang demokratis. Sikap arogansi berpolitik yang berlebihan hanya akan memelihara dan melanggengkan konflik yang dalam kadar tertentu dapat menyeret elit-elit politik lokal dan masa pendukungnya di tingkat akar rumput (grass-root) kepada konflik horizontal yang dapat berkembang menjadi benturan adu-fisik yang bersifat kekerasan (violent), seperti yang banyak terjadi baru-baru ini di daerah-daerah yang sedang melangsungkan Pilkada. Kita tentunya tidak menginginkan hal ini terjadi di Purwakarta.
Peristiwa 5 Nopember 2007 kemarin di kantor KPUD Purwakarta adalah satu diantara rentetan peristiwa yang wajar terjadi dalam proses dan dinamika politik lokal menuju transisi demokrasi. Akan tetapi bisa menjadi peristiwa yang kurang ajar bila resolusi konflik yang dilakukan oleh elit-elit politik lokal menggunakan cara-cara yang arogan, tidak cerdas dan tidak mencerdaskan. Sekarang tinggal kita tunggu bagaimana elit-elit politik lokal mampu merepresentasikan dirinya : apakah bekerja untuk kepentingan rakyat atau hanya untuk kepentingan sesaat (bukan sesat). Kita lihat aja nanti!!

Sabtu, 28 Juni 2008

FUNGSI DAN MANAJEMEN MASJID

Disarikan dari Dialog Islam
Cahaya Ruhani Subuh K 911 FM
Oleh : Asep Gunawan
Moderator : Agus Sopyan


Menurut penelitian beberapa pakar sosiologi muslim, pertumbuhan Islam di Indonesia saat ini sedang mengalami fluktuasi peningkatan yang sangat menggembirakan. Semakin suburnya animo dan “ghirah” masyarakat dalam pembangunan masjid, menjadi indikasi yang sangat kuat. Hampir di setiap lingkungan RW – atau bahkan di lingkungan RT, sekarang ini tidak sulit untuk menemukan sarana peribadatan bagi umat Islam ini. Motivasi hadits Nabi yang berbunyi :”Barang siapa yang membangun masjid, maka akan dibangunkan istana oleh Allah nanti di surga”, sepertinya menjadi salah satu penyebab yang paling utama (kausa efisien).
Namun, melihat penomena yang berkembang saat ini, sepertinya pernyataan itu tidak seluruhnya benar. Sebab, animo dan “ghirah” masyarakat dalam pembangunan masjid, umumnya tidak sepenuhnya ditindak-lanjuti dengan pemanfaatan (pemakmuran) masjid secara maksimal. Padahal, dimensi pemanfaatan masjid secara maksimal merupakan rangkaian usaha yang wajib diikuti setelah selesai pembangunan masjid.
Maka dari itu, tidaklah mengherankan bila ditemukan banyak sekali masjid-masjid yang selesai dibangun, kemudian setelah itu terbengkalai tidak difungsikan sebagaimana seharusnya. Masjid hanya sekedar difungsikan menjadi tempat ibadah dalam pengertian mahdhah saja. Sehingga akhirnya, perlahan tapi pasti, masjid-masjid itu seakan kehilangan fungsi nilai universalnya yang strategis. Ini tentu saja tidak relevan dengan fungsi masjid sebagai tempat ibadah (taqarrub) kepada Alllah SWT dan sekaligus menjadi tempat pendidikan umat Islam dalam pengertian yang luas.
Terjadinya penomena di atas, tentu erat kaitannya dengan minimnya pengetahuan tentang fungsionalisasi masjid sebagai sarana pembinaan masyarakat, dan ditambah pula dengan minimnya pengetahuan tentang pengelolaan (manajemen) masjid dimiliki oleh masyarakat Islam. Tulisan ini ingin mengetengahkan bahwa manajemen merupakan dimensi paling penting dalam pemanfaatan (pemakmuran) masjid sebagai medium pembinaan bagi masyarakat Islam.

Pengertian Masjid
Lafadz masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali dalam al-Qur’an. Secara etimologi (lughoh), lafadz masjid diambil dari akar lafadz “sajada – yasjudu – sujuudan”, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Dalam bentuk lahiriyah, secara syari’at, yang dinamakan sujud adalah meletakan dahi, kedua telapak tangan, lutut, dan kaki ke bumi. Dari sinilah akarnya, mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan sujud (sebagai rangkaian dari shalat) dinamai masjid (isim makan), yang artinya “tempat bersujud”.
Menurut Quraish Shihab dalam buku “Wawasan al-Qur’an”, dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat umat Islam. Namun, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, maka hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mencerminkan kepatuhan dan ketundukan kepada Allah semata. Dengan demikian, masjid harus menjadi pangkal tempat seorang muslim bertolak, sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh.

Masjid Pada Masa Rasulullah SAW
Ketika datang pada suatu daerah, usaha pertama yang dilakukan oleh Rasulullah adalah mendirikan masjid sebagai pusat aktivitas. Pada waktu itu, bentuk masjid yang didirikan sangatlah sederhana, yakni bangunan berlantaikan tanah dan beratapkan daun pelepah kurma. Setelah Rasulullah dan para sahabatnya mencapai kejayaan, barulah kemudian didirikan bangunan masjid yang besar dari atsar-atsar masjid yang sangat sederhana tersebut.
Masjid pertama yang didirikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itu adalah Masjid Quba’, dan kemudian disusul dengan Masjid Nabawi di Madinah. Walaupun terjadi kontradiksi tentang masjid yang didirikan atas dasar takwa (sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Taubah 108) – apakah Masjid Quba’ atau Masjid Nabawi, yang jelas kedua masjid yang didirikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itu telah memenuhi kriteria landasan dan fungsi ketakwaan sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.
Pada masa Rasulullah juga, pernah berdiri sebuah bangunan masjid yang didirikan oleh orang-orang munafik – yang dikenal dengan Masjid Dhiror (masjid pembawa kemudhorotan). Karena bukan didirikan atas fungsi masjid yang sebenarnya, yakni atas dasar takwa, maka bangunan masjid tersebut kemudian diruntuhkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, serta kemudian menjadikan lokasi masjid itu tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang. Kisah Masjid Dhiror ini kemudian diabadikan dalam al-Qur’an Surat al-Taubah ayat 107.
Masjid Nabawi yang didirikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah, telah berperan besar dalam pembentukan identitas dan mentalitas ketakwaan umat Islam dengan beragam aktivitas kegiatan yang diprogramnya. Menurut catatan sejarah, tidak kurang dari sepuluh peran yang telah diemban oleh Masjid Nabawi, yakni :
1. Sebagai tempat ibadah (shalat dan dzikir).
2. Sebagai tempat konsultasi dan komunikasi masalah sosial-budaya, sosial-ekonomi, dan sosial-politik.
3. Sebagai tempat pendidikan.
4. Sebagai tempat santunan sosial.
5. Sebagai tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
6. Sebagai tempat pengobatan korban perang.
7. Sebagai tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
8. Sebagai auditorium dan tempat menerima tamu.
9. Sebagai tempat menawan tahanan, dan
10. Sebagai pusat penerangan atau advokasi agama.
(Dikutip dari Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Mizan).

Bagaimana Memfungsikan Masjid Pada Masa Kini
Fungsi dan peranan masjid seperti yang dijalankan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itu tentunya sangat berat untuk diterapkan pada masa sekarang ini. Disamping situasi dan kondisi umat Islam pada waktu itu dengan masa sekarang jelas-jelas berbeda, juga tentu saja untuk pengelolaannya akan memerlukan konsepsi manajemen yang harus benar-benar modern.
Berkaitan dengan situasi dan kondisi umat Islam pada masa Rasulullah yang dapat memposisikan masjid mampu berperan begitu luas, Quraish Shihab menjelaskan faktor-faktor penyebabnya, yakni : Pertama, karena kondisi umat Islam pada waktu itu masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama. Kedua, karena kemampuan pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan program kegiatan masjid. Dan ketiga, karena manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid - baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam atau khatib, maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan musyawarah (syura).
Sedangkan berkaitan dengan persoalan kedua, yakni mengenai konsepsi manajemen yang harus benar-benar modern, tentu saja diperlukan upaya serius untuk merumuskannya. Diantara beberapa pokok pikiran yang harus dijadikan pedoman dalam penyusunan rumusan konsepsi manajemen masjid itu adalah sebagai berikut :
1. Harus berangkat dari dasar pemikiran bahwa masjid memiliki fungsi yang sangat strategis, yakni, disamping sebagai tempat ibadah (dzikir) kepada Allah SWT, masjid juga harus difungsikan menjadi tempat pembinaan dan pemberdayaan umat Islam.
2. Oleh karena itu, harus diupayakan terwujud berbagai sarana masjid yang menyenangkan dan menarik bagi umat Islam – baik yang dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat ataupun sakit, serta kaya ataupun miskin.
3. Untuk mengejar fungsi dan pemanfaatan berbagai sarana di atas, maka harus disusun program-program kegiatan masjid yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Islam serta kemampuan sarana dan dana.
4. Program-progam tersebut harus didukung pula dengan sumber daya manusia yang berlandaskan “the right man on the right job and place”. Atau dengan kata lain, harus dikelola oleh struktur manajerial yang memiliki kompetensi.

Dalam Muktamar Risalatul Masjid di Mekah pada tahun 1975, mengenai masalah sarana dan prasarana masjid ini telah didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan dan peralatan yang memadai untuk :
1. Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
2. Ruang–ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar-masuk tanpa bercampur dengan pria - baik digunakan untuk shalat maupun untuk pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK).
3. Ruang pertemuan dan perpustakaan.
4. Ruang poliklinik serta ruang untuk memandikan dan mengkafankan mayat.
5. Ruang bermain, berolah raga, dan berlatih bagi remaja.

Yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan di Masjid
Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dijaga dan dipelihara. Segala hal yang diduga akan mengurangi kesucian masjid atau mengesankan hal tersebut, tidak boleh dilakukan di dalam masjid maupun diperlakukan terhadap masjid. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah Saw sangat menganjurkan agar memakai wangi-wangian saat berkunjung ke masjid dan melarang mereka yang baru saja memakan bawang untuk memasukinya.
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman : “Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.”
Masjid harus mampu memberikan ketenangan dan ketentraman pada para pengunjung dan lingkungannya. Karenanya, Rasulullah melarang keras orang yang melakukan perniagaan di dalam masjid. Dalam salah satu haditsnya beliau mengatakan : “Jika engkau mendapati seseorang menjual atau membeli di dalam masjid, katakanlah kepadanya : “Semoga Allah tidak memberikan keuntungan bagi perdaganganmu”. Dan bila engkau mendapati seseorang mencari barangnya yang hilang di dalam masjid, maka katakanlah : “Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu.”

Wa Allah A’lam bi al-Shawwab

ISLAM ADALAH KESEIMBANGAN HIDUP

Oleh : Asep Gunawan

Sebagai agama yang muncul terakhir dalam rentetan agama-agama samawi, Islam memiliki kekhasan tersendiri dalam konsep dan aktualisasinya. Kekhasan konsep Islam ini tidak bisa dilepaskan dari konsep dasarnya yang berdiri diantara dua kaki : dunia dan akhirat. Dalam konsep Islam, dunia dan akhirat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat dua sisi keping mata uang, bila hilang salah satu sisinya, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai keping mata uang. Demikian juga dengan Islam, bukan Islam namanya kalau seandainya dunia terlepas dari akhirat; atau sebaliknya, akhirat terlepas dari dunia. Dalam konteks ini, sangat bisa dimengerti bila umat Islam di dalam setiap kesempatan berdo’a selalu menyelipkan do’a “sapu jagat”, ‘rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina adzaban nar’.
Konsep dasar Islam yang bersipat dualitas ini didasarkan kepada satu dalil bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya memiliki dua misi sekaligus; sebagai khalifah dan sebagai ‘abid. Sebagai khalifah manusia bertugas mewakili Allah untuk mengelola keseimbangan alam semesta yang diciptakan-Nya. Dengan potensi akal pikir yang telah dianugrahkan Allah, manusia dibebaskan untuk menikmati alam semesta beserta isinya. Hanya satu permintaan Allah, agar alam semesta ini senantiasa seimbang, “Janganlah kamu di dalam mengelola alam semesta ini dilandasi dengan sipat dan sikap merusak (destruktif)”. Ketidak-seimbangan alam semesta – dan karena itu alam semesta menjadi murka, nyata telah mengakibatkan terjadinya bencana bagi manusia.
Bencana longsor (baik tanah ataupun sampah) dan banjir di beberapa daerah adalah bukti yang tidak terbantahkan dari ‘logika’ ketidak-seimbangan alam semesta ini. Mewabah massifnya penyakit demam berdarah dan cikungunya (termasuk di dalamnya hama-hama penyakit tanaman pangan) menjadi bukti ada yang salah dalam ‘pergaulan’ kita dengan ekosistem kehidupan yang ada di alam semesta. Untuk tujuan mengingatkan kembali kepada ‘pergaulan’ yang seimbang dengan alam semesta inilah Allah berfirman : “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan, karena manusia tidak memperhatikan keseimbangan alam semesta, agar dapat merasakan sebagian dari karya destruktifnya, dengan harapan bisa kembali kepada ‘pergaulan’ dengan alam semesta yang sebenarnya. ” (QS. Al-Rum : 41)
Sebagai ‘abid (hamba Allah), manusia bertugas beribadah kepada Allah. Dalam kajian fikih Islam, ibadah itu terbagi ke dalam dua bagian; ada yang bersipat ‘sempit’ melalui ibadah mahdhah yang ‘rule of game’ dan waktunya sudah ditentukan seperti shalat, puasa, zakat dan haji; ada juga yang bersipat luas melalui aktivitas hidup tidak terbatas waktu yang diselaraskan dengan niat ikhlas beribadah kepada Allah. Dalam kaitannya dengan macam ibadah yang kedua, Sayidina Ali Ibnu Abi Thalib memiliki prinsip hidup ‘Hayatuna kulluha ibadatun’ (segala ringkah paripolah kita di dunia harus dimaknai dengan nilai ibadah).
Bila kita perhatikan ringkah paripolah Rasulullah SAW sehari-hari yang termaktub dalam catatan hadits, apa yang menjadi prinsip Sayidina Ali itu sudah teraplikasi secara ideal. Dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali, Rasulullah memaknai kisi-kisi hidupnya dengan nilai ibadah – baik dalam arti sempit ataupun luas. Dzikir dalam paradigma Rasulullah tidak terbatas waktu shalat dan berdo’a saja. Dari detik ke detik dalam kesehariannya, dzikir dan fikir (sebagai proses ibadah baik dalam arti sempit maupun luas) menjadi rutinitas dalam aktivitas hidupnya. Efeknya dalam memaknai tugasnya sebagai khalifah, Rasulullah menekankan kepada satu prinsip kesatuan yang seimbang antara dunia dan akhirat.
Ketidak-seimbangan di dalam memandang kehidupan dunia dan akhirat, bukanlah sikap yang dimiliki oleh seorang muslim. Karena itulah Islam tidak merestui munculnya ‘sekulerisme’, satu paham yang tidak mengakui kesatuan antara dunia dan akhirat; tidak ada hubungan sama sekali antara dunia dan akhirat, akhirat dan dunia. ‘Sekulerisme’ hanya akan mengorientasikan tujuan hidup kita pada satu sisi; jika tidak sisi dunia saja, pasti sisi akhirat saja.
Bagi seorang muslim, dunia adalah sawah ladang tempat berjuang (majro’ah), yang hasilnya akan dirasakan ketika memasuki kehidupan akhirat. Maka dari itu, sangatlah proporsional jika Rasulullah pernah menegur dengan keras seseorang yang sehari-hari kerjanya dzikir di mesjid, sementara istri dan anak-anaknya dibiarkan terlantar - sehingga diberi makan oleh mertuanya. Dzikir dalam arti melapadkan ‘amalan’ dzikir tentu tidak dilarang; tapi dzikir yang benar-benar dzikir adalah dzikir yang mampu mensintesakan dua kepentingan yang satu sama lainnya saling menopang; yakni kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.
Cag !

DIALEKTIKA BUDAYA

Oleh : Asep Gunawan

Yang masih saya ingat dari kata-kata terakhir almarhum guru saya, al-ustadz Nasihin, beberapa hari sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya adalah : “Ambilah kebenaran itu walaupun dia keluar dari mulut anak kecil sekalipun”. Pada saat itu, saya tidak benar-benar serius memikirkannya, maklum dalam suasana yang masih diliputi kepedihan yang mendalam. Namun, sekarang saya dapat menemukan kebenaran sejati dari kata-kata terakhir guru yang saya cintai itu, manakala menghadapi kondisi umat yang semakin terasa kurang dekat dengan kondisi idealnya, baik secara identitas personal maupun identitas social.
Seiring dengan kemajuan besar peradaban yang diperoleh manusia, dalam gerak sejarah terjadi pergeseran pola pemikiran yang pengaruhnya sangat besar terhadap pola hidup dan kehidupan manusia. Kita sadar, bahwa seluruh gerak aktivitas manusia sangat dipengaruhi oleh inter-tekstualitas (apa yang dibaca dan dipelajarinya) dan inter-subjektivitas (bagaimana ideologinya, agamanya, serta pergaulannya) yang mengkonstruksi sistimatika pemikirannya. Dengan demikian, manusia berpikir, bertutur, dan berprilaku didasarkan atas konstruksi pemikirannya itu.
Ada kecenderungan, umat sekarang ini seperti lupa terhadap sunatullah evolusi gerak sejarah yang bergerak dinamis. Sehingga kedinamisan gerak sejarah itu tidak diikuti dengan usaha-usaha kreatif dan inovatif untuk mengimbanginya. Akhirnya, dalam gerak sejarah yang bersipat dinamis itu, umat hanya dapat menjadi penonton atau bahkan, ini yang umumnya terjadi, menjadi “objek penderita” kemajuan gerak sejarah peradaban manusia.
Seperti diungkapkan Carles Darwin, Survival of The Fittest, hanya pemikiran yang siap fight dan kreatif yang akan tetap konsisten hidup. Pemikiran yang stagnan dan apalagi mundur, walaupun secara penomena masih kentara, akan kelihatan “pucat” dan “kering” tanpa sinar inovasi; dan lambat laun, akhirnya akan kehilangan relevansinya dengan gerak sejarah; dan akhirnya terkubur : mati.
Romantisasi pada sejarah kesuksesan masa lalu memang perlu. Tapi, sejauh mana romantisasi itu dapat membangkitkan “etos” budaya dan pemikiran, ini yang lebih signifikan dan mendasar. Kelemahan kita, upaya romantisasi banyak menenggelamkan dan mengharuskan kita hidup dalam angan-angan masa lalu, sehingga lupa terhadap pijakan realitas masa sekarang.
Dalam karya monumentalnya – kitab “Muqadimah”, ilmuan sosial muslim, Ibnu Khaldun, meyakini tesis bahwa gerak sejarah adalah : lahir, tumbuh, berkembang, sukses, dan kemudian tenggelam. Dalam proses alamiah ini, untuk mempertahankan eksistensi dan dinamisasi, mau tidak mau, harus melibatkan empat konsep evolusi “perjuangan” yang dirumuskan oleh Darwin, yakni : struggle for life, survival of the fittest, natural selection, dan progress.
Pada saat itu, akan sangat penting kesadaran dialektika budaya dan pemikiran. Kesadaran dialektika akan memunculkan rumusan tesis budaya dan pemikiran yang terbuka dan tidak “mati”. Oleh karena itu, tatkala muncul antitesis mengkritiknya, yang muncul bukan budaya dan pemikiran yang bersipat apologis. Tetapi budaya dan pemikiran sintesis yang bersipat dialogis dan “berbudaya”.
Prinsip budaya dan pemikiran klasik, “al-muhafadzah bi a-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah” (menjaga tradisi budaya dan pemikiran yang lama yang baik, dan mengambil tradisi budaya dan pemikiran yang baru yang lebih baik), sepertinya harus kembali ditradisikan dalam khazanah budaya dan pemikiran umat – baik sebagai identitas personal maupun identitas sosial. Dan ini merupakan harga mati bagi cita-cita kemajuan peradaban.
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab

CINTA BUTA DAN CINTA SEJATI

Oleh : Asep Gunawan

“Cinta Buta adalah cinta yang buta melihat aib dan kejelekan yang dicintai.”
Alkisah di sebuah negeri antah-berantah, ada dua pasang manusia saling mencintai. Secara lahiriyah kelihatan tidak ada persoalan. Apalagi ketika belum mendapatkan “ujian kecintaan”. Semuanya berjalan lancar-lancar saja. Namun, tatkala badai masalah datang menerpa, secara katagoris akan terlihat ada kondisi substansial yang membedakan kecintaan mereka. Pasangan yang satu terlihat didasari oleh kecintaan yang buta; sedangkan pasangan yang lain kokoh dilandasi oleh kecintaan yang sejati.
Ketika aib dan kejelekan sang kekasih muncul ke permukaan, pasangan yang satu seakan tidak melihat aib dan kejelekan itu. Di matanya, segala yang ada dalam diri sang kekasih semuanya terlihat baik dan indah. Tidak terlihat secuilpun cacat dan kejelekan melekat. Akal sehatnya telah dimatikan oleh emosi buta kecintaannya. Konsekuensinya, dia akan membela mati-matian (bahkan rela untuk mati) demi perbuatan yang disangkanya akan mempertahankan harga diri sang kekasih yang dicintainya. Padahal, pembelaannya justru telah menjadikan sang kekasih lebih terpuruk lagi dalam aib dan kejelekannya.
Berbeda dengan pasangan yang kedua. Kecintaan yang terjadi diantara mereka begitu tulus. Bagi pasangan ini, aib dan kejelekan bukan berarti harus dibela dan dipertahankan – apalagi dengan cara-cara yang tidak rasional, melainkan harus diperbaiki dan diluruskan. Saling mengingatkan dan saling menasehati adalah prinsip hidup pasangan kedua ini. Inilah yang telah menjadikan pasangan kedua ini hidup dalam keabadian cinta. Dan ini merupakan bukti nyata bahwa mereka saling mencintai.
***
Sungguh ironis nasib bangsa kita sekarang ini. Di tengah semakin kencangnya angin globalisasi dunia – dengan nilai-nilai liberasi sebagai karakter utamanya, bangsa kita masih berkutat terbelenggu oleh ketidak-pastian politik, keterpurukan ekonomi, ketidak-jelasan identitas budaya, dan ketimpangan-ketimpangan tatanan sosial.
Dalam dunia politik kita, kepentingan bangsa seakan telah sirna dilibas oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Dalam dunia ekonomi, jurang kesenjangan structural antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Dalam kehidupan berbudaya, ketidak-berdayaan sistem pendidikan yang memunculkan disparitas antara “kaum kuat” (kaum pintar) dan “kaum rentan” (kaum awam) semakin dibiarkan terkatung-katung. Masyarakat begitu mudah dijadikan komoditas politis yang mudah terprovokasi. Sehingga akibatnya, muncul apa yang disebutkan oleh Eef Saefullah Fatah (pengamat politik) dengan “premanisme politik” dan “premanisme religius” yang memunculkan aksi-aksi anarkis.
Konsekuensinya, muncul tatanan social yang “amburadul”. Sistem social-ekonomi tidak lagi berpihak pada pemerataan “kue pembangunan” bagi segenap rakyat Indonesia. Semuanya habis terkuras masuk dalam kantong tebal segelintir orang-orang yang rakus dan bermental korup. Sistem hukum tidak lagi menghamba pada kebenaran dan keadilan, melainkan kepada status individu, duit, kekuasaan, dan kekuatan fisik.

MARI MEMANEN GENERASI EMAS

Oleh : Asep Gunawan

Tidak diragukan lagi, bahwa pendidikan memiliki peran yang sangat sentral dalam upaya pembangunan sebuah bangsa. Semakin tinggi perhatian bangsa terhadap pendidikan masyarakatnya, maka akan semakin tinggi pula harapan yang bisa digantungkan untuk menuai masa depan bangsa yang lebih cerah.
Motivasi inilah yang menjadi landasan utama pembangunan bangsa Jepang. Seiring kekalahan menyakitkan pada perang dunia kedua, bangsa Jepang mulai berkeinginan untuk bangkit kembali mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa besar. Dalam strategi pembangunannya, bangsa Jepang memprioritaskan aspek pendidikan di atas segala-galanya. Yang tersirat dalam benak seluruh bangsa Jepang pada waktu itu; pendidikan adalah solusi penyelamat bangsa.
Ternyata, pilihan itu tidaklah salah. Memasuki abad-abad milenium yang bercirikan “persaingan global”, bangsa Jepang dapat menengadahkan kepalanya dengan tegak. Ini tiada lain, karena sampai saat ini, bangsa Jepang menjadi lokomotif kedigjayaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta simbol kemajuan bangsa Asia. Tentu saja, keadaan ini sangat bertolak belakang dengan kondisi relitas bangsa Indonesia.

Memupuk Generasi Emas
Meneliti kenyataan hidup dan kehidupan saat ini, mengimplikasikan adanya pergeseran cara pandang tentang persoalan ekonomi. Jika dulu, aspek yang paling penting dalam pembangunan sebuah bangsa adalah adanya sumber daya alam yang melimpah. Sekarang, asumsi itu sudah harus dikubur dalam-dalam. Karena yang berkembang saat ini adalah orientasi “human capital” (yang terpenting adalah modal berupa manusia unggul). Jepang telah membuktikan hal ini dengan empiris.
Akan sia-sia jika kita hanya bisa mewariskan sumber daya alam yang melimpah, tanpa dibarengi dengan warisan lain berupa sumber daya manusia yang memadai. Terbukti, limpahan keindahan sumber daya alam yang dulu kita banggakan, ternyata - sedikit demi sedikit - habis, dan yang paling banyak menikmatinya ternyata perusahaan-perusahaan asing. Kita sebagai pemiliki sah negeri ini, hanya bisa menjadi penonton; atau bahkan penderita - karena efek kerusakan ekologis yang berdampak panjang. Inikah yang akan kita wariskan kepada generasi penerus bangsa?
Inilah mungkin hikmahnya, kenapa Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 9, mengingatkan kita; “Hendaknya merasa khawatir jika kita meninggalkan generasi penerus dalam keadaan lemah (dzuriyatan dhi’afan); baik secara ekonomi, akhlaq, maupun keilmuan.”
Maka dari itu, dalam mengejar orientasi “human capital” yang siap fight berkompetisi dalam era global, tidak ada solusi lain selain pendidikan. Dengan sentuhan pendidikan, nilai keilmuan (kognitif) seseorang diarahkan untuk menjadi sosok intelek yang dapat berpikir lurus; tahu mana yang benar dan tidak benar, tepat dan tidak tepat. Dengan sentuhan pendidikan pula, nilai akhlaq (afektif) seseorang diarahkan untuk menjadi sosok arif dan santun, sehingga terjaga tutur kata dan sikapnya.
Demikian pula, dengan sentuhan pendidikan, nilai ekonomis (psikomotorik) seseorang diarahkan untuk menjadi sosok profesional yang mampu hidup mandiri dan berdikari; sehingga gambaran masa depan baginya adalah bagaimana mengeksplorasi dan mengembangkan potensi diri dan konsep diri yang ada dalam dirinya. Bagi sosok seperti ini, menjadi pengangguran tidak ada kamus dalam hidupnya.
Namun, sudahkah konsep dan sistem pendidikan kita mengarah ke sana?

Hanya satu kata; Perubahan
Harus diakui dengan jujur, bahwa konsep dan sistem pendidikan kita sampai saat ini, belumlah seratus persen mengarah ke sana. Pendidikan, di mata pemimpin-pemimpin bangsa ini, masih dianggap aspek yang tidak terlalu vital dan menentukan. Bahkan, ketika masa-masa kampanye, pendidikan biasanya hanya dijadikan komoditas politik saja. Setelah berkuasa, lupa dengan obral janji-janjinya dulu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika rangking pendidikan kita terus merosot ke papan bawah, sekalipun di tingkat Asia Tenggara.
Solusi yang terbaik adalah merumus ulang seluruh konsep dan sistem pendidikan kita. Sesuaikan kembali dengan visi atau tujuan pendidikan yang tercantum dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar; yakni menciptakan manusia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tentu saja, untuk dapat mewujudkan tujuan itu, perlu kerja sama dari seluruh stakeholder pendidikan. Dalam konteks daerah, Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan, Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, praktisi pendidikan (kepala sekolah dan guru), serta masyarakat secara umum, harus dapat bekerja sama dan saling mununjang dalam merumuskan dan melaksanakan konsep dan sistim pendidikan berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Tanpa adanya kerja sama dalam mewujudkannya, mustahil dunia pendidikan di kabupaten Purwakarta akan berubah ke arah yang lebih baik. Maka dari itu, perlu ada sikap legowo dan saling riksa diri dari stakeholder pendidikan di kabupaten Purwakarta. Ibarat sebuah bangunan rumah, biarlah Pemerintah Daerah menjadi pondasi dan dindingnya. Dinas Pendidikan menjadi genting dan internitnya. Kepala Sekolah dan guru menjadi pengisi yang akan mengisi rumahnya. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah menjadi cat dan pelitur yang akan menjaga bangunan rumah dari rayap-rayap yang akan merusak. Dan masyarakat umum, tentu saja menjadi pemilik sah bangunan itu.
Tidak mungkin muncul perubahan tanpa adanya keinginan kuat dari kita (seluruh stakeholder pendidikan) untuk berubah. “Allah tidak mungkin merubah kondisi suatu kaum, sampai ada keinginan kuat dari kaum itu untuk melakukan perubahan.” (QS. Al-Ra’du : 11). Sepertinya ini harga mati.

Jumat, 27 Juni 2008

CATATAN BESAR DARI PESERTA LOKAKARYA (EH, SOSIALISASI KETANG)

Oleh : Asep Gunawan

Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Senin tanggal 4 April 2005, Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) kabupaten Purwakarta bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana (PPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengadakan acara lokakarya Perencanaan Umum Pembangunan Makro Pendidikan Kabupaten Purwakarta. Dilihat dari sudut pandang kreativitas, tentu adanya acara lokakarya itu merupakan sebuah dinamisasi yang luar biasa. Sebab, sepanjang yang saya tahu, kabupaten Purwakarta belum memiliki ‘master plan’ pendidikan sebagai ‘kompas’ yang dapat mengontrol tahapan-tahapan pembangunan di sektor pendidikan. Kalau tidak salah, rencana penyusunan ‘master plan’ pendidikan ini sudah mulai dirintis oleh Bapeda ketika lembaga ‘think thank’ pemerintah daerah itu dipimpin oleh Drs. Maman Rosama, MM.
Namun, ada beberapa hal yang perlu diberi catatan besar berkaitan dengan acara lokakarya tersebut. Pertama, berkaitan dengan format acara, yang menurut hemat penulis, sungguh sangat ‘jauh panggang dari pada api’. Sepanjang pemahaman penulis, yang namanya lokakarya itu adalah kegiatan ‘sharing’ ide dan gagasan dalam suasana dialogis antara peserta lokakarya, yang kesimpulannya kemudian dirumuskan sebagai hasil bersama. Oleh karena itu, konsep materi yang telah disiapkan oleh panitia, hendaknya bukan merupakan konsep yang sudah ‘mati’, yang tidak bisa dirubah-rubah lagi.
Sayang, yang penulis dapatkan di sana, kesempatan acara yang seharusnya menjadi wahana menyamakan persepsi dan memunculkan ide-ide dasyat dalam konteks lokal Purwakarta berkaitan dengan perencanaan pembangunan pendidikan itu, dari awal sudah ‘diganggu’ dengan prolog dari salah seorang profesor perumus yang ‘menyekak-mat’; bahwa acara dialog itu bukan untuk merubah konsep yang telah dirumuskan, tetapi hanya sebagai ajang sosialisasi dan publikasi.
Kalau memang tujuan itu yang dimaksud, it’s okay, tidak masalah. Paling-paling akan muncul persepsi dari peserta bahwa panitia dan tim perumus konsep ternyata bekerja tidak terkoordinasi. Namun, bila dipikir-pikir, terlihat menjadi ‘mubazir’ tatkala diketahui bahwa peserta yang hadir di sana ternyata bukan orang ‘jore-jore’. Rata-rata peserta yang hadir adalah mereka yang memiliki akses dan pengalaman yang kuat di bidang pendidikan dalam konteks lokal Purwakarta. Dengan demikian, menjadi ‘mubazir’ juga pemikiran-pemikiran konseptual-filosofis dari Wakil Bupati Purwakarta yang sengaja diungkapkan di awal pembukaan sebagai bahan masukan untuk lokakarya itu. Mudah untuk ditebak, akhirnya acara berjalan menjadi monoton dan tidak dinamis, karena yang terjadi adalah arena perkuliahan. Tiga orang profesor di depan terlihat sedang mengajar kurang lebih seratusan mahasiswa.
Kedua, berkaitan dengan konsep materi yang telah dirumuskan secara intensif oleh empat orang profesor. Jujur saja, setelah membaca secara keseluruhan konsep materi yang disodorkan oleh panitia, ternyata bukanlah merupakan ‘barang’ yang sama sekali ‘baru’ bagi masyarakat pendidikan Purwakarta. Pointer-pointer konseptual yang dicatat dalam rumusan perencanaan itu, kalau mau jujur, semuanya merupakan wacana yang sudah ‘galib’ didiskusikan oleh masyarakat pendidikan Purwakarta; karena wacana-wacana itu sudah banyak dibahas dalam buku-buku pintar pendidikan.
Kalau memang begitu keadaannya, sebetulnya tak perlu jauh-jauh (dan mahal-mahal) kita menyewa tim perumus ‘luar’ untuk membuat konsep perencanaan umum pembangunan makro pendidikan itu. Kalau saja kita mau menginventarisir SDM pendidikan yang ada di kabupaten Purwakarta, sebetulnya banyak SDM yang dapat merumuskannya secara lebih tepat sasaran dan lebih kontekstual. Karena, disamping secara teoritis keilmuan riset pendidikan memang dimiliki dan dikuasai – karena banyak yang sudah memiliki gelar Magister Pendidikan dan Doktor (juga Calon Doktor) Pendidikan, SDM ‘pribumi’ akan lebih ‘imeut’ dan ‘nincak bumi’ karena memang mengetahui betul secara empiris problem pendidikan Purwakarta yang sebenarnya. Ini akan berbeda dengan SDM ‘luar’ yang biasanya hanya mampu menguasai secara teoritis keilmuan riset pendidikannya saja; sementara secara empiris, penulis haqul yakin, SDM ‘luar’ tidak akan sanggup memahami problem pendidikan Purwakarta sesungguhnya hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Kalau-pun mau menggunakan SDM ‘luar’, seharusnya posisinya sebatas konsultan saja. Dengan demikian, tak perlu repot-repot kita menyewa profesor sampai empat orang. Untuk konsultan, cukup sebetulnya kita menyewa 1 atau 2 orang profesor. Logika ekonominya, 1 atau 2 orang profesor akan lebih ‘murah’ membayarnya ketimbang 4 orang profesor. Bukankah ini akan lebih menghemat.
Lagi pula, bila kita mau sedikit jujur, permasalahan pendidikan di Indonesia ini hakikatnya hampir serupa; bukan pada tahapan kedasyatan konsep makro dan mikronya, melainkan pada tahapan implementasi teknisnya di lapangan yang selalu dibiasakan sepi dari ‘niatan ikhlas’ dan ‘keistiqomahan’. Mau bukti, lihat saja hasil kesimpulan moderator, yang hanya memuat satu pointer penting : “Kita perlu payung hukum!”. Selesai sudah. @

Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.