Oleh : Asep Gunawan
“Cinta Buta adalah cinta yang buta melihat aib dan kejelekan yang dicintai.”
Alkisah di sebuah negeri antah-berantah, ada dua pasang manusia saling mencintai. Secara lahiriyah kelihatan tidak ada persoalan. Apalagi ketika belum mendapatkan “ujian kecintaan”. Semuanya berjalan lancar-lancar saja. Namun, tatkala badai masalah datang menerpa, secara katagoris akan terlihat ada kondisi substansial yang membedakan kecintaan mereka. Pasangan yang satu terlihat didasari oleh kecintaan yang buta; sedangkan pasangan yang lain kokoh dilandasi oleh kecintaan yang sejati.
Ketika aib dan kejelekan sang kekasih muncul ke permukaan, pasangan yang satu seakan tidak melihat aib dan kejelekan itu. Di matanya, segala yang ada dalam diri sang kekasih semuanya terlihat baik dan indah. Tidak terlihat secuilpun cacat dan kejelekan melekat. Akal sehatnya telah dimatikan oleh emosi buta kecintaannya. Konsekuensinya, dia akan membela mati-matian (bahkan rela untuk mati) demi perbuatan yang disangkanya akan mempertahankan harga diri sang kekasih yang dicintainya. Padahal, pembelaannya justru telah menjadikan sang kekasih lebih terpuruk lagi dalam aib dan kejelekannya.
Berbeda dengan pasangan yang kedua. Kecintaan yang terjadi diantara mereka begitu tulus. Bagi pasangan ini, aib dan kejelekan bukan berarti harus dibela dan dipertahankan – apalagi dengan cara-cara yang tidak rasional, melainkan harus diperbaiki dan diluruskan. Saling mengingatkan dan saling menasehati adalah prinsip hidup pasangan kedua ini. Inilah yang telah menjadikan pasangan kedua ini hidup dalam keabadian cinta. Dan ini merupakan bukti nyata bahwa mereka saling mencintai.
***
Sungguh ironis nasib bangsa kita sekarang ini. Di tengah semakin kencangnya angin globalisasi dunia – dengan nilai-nilai liberasi sebagai karakter utamanya, bangsa kita masih berkutat terbelenggu oleh ketidak-pastian politik, keterpurukan ekonomi, ketidak-jelasan identitas budaya, dan ketimpangan-ketimpangan tatanan sosial.
Dalam dunia politik kita, kepentingan bangsa seakan telah sirna dilibas oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Dalam dunia ekonomi, jurang kesenjangan structural antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Dalam kehidupan berbudaya, ketidak-berdayaan sistem pendidikan yang memunculkan disparitas antara “kaum kuat” (kaum pintar) dan “kaum rentan” (kaum awam) semakin dibiarkan terkatung-katung. Masyarakat begitu mudah dijadikan komoditas politis yang mudah terprovokasi. Sehingga akibatnya, muncul apa yang disebutkan oleh Eef Saefullah Fatah (pengamat politik) dengan “premanisme politik” dan “premanisme religius” yang memunculkan aksi-aksi anarkis.
Konsekuensinya, muncul tatanan social yang “amburadul”. Sistem social-ekonomi tidak lagi berpihak pada pemerataan “kue pembangunan” bagi segenap rakyat Indonesia. Semuanya habis terkuras masuk dalam kantong tebal segelintir orang-orang yang rakus dan bermental korup. Sistem hukum tidak lagi menghamba pada kebenaran dan keadilan, melainkan kepada status individu, duit, kekuasaan, dan kekuatan fisik.
“Cinta Buta adalah cinta yang buta melihat aib dan kejelekan yang dicintai.”
Alkisah di sebuah negeri antah-berantah, ada dua pasang manusia saling mencintai. Secara lahiriyah kelihatan tidak ada persoalan. Apalagi ketika belum mendapatkan “ujian kecintaan”. Semuanya berjalan lancar-lancar saja. Namun, tatkala badai masalah datang menerpa, secara katagoris akan terlihat ada kondisi substansial yang membedakan kecintaan mereka. Pasangan yang satu terlihat didasari oleh kecintaan yang buta; sedangkan pasangan yang lain kokoh dilandasi oleh kecintaan yang sejati.
Ketika aib dan kejelekan sang kekasih muncul ke permukaan, pasangan yang satu seakan tidak melihat aib dan kejelekan itu. Di matanya, segala yang ada dalam diri sang kekasih semuanya terlihat baik dan indah. Tidak terlihat secuilpun cacat dan kejelekan melekat. Akal sehatnya telah dimatikan oleh emosi buta kecintaannya. Konsekuensinya, dia akan membela mati-matian (bahkan rela untuk mati) demi perbuatan yang disangkanya akan mempertahankan harga diri sang kekasih yang dicintainya. Padahal, pembelaannya justru telah menjadikan sang kekasih lebih terpuruk lagi dalam aib dan kejelekannya.
Berbeda dengan pasangan yang kedua. Kecintaan yang terjadi diantara mereka begitu tulus. Bagi pasangan ini, aib dan kejelekan bukan berarti harus dibela dan dipertahankan – apalagi dengan cara-cara yang tidak rasional, melainkan harus diperbaiki dan diluruskan. Saling mengingatkan dan saling menasehati adalah prinsip hidup pasangan kedua ini. Inilah yang telah menjadikan pasangan kedua ini hidup dalam keabadian cinta. Dan ini merupakan bukti nyata bahwa mereka saling mencintai.
***
Sungguh ironis nasib bangsa kita sekarang ini. Di tengah semakin kencangnya angin globalisasi dunia – dengan nilai-nilai liberasi sebagai karakter utamanya, bangsa kita masih berkutat terbelenggu oleh ketidak-pastian politik, keterpurukan ekonomi, ketidak-jelasan identitas budaya, dan ketimpangan-ketimpangan tatanan sosial.
Dalam dunia politik kita, kepentingan bangsa seakan telah sirna dilibas oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Dalam dunia ekonomi, jurang kesenjangan structural antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Dalam kehidupan berbudaya, ketidak-berdayaan sistem pendidikan yang memunculkan disparitas antara “kaum kuat” (kaum pintar) dan “kaum rentan” (kaum awam) semakin dibiarkan terkatung-katung. Masyarakat begitu mudah dijadikan komoditas politis yang mudah terprovokasi. Sehingga akibatnya, muncul apa yang disebutkan oleh Eef Saefullah Fatah (pengamat politik) dengan “premanisme politik” dan “premanisme religius” yang memunculkan aksi-aksi anarkis.
Konsekuensinya, muncul tatanan social yang “amburadul”. Sistem social-ekonomi tidak lagi berpihak pada pemerataan “kue pembangunan” bagi segenap rakyat Indonesia. Semuanya habis terkuras masuk dalam kantong tebal segelintir orang-orang yang rakus dan bermental korup. Sistem hukum tidak lagi menghamba pada kebenaran dan keadilan, melainkan kepada status individu, duit, kekuasaan, dan kekuatan fisik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar