Oleh : Asep Gunawan
Siapa-pun tidak ada yang mengira, jika Ainul Rahimah, nama orisinil Inul Daratista yang penomenal itu, binarnya akan begitu melesat pesat melebihi binar senior-seniornya. Sang raja, Rhoma Irama, lewat. Sang ratu, Elvi Sukaesih, tidak ada artinya. Apa lagi pedangdut sekelas Lilis Karlina. Keahlian bergoyang ngebor yang dimilikinya, telah menempatkan dirinya menjadi selebritis papan atas yang honor keringatnya melebihi senior-seniornya.
Terlepas dari kontroversial goyangannya itu - yang jelas penulis termasuk diantara kelompok yang kontra, penulis hanya ingin memberikan “sawangan” bahwa tidak mungkin Ainul Rahimah mendapatkan kesuksesan karirnya, tanpa dibarengi dengan potensi lebih yang dimilikinya. Jarang orang memiliki liukan goyangan yang “mengebor” seperti yang dimiliki oleh pedangdut yang menurut kabar sudah “sadar” dan ingin pulang kampung ini.
Dalam rumusan kecerdasan majemuk milik Howard Gardner, Ainul Rahimah memiliki kecerdasan jasmaniah-kinestetik. Dengan potensi kecerdasan jasmaniah-kinestetik yang dimilikinya, Ainul mampu mengeksplorasi jasmaniahnya menjadi kekuatan lumayan dasyat yang menjadi trade-marknya. Karena tidak semua orang bisa melakukannya, otomatis harga goyangannya itu melambung. Dia bisa hidup dari hasil “ngebor”-nya.
Sebenarnya Ainul tidak sendiri. Masih banyak bintang-bintang lainnya yang bersinar karena kemampuan meramu potensi kecerdasan yang ada dalam dirinya. Di bidang olahraga, kita kenal dengan Taufik Hidayat, Ade Rai, dan Bambang Pamungkas. Di bidang musik, kita-pun kenal dengan anak-anak DEWA, ZAMRUD, dan SLANK. Di bidang ilmu pengetahuan, muncul pula bintang baru fisika, si mutiara hitam, George Saa. Di bidang jurnalistik, sudah banyak muncul wartawan-wartawan muda yang sudah bisa disejajarkan dengan senior-seniornya. Demikian juga di bidang pemikiran. Kemunculan pemikir-pemikir muda, sudah seperti cendawan di musim hujan.
Mereka itu pada akhirnya menggantungkan hidup dan kehidupannya melalui produksi kecerdasan yang mereka eksplorasi dan kembangkan. Inilah yang disebut dengan profesionalisme. Seseorang akan dihargai dan dihormati berdasarkan profesi yang dia geluti. Taufik Hidayat yang dulu ketika di Pangalengan masih lugu, tentu akan berbeda - baik dari segi materi, popularitas, maupun gaya hidupnya - dengan Taufik Hidayat yang sekarang. Kelompok musik Zamrud yang dulu ketika di Cimahi masih “kampungan”, berkat pengasahan telaten terhadap potensi kecerdasan bermusik yang mereka miliki, sekarang sudah berubah 180 derajat.
Terkadang, seseorang mampu mengeksplorasi dan mengembangkan lebih dari satu potensi kecerdasan yang dimilikinya. Walau-pun jarang, bangsa Indonesia memiliki orang yang cerdas secara majemuk ini. Semua orang mustahil tidak kenal dengan Prof. DR. Ir. BJ. Habibi. Si jenius ini berhasil mendaya-gunakan potensi kecerdasan logis-matematisnya, verbal-linguistiknya, musiknya - walaupun hanya sekedar hobi, spatial-mekaniknya, intra-personalnya, dan inter-personalnya. Mengikuti rumusan kecerdasan Gardner, hanya satu yang tidak dia geluti secara tekun, yakni kecerdasan jasmaniah-kinestetik.
Namun demikian, tidak berarti seseorang yang sudah memiliki potensi kecerdasan, benar-benar bisa mendaya-gunakannya secara profesional. Eksplorasi dan pengembangan potensi saja tidak cukup. Masih dibutuhkan pengembangan diri lain yang berupa konsep diri. Tidak jarang, seseorang yang cerdas dalam logis-matematis, verbal-linguistik, dan intra-personalnya, karena tidak memiliki kemampuan mengkonsep dirinya, justru dia menjadi tidak cerdas dalam hidup dan kehidupannya.
Konsep diri sering diartikan “bagaimana kita memandang diri kita”. Ketika kita memandang diri kita negatif, maka konsep diri kita negatif. Sebaliknya, jika memandang diri kita positif, maka konsep diri kita positif. Pandangan kita terhadap diri kita itulah konsep diri. Jika kita memandang diri kita rendah, maka kita menjadi orang yang rendah. Jika kita memandang diri kita bodoh dan tidak bisa apa-apa, maka kita menjadi seperti itu. Inilah yang disebut konsep diri yang negatif. Sebaliknya, jika kita memandang diri kita sebagai orang terhormat, maka kita menjadi orang yang terhormat. Jika kita memandang diri kita orang pintar, maka kita menjadi orang pintar. Inilah konsep diri yang positif.
Walau bagaimana-pun hebatnya kita mengeksplorasi dan mengembangkan potensi kecerdasan yang dimiliki, semua akan sirna bila kita tidak mendampinginya dengan konsep diri yang positif. Banyak orang-orang yang memiliki beberapa kecerdasan yang majemuk, harus layu di tengah jalan, sebelum mencapai titik kulminasi keberhasilan yang maksimal. Merasa minder berkompetisi, padahal potensi kecerdasannya selevel dengan kompetitor yang lain. Merasa bodoh dan tidak bisa apa-apa, padahal kecerdasannya sama atau bisa jadi melebihi rekan-rekannya.
Profesionalisme seseorang, atau bahkan masa depan seseorang, akan sangat ditentukan oleh ramuan apik dan sinergis dari potensi diri dan konsep dirinya. Ainul Rahimah - sekali lagi, penulis termasuk kelompok yang kontra, Taufik, Ade Rai, Bambang Pamungkas, George Saa, dan sang jenius, Prof. DR. Ir. BJ. Habibi, dapat membuktikannya secara empiris. Bagaimana dengan kita dan anak-anak kita?
Siapa-pun tidak ada yang mengira, jika Ainul Rahimah, nama orisinil Inul Daratista yang penomenal itu, binarnya akan begitu melesat pesat melebihi binar senior-seniornya. Sang raja, Rhoma Irama, lewat. Sang ratu, Elvi Sukaesih, tidak ada artinya. Apa lagi pedangdut sekelas Lilis Karlina. Keahlian bergoyang ngebor yang dimilikinya, telah menempatkan dirinya menjadi selebritis papan atas yang honor keringatnya melebihi senior-seniornya.
Terlepas dari kontroversial goyangannya itu - yang jelas penulis termasuk diantara kelompok yang kontra, penulis hanya ingin memberikan “sawangan” bahwa tidak mungkin Ainul Rahimah mendapatkan kesuksesan karirnya, tanpa dibarengi dengan potensi lebih yang dimilikinya. Jarang orang memiliki liukan goyangan yang “mengebor” seperti yang dimiliki oleh pedangdut yang menurut kabar sudah “sadar” dan ingin pulang kampung ini.
Dalam rumusan kecerdasan majemuk milik Howard Gardner, Ainul Rahimah memiliki kecerdasan jasmaniah-kinestetik. Dengan potensi kecerdasan jasmaniah-kinestetik yang dimilikinya, Ainul mampu mengeksplorasi jasmaniahnya menjadi kekuatan lumayan dasyat yang menjadi trade-marknya. Karena tidak semua orang bisa melakukannya, otomatis harga goyangannya itu melambung. Dia bisa hidup dari hasil “ngebor”-nya.
Sebenarnya Ainul tidak sendiri. Masih banyak bintang-bintang lainnya yang bersinar karena kemampuan meramu potensi kecerdasan yang ada dalam dirinya. Di bidang olahraga, kita kenal dengan Taufik Hidayat, Ade Rai, dan Bambang Pamungkas. Di bidang musik, kita-pun kenal dengan anak-anak DEWA, ZAMRUD, dan SLANK. Di bidang ilmu pengetahuan, muncul pula bintang baru fisika, si mutiara hitam, George Saa. Di bidang jurnalistik, sudah banyak muncul wartawan-wartawan muda yang sudah bisa disejajarkan dengan senior-seniornya. Demikian juga di bidang pemikiran. Kemunculan pemikir-pemikir muda, sudah seperti cendawan di musim hujan.
Mereka itu pada akhirnya menggantungkan hidup dan kehidupannya melalui produksi kecerdasan yang mereka eksplorasi dan kembangkan. Inilah yang disebut dengan profesionalisme. Seseorang akan dihargai dan dihormati berdasarkan profesi yang dia geluti. Taufik Hidayat yang dulu ketika di Pangalengan masih lugu, tentu akan berbeda - baik dari segi materi, popularitas, maupun gaya hidupnya - dengan Taufik Hidayat yang sekarang. Kelompok musik Zamrud yang dulu ketika di Cimahi masih “kampungan”, berkat pengasahan telaten terhadap potensi kecerdasan bermusik yang mereka miliki, sekarang sudah berubah 180 derajat.
Terkadang, seseorang mampu mengeksplorasi dan mengembangkan lebih dari satu potensi kecerdasan yang dimilikinya. Walau-pun jarang, bangsa Indonesia memiliki orang yang cerdas secara majemuk ini. Semua orang mustahil tidak kenal dengan Prof. DR. Ir. BJ. Habibi. Si jenius ini berhasil mendaya-gunakan potensi kecerdasan logis-matematisnya, verbal-linguistiknya, musiknya - walaupun hanya sekedar hobi, spatial-mekaniknya, intra-personalnya, dan inter-personalnya. Mengikuti rumusan kecerdasan Gardner, hanya satu yang tidak dia geluti secara tekun, yakni kecerdasan jasmaniah-kinestetik.
Namun demikian, tidak berarti seseorang yang sudah memiliki potensi kecerdasan, benar-benar bisa mendaya-gunakannya secara profesional. Eksplorasi dan pengembangan potensi saja tidak cukup. Masih dibutuhkan pengembangan diri lain yang berupa konsep diri. Tidak jarang, seseorang yang cerdas dalam logis-matematis, verbal-linguistik, dan intra-personalnya, karena tidak memiliki kemampuan mengkonsep dirinya, justru dia menjadi tidak cerdas dalam hidup dan kehidupannya.
Konsep diri sering diartikan “bagaimana kita memandang diri kita”. Ketika kita memandang diri kita negatif, maka konsep diri kita negatif. Sebaliknya, jika memandang diri kita positif, maka konsep diri kita positif. Pandangan kita terhadap diri kita itulah konsep diri. Jika kita memandang diri kita rendah, maka kita menjadi orang yang rendah. Jika kita memandang diri kita bodoh dan tidak bisa apa-apa, maka kita menjadi seperti itu. Inilah yang disebut konsep diri yang negatif. Sebaliknya, jika kita memandang diri kita sebagai orang terhormat, maka kita menjadi orang yang terhormat. Jika kita memandang diri kita orang pintar, maka kita menjadi orang pintar. Inilah konsep diri yang positif.
Walau bagaimana-pun hebatnya kita mengeksplorasi dan mengembangkan potensi kecerdasan yang dimiliki, semua akan sirna bila kita tidak mendampinginya dengan konsep diri yang positif. Banyak orang-orang yang memiliki beberapa kecerdasan yang majemuk, harus layu di tengah jalan, sebelum mencapai titik kulminasi keberhasilan yang maksimal. Merasa minder berkompetisi, padahal potensi kecerdasannya selevel dengan kompetitor yang lain. Merasa bodoh dan tidak bisa apa-apa, padahal kecerdasannya sama atau bisa jadi melebihi rekan-rekannya.
Profesionalisme seseorang, atau bahkan masa depan seseorang, akan sangat ditentukan oleh ramuan apik dan sinergis dari potensi diri dan konsep dirinya. Ainul Rahimah - sekali lagi, penulis termasuk kelompok yang kontra, Taufik, Ade Rai, Bambang Pamungkas, George Saa, dan sang jenius, Prof. DR. Ir. BJ. Habibi, dapat membuktikannya secara empiris. Bagaimana dengan kita dan anak-anak kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar