SELAMAT DATANG DI ASGUN INSTITUTE " BANGKIT BERSAMA KAUM MUDA!!! MARI BERBUAT AGAR HIDUP BERMANFAAT " Asgun Institute: Juni 2008

"Bangkit Bersama Kaum Muda" "Kami Siap Memegang Amanat!"

"Bangkit Bersama Kaum Muda" "Kami Siap Memegang Amanat!"
"Mari Berbuat Agar Hidup Bermanfaat"

Sabtu, 28 Juni 2008

FUNGSI DAN MANAJEMEN MASJID

Disarikan dari Dialog Islam
Cahaya Ruhani Subuh K 911 FM
Oleh : Asep Gunawan
Moderator : Agus Sopyan


Menurut penelitian beberapa pakar sosiologi muslim, pertumbuhan Islam di Indonesia saat ini sedang mengalami fluktuasi peningkatan yang sangat menggembirakan. Semakin suburnya animo dan “ghirah” masyarakat dalam pembangunan masjid, menjadi indikasi yang sangat kuat. Hampir di setiap lingkungan RW – atau bahkan di lingkungan RT, sekarang ini tidak sulit untuk menemukan sarana peribadatan bagi umat Islam ini. Motivasi hadits Nabi yang berbunyi :”Barang siapa yang membangun masjid, maka akan dibangunkan istana oleh Allah nanti di surga”, sepertinya menjadi salah satu penyebab yang paling utama (kausa efisien).
Namun, melihat penomena yang berkembang saat ini, sepertinya pernyataan itu tidak seluruhnya benar. Sebab, animo dan “ghirah” masyarakat dalam pembangunan masjid, umumnya tidak sepenuhnya ditindak-lanjuti dengan pemanfaatan (pemakmuran) masjid secara maksimal. Padahal, dimensi pemanfaatan masjid secara maksimal merupakan rangkaian usaha yang wajib diikuti setelah selesai pembangunan masjid.
Maka dari itu, tidaklah mengherankan bila ditemukan banyak sekali masjid-masjid yang selesai dibangun, kemudian setelah itu terbengkalai tidak difungsikan sebagaimana seharusnya. Masjid hanya sekedar difungsikan menjadi tempat ibadah dalam pengertian mahdhah saja. Sehingga akhirnya, perlahan tapi pasti, masjid-masjid itu seakan kehilangan fungsi nilai universalnya yang strategis. Ini tentu saja tidak relevan dengan fungsi masjid sebagai tempat ibadah (taqarrub) kepada Alllah SWT dan sekaligus menjadi tempat pendidikan umat Islam dalam pengertian yang luas.
Terjadinya penomena di atas, tentu erat kaitannya dengan minimnya pengetahuan tentang fungsionalisasi masjid sebagai sarana pembinaan masyarakat, dan ditambah pula dengan minimnya pengetahuan tentang pengelolaan (manajemen) masjid dimiliki oleh masyarakat Islam. Tulisan ini ingin mengetengahkan bahwa manajemen merupakan dimensi paling penting dalam pemanfaatan (pemakmuran) masjid sebagai medium pembinaan bagi masyarakat Islam.

Pengertian Masjid
Lafadz masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali dalam al-Qur’an. Secara etimologi (lughoh), lafadz masjid diambil dari akar lafadz “sajada – yasjudu – sujuudan”, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Dalam bentuk lahiriyah, secara syari’at, yang dinamakan sujud adalah meletakan dahi, kedua telapak tangan, lutut, dan kaki ke bumi. Dari sinilah akarnya, mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan sujud (sebagai rangkaian dari shalat) dinamai masjid (isim makan), yang artinya “tempat bersujud”.
Menurut Quraish Shihab dalam buku “Wawasan al-Qur’an”, dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat umat Islam. Namun, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, maka hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mencerminkan kepatuhan dan ketundukan kepada Allah semata. Dengan demikian, masjid harus menjadi pangkal tempat seorang muslim bertolak, sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh.

Masjid Pada Masa Rasulullah SAW
Ketika datang pada suatu daerah, usaha pertama yang dilakukan oleh Rasulullah adalah mendirikan masjid sebagai pusat aktivitas. Pada waktu itu, bentuk masjid yang didirikan sangatlah sederhana, yakni bangunan berlantaikan tanah dan beratapkan daun pelepah kurma. Setelah Rasulullah dan para sahabatnya mencapai kejayaan, barulah kemudian didirikan bangunan masjid yang besar dari atsar-atsar masjid yang sangat sederhana tersebut.
Masjid pertama yang didirikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itu adalah Masjid Quba’, dan kemudian disusul dengan Masjid Nabawi di Madinah. Walaupun terjadi kontradiksi tentang masjid yang didirikan atas dasar takwa (sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Taubah 108) – apakah Masjid Quba’ atau Masjid Nabawi, yang jelas kedua masjid yang didirikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itu telah memenuhi kriteria landasan dan fungsi ketakwaan sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.
Pada masa Rasulullah juga, pernah berdiri sebuah bangunan masjid yang didirikan oleh orang-orang munafik – yang dikenal dengan Masjid Dhiror (masjid pembawa kemudhorotan). Karena bukan didirikan atas fungsi masjid yang sebenarnya, yakni atas dasar takwa, maka bangunan masjid tersebut kemudian diruntuhkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, serta kemudian menjadikan lokasi masjid itu tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang. Kisah Masjid Dhiror ini kemudian diabadikan dalam al-Qur’an Surat al-Taubah ayat 107.
Masjid Nabawi yang didirikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah, telah berperan besar dalam pembentukan identitas dan mentalitas ketakwaan umat Islam dengan beragam aktivitas kegiatan yang diprogramnya. Menurut catatan sejarah, tidak kurang dari sepuluh peran yang telah diemban oleh Masjid Nabawi, yakni :
1. Sebagai tempat ibadah (shalat dan dzikir).
2. Sebagai tempat konsultasi dan komunikasi masalah sosial-budaya, sosial-ekonomi, dan sosial-politik.
3. Sebagai tempat pendidikan.
4. Sebagai tempat santunan sosial.
5. Sebagai tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
6. Sebagai tempat pengobatan korban perang.
7. Sebagai tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
8. Sebagai auditorium dan tempat menerima tamu.
9. Sebagai tempat menawan tahanan, dan
10. Sebagai pusat penerangan atau advokasi agama.
(Dikutip dari Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Mizan).

Bagaimana Memfungsikan Masjid Pada Masa Kini
Fungsi dan peranan masjid seperti yang dijalankan oleh Rasulullah dan para sahabatnya itu tentunya sangat berat untuk diterapkan pada masa sekarang ini. Disamping situasi dan kondisi umat Islam pada waktu itu dengan masa sekarang jelas-jelas berbeda, juga tentu saja untuk pengelolaannya akan memerlukan konsepsi manajemen yang harus benar-benar modern.
Berkaitan dengan situasi dan kondisi umat Islam pada masa Rasulullah yang dapat memposisikan masjid mampu berperan begitu luas, Quraish Shihab menjelaskan faktor-faktor penyebabnya, yakni : Pertama, karena kondisi umat Islam pada waktu itu masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma, dan jiwa agama. Kedua, karena kemampuan pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan program kegiatan masjid. Dan ketiga, karena manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid - baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam atau khatib, maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan musyawarah (syura).
Sedangkan berkaitan dengan persoalan kedua, yakni mengenai konsepsi manajemen yang harus benar-benar modern, tentu saja diperlukan upaya serius untuk merumuskannya. Diantara beberapa pokok pikiran yang harus dijadikan pedoman dalam penyusunan rumusan konsepsi manajemen masjid itu adalah sebagai berikut :
1. Harus berangkat dari dasar pemikiran bahwa masjid memiliki fungsi yang sangat strategis, yakni, disamping sebagai tempat ibadah (dzikir) kepada Allah SWT, masjid juga harus difungsikan menjadi tempat pembinaan dan pemberdayaan umat Islam.
2. Oleh karena itu, harus diupayakan terwujud berbagai sarana masjid yang menyenangkan dan menarik bagi umat Islam – baik yang dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat ataupun sakit, serta kaya ataupun miskin.
3. Untuk mengejar fungsi dan pemanfaatan berbagai sarana di atas, maka harus disusun program-program kegiatan masjid yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Islam serta kemampuan sarana dan dana.
4. Program-progam tersebut harus didukung pula dengan sumber daya manusia yang berlandaskan “the right man on the right job and place”. Atau dengan kata lain, harus dikelola oleh struktur manajerial yang memiliki kompetensi.

Dalam Muktamar Risalatul Masjid di Mekah pada tahun 1975, mengenai masalah sarana dan prasarana masjid ini telah didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan dan peralatan yang memadai untuk :
1. Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
2. Ruang–ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar-masuk tanpa bercampur dengan pria - baik digunakan untuk shalat maupun untuk pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK).
3. Ruang pertemuan dan perpustakaan.
4. Ruang poliklinik serta ruang untuk memandikan dan mengkafankan mayat.
5. Ruang bermain, berolah raga, dan berlatih bagi remaja.

Yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan di Masjid
Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dijaga dan dipelihara. Segala hal yang diduga akan mengurangi kesucian masjid atau mengesankan hal tersebut, tidak boleh dilakukan di dalam masjid maupun diperlakukan terhadap masjid. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah Saw sangat menganjurkan agar memakai wangi-wangian saat berkunjung ke masjid dan melarang mereka yang baru saja memakan bawang untuk memasukinya.
Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman : “Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.”
Masjid harus mampu memberikan ketenangan dan ketentraman pada para pengunjung dan lingkungannya. Karenanya, Rasulullah melarang keras orang yang melakukan perniagaan di dalam masjid. Dalam salah satu haditsnya beliau mengatakan : “Jika engkau mendapati seseorang menjual atau membeli di dalam masjid, katakanlah kepadanya : “Semoga Allah tidak memberikan keuntungan bagi perdaganganmu”. Dan bila engkau mendapati seseorang mencari barangnya yang hilang di dalam masjid, maka katakanlah : “Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu.”

Wa Allah A’lam bi al-Shawwab

ISLAM ADALAH KESEIMBANGAN HIDUP

Oleh : Asep Gunawan

Sebagai agama yang muncul terakhir dalam rentetan agama-agama samawi, Islam memiliki kekhasan tersendiri dalam konsep dan aktualisasinya. Kekhasan konsep Islam ini tidak bisa dilepaskan dari konsep dasarnya yang berdiri diantara dua kaki : dunia dan akhirat. Dalam konsep Islam, dunia dan akhirat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat dua sisi keping mata uang, bila hilang salah satu sisinya, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai keping mata uang. Demikian juga dengan Islam, bukan Islam namanya kalau seandainya dunia terlepas dari akhirat; atau sebaliknya, akhirat terlepas dari dunia. Dalam konteks ini, sangat bisa dimengerti bila umat Islam di dalam setiap kesempatan berdo’a selalu menyelipkan do’a “sapu jagat”, ‘rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina adzaban nar’.
Konsep dasar Islam yang bersipat dualitas ini didasarkan kepada satu dalil bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya memiliki dua misi sekaligus; sebagai khalifah dan sebagai ‘abid. Sebagai khalifah manusia bertugas mewakili Allah untuk mengelola keseimbangan alam semesta yang diciptakan-Nya. Dengan potensi akal pikir yang telah dianugrahkan Allah, manusia dibebaskan untuk menikmati alam semesta beserta isinya. Hanya satu permintaan Allah, agar alam semesta ini senantiasa seimbang, “Janganlah kamu di dalam mengelola alam semesta ini dilandasi dengan sipat dan sikap merusak (destruktif)”. Ketidak-seimbangan alam semesta – dan karena itu alam semesta menjadi murka, nyata telah mengakibatkan terjadinya bencana bagi manusia.
Bencana longsor (baik tanah ataupun sampah) dan banjir di beberapa daerah adalah bukti yang tidak terbantahkan dari ‘logika’ ketidak-seimbangan alam semesta ini. Mewabah massifnya penyakit demam berdarah dan cikungunya (termasuk di dalamnya hama-hama penyakit tanaman pangan) menjadi bukti ada yang salah dalam ‘pergaulan’ kita dengan ekosistem kehidupan yang ada di alam semesta. Untuk tujuan mengingatkan kembali kepada ‘pergaulan’ yang seimbang dengan alam semesta inilah Allah berfirman : “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan, karena manusia tidak memperhatikan keseimbangan alam semesta, agar dapat merasakan sebagian dari karya destruktifnya, dengan harapan bisa kembali kepada ‘pergaulan’ dengan alam semesta yang sebenarnya. ” (QS. Al-Rum : 41)
Sebagai ‘abid (hamba Allah), manusia bertugas beribadah kepada Allah. Dalam kajian fikih Islam, ibadah itu terbagi ke dalam dua bagian; ada yang bersipat ‘sempit’ melalui ibadah mahdhah yang ‘rule of game’ dan waktunya sudah ditentukan seperti shalat, puasa, zakat dan haji; ada juga yang bersipat luas melalui aktivitas hidup tidak terbatas waktu yang diselaraskan dengan niat ikhlas beribadah kepada Allah. Dalam kaitannya dengan macam ibadah yang kedua, Sayidina Ali Ibnu Abi Thalib memiliki prinsip hidup ‘Hayatuna kulluha ibadatun’ (segala ringkah paripolah kita di dunia harus dimaknai dengan nilai ibadah).
Bila kita perhatikan ringkah paripolah Rasulullah SAW sehari-hari yang termaktub dalam catatan hadits, apa yang menjadi prinsip Sayidina Ali itu sudah teraplikasi secara ideal. Dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali, Rasulullah memaknai kisi-kisi hidupnya dengan nilai ibadah – baik dalam arti sempit ataupun luas. Dzikir dalam paradigma Rasulullah tidak terbatas waktu shalat dan berdo’a saja. Dari detik ke detik dalam kesehariannya, dzikir dan fikir (sebagai proses ibadah baik dalam arti sempit maupun luas) menjadi rutinitas dalam aktivitas hidupnya. Efeknya dalam memaknai tugasnya sebagai khalifah, Rasulullah menekankan kepada satu prinsip kesatuan yang seimbang antara dunia dan akhirat.
Ketidak-seimbangan di dalam memandang kehidupan dunia dan akhirat, bukanlah sikap yang dimiliki oleh seorang muslim. Karena itulah Islam tidak merestui munculnya ‘sekulerisme’, satu paham yang tidak mengakui kesatuan antara dunia dan akhirat; tidak ada hubungan sama sekali antara dunia dan akhirat, akhirat dan dunia. ‘Sekulerisme’ hanya akan mengorientasikan tujuan hidup kita pada satu sisi; jika tidak sisi dunia saja, pasti sisi akhirat saja.
Bagi seorang muslim, dunia adalah sawah ladang tempat berjuang (majro’ah), yang hasilnya akan dirasakan ketika memasuki kehidupan akhirat. Maka dari itu, sangatlah proporsional jika Rasulullah pernah menegur dengan keras seseorang yang sehari-hari kerjanya dzikir di mesjid, sementara istri dan anak-anaknya dibiarkan terlantar - sehingga diberi makan oleh mertuanya. Dzikir dalam arti melapadkan ‘amalan’ dzikir tentu tidak dilarang; tapi dzikir yang benar-benar dzikir adalah dzikir yang mampu mensintesakan dua kepentingan yang satu sama lainnya saling menopang; yakni kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.
Cag !

DIALEKTIKA BUDAYA

Oleh : Asep Gunawan

Yang masih saya ingat dari kata-kata terakhir almarhum guru saya, al-ustadz Nasihin, beberapa hari sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya adalah : “Ambilah kebenaran itu walaupun dia keluar dari mulut anak kecil sekalipun”. Pada saat itu, saya tidak benar-benar serius memikirkannya, maklum dalam suasana yang masih diliputi kepedihan yang mendalam. Namun, sekarang saya dapat menemukan kebenaran sejati dari kata-kata terakhir guru yang saya cintai itu, manakala menghadapi kondisi umat yang semakin terasa kurang dekat dengan kondisi idealnya, baik secara identitas personal maupun identitas social.
Seiring dengan kemajuan besar peradaban yang diperoleh manusia, dalam gerak sejarah terjadi pergeseran pola pemikiran yang pengaruhnya sangat besar terhadap pola hidup dan kehidupan manusia. Kita sadar, bahwa seluruh gerak aktivitas manusia sangat dipengaruhi oleh inter-tekstualitas (apa yang dibaca dan dipelajarinya) dan inter-subjektivitas (bagaimana ideologinya, agamanya, serta pergaulannya) yang mengkonstruksi sistimatika pemikirannya. Dengan demikian, manusia berpikir, bertutur, dan berprilaku didasarkan atas konstruksi pemikirannya itu.
Ada kecenderungan, umat sekarang ini seperti lupa terhadap sunatullah evolusi gerak sejarah yang bergerak dinamis. Sehingga kedinamisan gerak sejarah itu tidak diikuti dengan usaha-usaha kreatif dan inovatif untuk mengimbanginya. Akhirnya, dalam gerak sejarah yang bersipat dinamis itu, umat hanya dapat menjadi penonton atau bahkan, ini yang umumnya terjadi, menjadi “objek penderita” kemajuan gerak sejarah peradaban manusia.
Seperti diungkapkan Carles Darwin, Survival of The Fittest, hanya pemikiran yang siap fight dan kreatif yang akan tetap konsisten hidup. Pemikiran yang stagnan dan apalagi mundur, walaupun secara penomena masih kentara, akan kelihatan “pucat” dan “kering” tanpa sinar inovasi; dan lambat laun, akhirnya akan kehilangan relevansinya dengan gerak sejarah; dan akhirnya terkubur : mati.
Romantisasi pada sejarah kesuksesan masa lalu memang perlu. Tapi, sejauh mana romantisasi itu dapat membangkitkan “etos” budaya dan pemikiran, ini yang lebih signifikan dan mendasar. Kelemahan kita, upaya romantisasi banyak menenggelamkan dan mengharuskan kita hidup dalam angan-angan masa lalu, sehingga lupa terhadap pijakan realitas masa sekarang.
Dalam karya monumentalnya – kitab “Muqadimah”, ilmuan sosial muslim, Ibnu Khaldun, meyakini tesis bahwa gerak sejarah adalah : lahir, tumbuh, berkembang, sukses, dan kemudian tenggelam. Dalam proses alamiah ini, untuk mempertahankan eksistensi dan dinamisasi, mau tidak mau, harus melibatkan empat konsep evolusi “perjuangan” yang dirumuskan oleh Darwin, yakni : struggle for life, survival of the fittest, natural selection, dan progress.
Pada saat itu, akan sangat penting kesadaran dialektika budaya dan pemikiran. Kesadaran dialektika akan memunculkan rumusan tesis budaya dan pemikiran yang terbuka dan tidak “mati”. Oleh karena itu, tatkala muncul antitesis mengkritiknya, yang muncul bukan budaya dan pemikiran yang bersipat apologis. Tetapi budaya dan pemikiran sintesis yang bersipat dialogis dan “berbudaya”.
Prinsip budaya dan pemikiran klasik, “al-muhafadzah bi a-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah” (menjaga tradisi budaya dan pemikiran yang lama yang baik, dan mengambil tradisi budaya dan pemikiran yang baru yang lebih baik), sepertinya harus kembali ditradisikan dalam khazanah budaya dan pemikiran umat – baik sebagai identitas personal maupun identitas sosial. Dan ini merupakan harga mati bagi cita-cita kemajuan peradaban.
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab

CINTA BUTA DAN CINTA SEJATI

Oleh : Asep Gunawan

“Cinta Buta adalah cinta yang buta melihat aib dan kejelekan yang dicintai.”
Alkisah di sebuah negeri antah-berantah, ada dua pasang manusia saling mencintai. Secara lahiriyah kelihatan tidak ada persoalan. Apalagi ketika belum mendapatkan “ujian kecintaan”. Semuanya berjalan lancar-lancar saja. Namun, tatkala badai masalah datang menerpa, secara katagoris akan terlihat ada kondisi substansial yang membedakan kecintaan mereka. Pasangan yang satu terlihat didasari oleh kecintaan yang buta; sedangkan pasangan yang lain kokoh dilandasi oleh kecintaan yang sejati.
Ketika aib dan kejelekan sang kekasih muncul ke permukaan, pasangan yang satu seakan tidak melihat aib dan kejelekan itu. Di matanya, segala yang ada dalam diri sang kekasih semuanya terlihat baik dan indah. Tidak terlihat secuilpun cacat dan kejelekan melekat. Akal sehatnya telah dimatikan oleh emosi buta kecintaannya. Konsekuensinya, dia akan membela mati-matian (bahkan rela untuk mati) demi perbuatan yang disangkanya akan mempertahankan harga diri sang kekasih yang dicintainya. Padahal, pembelaannya justru telah menjadikan sang kekasih lebih terpuruk lagi dalam aib dan kejelekannya.
Berbeda dengan pasangan yang kedua. Kecintaan yang terjadi diantara mereka begitu tulus. Bagi pasangan ini, aib dan kejelekan bukan berarti harus dibela dan dipertahankan – apalagi dengan cara-cara yang tidak rasional, melainkan harus diperbaiki dan diluruskan. Saling mengingatkan dan saling menasehati adalah prinsip hidup pasangan kedua ini. Inilah yang telah menjadikan pasangan kedua ini hidup dalam keabadian cinta. Dan ini merupakan bukti nyata bahwa mereka saling mencintai.
***
Sungguh ironis nasib bangsa kita sekarang ini. Di tengah semakin kencangnya angin globalisasi dunia – dengan nilai-nilai liberasi sebagai karakter utamanya, bangsa kita masih berkutat terbelenggu oleh ketidak-pastian politik, keterpurukan ekonomi, ketidak-jelasan identitas budaya, dan ketimpangan-ketimpangan tatanan sosial.
Dalam dunia politik kita, kepentingan bangsa seakan telah sirna dilibas oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Dalam dunia ekonomi, jurang kesenjangan structural antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Dalam kehidupan berbudaya, ketidak-berdayaan sistem pendidikan yang memunculkan disparitas antara “kaum kuat” (kaum pintar) dan “kaum rentan” (kaum awam) semakin dibiarkan terkatung-katung. Masyarakat begitu mudah dijadikan komoditas politis yang mudah terprovokasi. Sehingga akibatnya, muncul apa yang disebutkan oleh Eef Saefullah Fatah (pengamat politik) dengan “premanisme politik” dan “premanisme religius” yang memunculkan aksi-aksi anarkis.
Konsekuensinya, muncul tatanan social yang “amburadul”. Sistem social-ekonomi tidak lagi berpihak pada pemerataan “kue pembangunan” bagi segenap rakyat Indonesia. Semuanya habis terkuras masuk dalam kantong tebal segelintir orang-orang yang rakus dan bermental korup. Sistem hukum tidak lagi menghamba pada kebenaran dan keadilan, melainkan kepada status individu, duit, kekuasaan, dan kekuatan fisik.

MARI MEMANEN GENERASI EMAS

Oleh : Asep Gunawan

Tidak diragukan lagi, bahwa pendidikan memiliki peran yang sangat sentral dalam upaya pembangunan sebuah bangsa. Semakin tinggi perhatian bangsa terhadap pendidikan masyarakatnya, maka akan semakin tinggi pula harapan yang bisa digantungkan untuk menuai masa depan bangsa yang lebih cerah.
Motivasi inilah yang menjadi landasan utama pembangunan bangsa Jepang. Seiring kekalahan menyakitkan pada perang dunia kedua, bangsa Jepang mulai berkeinginan untuk bangkit kembali mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa besar. Dalam strategi pembangunannya, bangsa Jepang memprioritaskan aspek pendidikan di atas segala-galanya. Yang tersirat dalam benak seluruh bangsa Jepang pada waktu itu; pendidikan adalah solusi penyelamat bangsa.
Ternyata, pilihan itu tidaklah salah. Memasuki abad-abad milenium yang bercirikan “persaingan global”, bangsa Jepang dapat menengadahkan kepalanya dengan tegak. Ini tiada lain, karena sampai saat ini, bangsa Jepang menjadi lokomotif kedigjayaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta simbol kemajuan bangsa Asia. Tentu saja, keadaan ini sangat bertolak belakang dengan kondisi relitas bangsa Indonesia.

Memupuk Generasi Emas
Meneliti kenyataan hidup dan kehidupan saat ini, mengimplikasikan adanya pergeseran cara pandang tentang persoalan ekonomi. Jika dulu, aspek yang paling penting dalam pembangunan sebuah bangsa adalah adanya sumber daya alam yang melimpah. Sekarang, asumsi itu sudah harus dikubur dalam-dalam. Karena yang berkembang saat ini adalah orientasi “human capital” (yang terpenting adalah modal berupa manusia unggul). Jepang telah membuktikan hal ini dengan empiris.
Akan sia-sia jika kita hanya bisa mewariskan sumber daya alam yang melimpah, tanpa dibarengi dengan warisan lain berupa sumber daya manusia yang memadai. Terbukti, limpahan keindahan sumber daya alam yang dulu kita banggakan, ternyata - sedikit demi sedikit - habis, dan yang paling banyak menikmatinya ternyata perusahaan-perusahaan asing. Kita sebagai pemiliki sah negeri ini, hanya bisa menjadi penonton; atau bahkan penderita - karena efek kerusakan ekologis yang berdampak panjang. Inikah yang akan kita wariskan kepada generasi penerus bangsa?
Inilah mungkin hikmahnya, kenapa Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 9, mengingatkan kita; “Hendaknya merasa khawatir jika kita meninggalkan generasi penerus dalam keadaan lemah (dzuriyatan dhi’afan); baik secara ekonomi, akhlaq, maupun keilmuan.”
Maka dari itu, dalam mengejar orientasi “human capital” yang siap fight berkompetisi dalam era global, tidak ada solusi lain selain pendidikan. Dengan sentuhan pendidikan, nilai keilmuan (kognitif) seseorang diarahkan untuk menjadi sosok intelek yang dapat berpikir lurus; tahu mana yang benar dan tidak benar, tepat dan tidak tepat. Dengan sentuhan pendidikan pula, nilai akhlaq (afektif) seseorang diarahkan untuk menjadi sosok arif dan santun, sehingga terjaga tutur kata dan sikapnya.
Demikian pula, dengan sentuhan pendidikan, nilai ekonomis (psikomotorik) seseorang diarahkan untuk menjadi sosok profesional yang mampu hidup mandiri dan berdikari; sehingga gambaran masa depan baginya adalah bagaimana mengeksplorasi dan mengembangkan potensi diri dan konsep diri yang ada dalam dirinya. Bagi sosok seperti ini, menjadi pengangguran tidak ada kamus dalam hidupnya.
Namun, sudahkah konsep dan sistem pendidikan kita mengarah ke sana?

Hanya satu kata; Perubahan
Harus diakui dengan jujur, bahwa konsep dan sistem pendidikan kita sampai saat ini, belumlah seratus persen mengarah ke sana. Pendidikan, di mata pemimpin-pemimpin bangsa ini, masih dianggap aspek yang tidak terlalu vital dan menentukan. Bahkan, ketika masa-masa kampanye, pendidikan biasanya hanya dijadikan komoditas politik saja. Setelah berkuasa, lupa dengan obral janji-janjinya dulu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika rangking pendidikan kita terus merosot ke papan bawah, sekalipun di tingkat Asia Tenggara.
Solusi yang terbaik adalah merumus ulang seluruh konsep dan sistem pendidikan kita. Sesuaikan kembali dengan visi atau tujuan pendidikan yang tercantum dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar; yakni menciptakan manusia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tentu saja, untuk dapat mewujudkan tujuan itu, perlu kerja sama dari seluruh stakeholder pendidikan. Dalam konteks daerah, Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan, Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, praktisi pendidikan (kepala sekolah dan guru), serta masyarakat secara umum, harus dapat bekerja sama dan saling mununjang dalam merumuskan dan melaksanakan konsep dan sistim pendidikan berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Tanpa adanya kerja sama dalam mewujudkannya, mustahil dunia pendidikan di kabupaten Purwakarta akan berubah ke arah yang lebih baik. Maka dari itu, perlu ada sikap legowo dan saling riksa diri dari stakeholder pendidikan di kabupaten Purwakarta. Ibarat sebuah bangunan rumah, biarlah Pemerintah Daerah menjadi pondasi dan dindingnya. Dinas Pendidikan menjadi genting dan internitnya. Kepala Sekolah dan guru menjadi pengisi yang akan mengisi rumahnya. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah menjadi cat dan pelitur yang akan menjaga bangunan rumah dari rayap-rayap yang akan merusak. Dan masyarakat umum, tentu saja menjadi pemilik sah bangunan itu.
Tidak mungkin muncul perubahan tanpa adanya keinginan kuat dari kita (seluruh stakeholder pendidikan) untuk berubah. “Allah tidak mungkin merubah kondisi suatu kaum, sampai ada keinginan kuat dari kaum itu untuk melakukan perubahan.” (QS. Al-Ra’du : 11). Sepertinya ini harga mati.

Jumat, 27 Juni 2008

CATATAN BESAR DARI PESERTA LOKAKARYA (EH, SOSIALISASI KETANG)

Oleh : Asep Gunawan

Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Senin tanggal 4 April 2005, Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) kabupaten Purwakarta bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana (PPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengadakan acara lokakarya Perencanaan Umum Pembangunan Makro Pendidikan Kabupaten Purwakarta. Dilihat dari sudut pandang kreativitas, tentu adanya acara lokakarya itu merupakan sebuah dinamisasi yang luar biasa. Sebab, sepanjang yang saya tahu, kabupaten Purwakarta belum memiliki ‘master plan’ pendidikan sebagai ‘kompas’ yang dapat mengontrol tahapan-tahapan pembangunan di sektor pendidikan. Kalau tidak salah, rencana penyusunan ‘master plan’ pendidikan ini sudah mulai dirintis oleh Bapeda ketika lembaga ‘think thank’ pemerintah daerah itu dipimpin oleh Drs. Maman Rosama, MM.
Namun, ada beberapa hal yang perlu diberi catatan besar berkaitan dengan acara lokakarya tersebut. Pertama, berkaitan dengan format acara, yang menurut hemat penulis, sungguh sangat ‘jauh panggang dari pada api’. Sepanjang pemahaman penulis, yang namanya lokakarya itu adalah kegiatan ‘sharing’ ide dan gagasan dalam suasana dialogis antara peserta lokakarya, yang kesimpulannya kemudian dirumuskan sebagai hasil bersama. Oleh karena itu, konsep materi yang telah disiapkan oleh panitia, hendaknya bukan merupakan konsep yang sudah ‘mati’, yang tidak bisa dirubah-rubah lagi.
Sayang, yang penulis dapatkan di sana, kesempatan acara yang seharusnya menjadi wahana menyamakan persepsi dan memunculkan ide-ide dasyat dalam konteks lokal Purwakarta berkaitan dengan perencanaan pembangunan pendidikan itu, dari awal sudah ‘diganggu’ dengan prolog dari salah seorang profesor perumus yang ‘menyekak-mat’; bahwa acara dialog itu bukan untuk merubah konsep yang telah dirumuskan, tetapi hanya sebagai ajang sosialisasi dan publikasi.
Kalau memang tujuan itu yang dimaksud, it’s okay, tidak masalah. Paling-paling akan muncul persepsi dari peserta bahwa panitia dan tim perumus konsep ternyata bekerja tidak terkoordinasi. Namun, bila dipikir-pikir, terlihat menjadi ‘mubazir’ tatkala diketahui bahwa peserta yang hadir di sana ternyata bukan orang ‘jore-jore’. Rata-rata peserta yang hadir adalah mereka yang memiliki akses dan pengalaman yang kuat di bidang pendidikan dalam konteks lokal Purwakarta. Dengan demikian, menjadi ‘mubazir’ juga pemikiran-pemikiran konseptual-filosofis dari Wakil Bupati Purwakarta yang sengaja diungkapkan di awal pembukaan sebagai bahan masukan untuk lokakarya itu. Mudah untuk ditebak, akhirnya acara berjalan menjadi monoton dan tidak dinamis, karena yang terjadi adalah arena perkuliahan. Tiga orang profesor di depan terlihat sedang mengajar kurang lebih seratusan mahasiswa.
Kedua, berkaitan dengan konsep materi yang telah dirumuskan secara intensif oleh empat orang profesor. Jujur saja, setelah membaca secara keseluruhan konsep materi yang disodorkan oleh panitia, ternyata bukanlah merupakan ‘barang’ yang sama sekali ‘baru’ bagi masyarakat pendidikan Purwakarta. Pointer-pointer konseptual yang dicatat dalam rumusan perencanaan itu, kalau mau jujur, semuanya merupakan wacana yang sudah ‘galib’ didiskusikan oleh masyarakat pendidikan Purwakarta; karena wacana-wacana itu sudah banyak dibahas dalam buku-buku pintar pendidikan.
Kalau memang begitu keadaannya, sebetulnya tak perlu jauh-jauh (dan mahal-mahal) kita menyewa tim perumus ‘luar’ untuk membuat konsep perencanaan umum pembangunan makro pendidikan itu. Kalau saja kita mau menginventarisir SDM pendidikan yang ada di kabupaten Purwakarta, sebetulnya banyak SDM yang dapat merumuskannya secara lebih tepat sasaran dan lebih kontekstual. Karena, disamping secara teoritis keilmuan riset pendidikan memang dimiliki dan dikuasai – karena banyak yang sudah memiliki gelar Magister Pendidikan dan Doktor (juga Calon Doktor) Pendidikan, SDM ‘pribumi’ akan lebih ‘imeut’ dan ‘nincak bumi’ karena memang mengetahui betul secara empiris problem pendidikan Purwakarta yang sebenarnya. Ini akan berbeda dengan SDM ‘luar’ yang biasanya hanya mampu menguasai secara teoritis keilmuan riset pendidikannya saja; sementara secara empiris, penulis haqul yakin, SDM ‘luar’ tidak akan sanggup memahami problem pendidikan Purwakarta sesungguhnya hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Kalau-pun mau menggunakan SDM ‘luar’, seharusnya posisinya sebatas konsultan saja. Dengan demikian, tak perlu repot-repot kita menyewa profesor sampai empat orang. Untuk konsultan, cukup sebetulnya kita menyewa 1 atau 2 orang profesor. Logika ekonominya, 1 atau 2 orang profesor akan lebih ‘murah’ membayarnya ketimbang 4 orang profesor. Bukankah ini akan lebih menghemat.
Lagi pula, bila kita mau sedikit jujur, permasalahan pendidikan di Indonesia ini hakikatnya hampir serupa; bukan pada tahapan kedasyatan konsep makro dan mikronya, melainkan pada tahapan implementasi teknisnya di lapangan yang selalu dibiasakan sepi dari ‘niatan ikhlas’ dan ‘keistiqomahan’. Mau bukti, lihat saja hasil kesimpulan moderator, yang hanya memuat satu pointer penting : “Kita perlu payung hukum!”. Selesai sudah. @

Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.

SAYANG ANAK (Antara Kesejatian dan Kebutaan)

Oleh : Asep Gunawan

“Sayang anak, sayang anak,” teriak lelaki muda pedagang aneka mainan anak-anak di sudut Pasar Rebo, Purwakarta. Sambil kedua tangannya (memaksa) menawarkan “momobilan” dan “rorobotan” kepada anak balita dalam gendongan ibunya, tiada henti mulutnya berteriak membujuk : “Sayang anak, sayang anak. Ayo de, ini mainan bagus. Bisa jalan sendiri dengan remote kontrol.”
Si anak yang terkantuk-kantuk, mendapat serangan bertubi-tubi seperti itu, menjadi “curinghak”. Mula-mula hanya melihat, kemudian memperhatikan, lalu kemudian mengelus. Bisa diduga, si anak lalu merengek minta di belikan “momobilan” itu.
Kini tinggal si ibu yang sedikit agak kebingungan. Ibarat buah simalakama; jika dicuekin, si anak akan semakin keras merengek dan juga khawatir disangka tidak sayang anak (minimal oleh pedagang tadi). Jika dibelikan, jelas kontraproduktif dengan program pendidikan anak yang telah disepakati bersama suaminya untuk berprinsip hidup hemat dan produktif, tentunya dengan tanpa membelenggu masa bermain anaknya.
Jelas, sebuah pilihan sulit yang dilematis dan problematik sifatnya. Namun, jelas juga, pilihan kita haruslah yang terbaik untuk mengaktualisasikan rasa sayang sejati kita kepada anak. Jika dalam skup yang bersifat mikro saja, yakni mengurus anak sendiri, kita kebingungan dalam menentukan pilihan yang terbaik. Apalah jadinya bila hal ini terjadi dalam skup yang bersifat lebih makro lagi; mengurus anak-anak bangsa.
Kemarin, kita baru saja menyelesaikan masa-masa “mencekam” Ujian Nasional (UNAS). Namun, alhamdulillah, kita dapat melewatinya, bukan saja dengan sikap cool and calm, melainkan juga (ini yang menjadi kebanggaan kita), rangking kabupaten Purwakarta dalam lingkup Jawa Barat terdongkrak naik ke “papan tengah”; rangking ke-9. Tentu ini membanggakan masyarakat Purwakarta.
Namun, demi keberlangsungan “kesehatan” generasi mendatang masyarakat Purwakarta ke depan, ada beberapa catatan besar yang harus kita coba merenunginya secara arif. Teropong beberapa pengamat pendidikan menemukan beberapa indikasi yang tidak sehat dalam pencapaian hasil UNAS kemarin. Stigma rangking buncit kemarin dan ditambah juga dengan kekhawatiran yang berlebihan, ternyata membuat sebagian praktisi pendidikan kita menjadi gelap mata. Akhirnya yang terjadi adalah peggunaan cara-cara yang tidak sehat dan tidak menyehatkan.
Sepertinya sudah bukan rahasia umum lagi bahwa di tingkat dasar (SD), anak-anak kita sudah dididik cara-cara yang tidak sehat dan tidak menyehatkan itu. Guru pengawas, mungkin atas perintah kepala sekolah, dan kepala sekolah mungkin juga atas perintah pejabat di atasnya, dengan sengaja memberikan kunci jawaban UNAS yang dituliskan di papan tulis. Atau yang lebih demonstratif lagi, guru pengawas sengaja memberikan kunci jawaban UNAS secara langsung kepada anak melalui lisan. Atau yang lebih ironis lagi, seperti yang disinyalir beberapa pengamat pendidikan di kabupaten Purwakarta, soal-soal UNAS sengaja dibocorkan dan sudah dibahas sebelum diujikan.
Ketidak-sehatan ini ternyata merembes naik ke tingkat yang lebih tinggi; SMP dan SMA. Sepertinya pepatah orang kulon, the experience is the best teacher, di masyarakat kita benar-bernar terverifikasi dengan sempurna. Pengalaman ketidak-sehatan ketika duduk di tingkat SD, dinikmati betul oleh sebagian anak-anak kita. Sehingga ketika duduk di tingkat SMP dan SMA, kerinduan untuk mengulanginya, senantiasa terus menggoda. Akhirnya, ketika lulus sekolah, sebagian anak-anak kita kurang memiliki skills dan pengetahuan hidup dan kehidupan yang cukup. Yang menempel lekat (involved) pada diri mereka hanyalah skills dan pengetahuan menyontek; yang sesungguhnya merupakan pupuk alamiah bagi tumbuh-kembangnya prinsip dan sikap ketidak-jujuran dan machiavellisme (menggunakan cara apa saja asal tujuan tercapai).
Ketika anak-anak kita ini sudah terjun ke masyarakat dan memiliki posisi kunci di masyarakat, pengalaman ketidak-sehatan itu akan terus melekat kuat, atau bahkan bisa bertambah lebih mengcengkram. Inilah sesungguhnya akar persoalan dari keterpurukan bangsa ini. Ketika kompetisi hidup dan kehidupan sudah didasari oleh falsafah ketidak-jujuran dan machiavellisme, yang akan muncul kemudian adalah korupsi dan kolusi yang lebih massif, mengganas, dan mengakar lagi. Buah dari investasi bangsa yang perlu kita koreksi dan kita renungkan bersama.
Sudah saatnya kita mulai kembali mengoreksi dasar dari konsepsi pendidikan kita. Rasa sayang terhadap anak memang betul merupakan dasar dari konsepsi pendidikan; baik dalam keluarga, masyarakat, atau-pun negara. Penulis sangat yakin, bahwa ketika para guru, kepala sekolah, dan stakeholders pendidikan berikhtiar meningkatkan nilai UNAS anak-anak didik di kabupaten Purwakarta, dasar dari semuanya adalah rasa sayang terhadap mereka. Namun, rasa sayang seperti apa yang seharusnya kita berikan kepada anak-anak kita? Apakah rasa sayang yang didasari oleh kesejatian atau justru kebutaan?
Rasa sayang sejati kita terhadap anak, akan membawa kita untuk senantiasa hati-hati dalam memilih sesuatu yang terbaik bagi si anak. Orientasinya jelas untuk kebaikan si anak di masa-masa mendatang. Logikanya, walau-pun memang terasa pahit, kalau itu memang obat yang akan menyehatkan, si anak harus dipaksa untuk menelannya. Namun, walau-pun manis, kalau itu racun yang akan menyakitkannya, si anak harus dipaksa untuk menghindarinya. Dalam konteks UNAS kemarin, nilai jelek memang teramat pahit. Namun, sepahit apa-pun, si anak harus dipaksa untuk menelannya. Orang tua dan juga guru, harus terus memberikan motivasi pada si anak, agar pahitnya nilai UNAS itu dapat berguna untuk kesehatan masa depannya.
Logika ini jelas akan berbeda 180 derajat dengan logika sayang yang dasarnya kebutaan. Karena dirasa nilai jelek akan mempahitkan si anak, yang kita berikan kemudian adalah manisnya “racun” nilai bagus dengan cara-cara yang tidak sehat dan tidak menyehatkan. Karena racun yang diberikan, lambat laun, akhirnya racun itu akan menggerogoti kesehatan mentalitasnya. Akhirnya, masa depan hidup dan kehidupan si anak menjadi tidak sehat dan tidak menyehatkan. Sayang yang dasarnya kebutaan adalah sayang yang buta melihat aib dan kejelekan yang dicintai; sehingga kemudian akal sehatnya dimatikan oleh emosi yang irasional dari rasa sayangnya itu.
Penulis hanya bisa berguman, “Hidup memang harus memilih.”

POTENSI DIRI DAN KONSEP DIRI

Oleh : Asep Gunawan

Siapa-pun tidak ada yang mengira, jika Ainul Rahimah, nama orisinil Inul Daratista yang penomenal itu, binarnya akan begitu melesat pesat melebihi binar senior-seniornya. Sang raja, Rhoma Irama, lewat. Sang ratu, Elvi Sukaesih, tidak ada artinya. Apa lagi pedangdut sekelas Lilis Karlina. Keahlian bergoyang ngebor yang dimilikinya, telah menempatkan dirinya menjadi selebritis papan atas yang honor keringatnya melebihi senior-seniornya.
Terlepas dari kontroversial goyangannya itu - yang jelas penulis termasuk diantara kelompok yang kontra, penulis hanya ingin memberikan “sawangan” bahwa tidak mungkin Ainul Rahimah mendapatkan kesuksesan karirnya, tanpa dibarengi dengan potensi lebih yang dimilikinya. Jarang orang memiliki liukan goyangan yang “mengebor” seperti yang dimiliki oleh pedangdut yang menurut kabar sudah “sadar” dan ingin pulang kampung ini.
Dalam rumusan kecerdasan majemuk milik Howard Gardner, Ainul Rahimah memiliki kecerdasan jasmaniah-kinestetik. Dengan potensi kecerdasan jasmaniah-kinestetik yang dimilikinya, Ainul mampu mengeksplorasi jasmaniahnya menjadi kekuatan lumayan dasyat yang menjadi trade-marknya. Karena tidak semua orang bisa melakukannya, otomatis harga goyangannya itu melambung. Dia bisa hidup dari hasil “ngebor”-nya.
Sebenarnya Ainul tidak sendiri. Masih banyak bintang-bintang lainnya yang bersinar karena kemampuan meramu potensi kecerdasan yang ada dalam dirinya. Di bidang olahraga, kita kenal dengan Taufik Hidayat, Ade Rai, dan Bambang Pamungkas. Di bidang musik, kita-pun kenal dengan anak-anak DEWA, ZAMRUD, dan SLANK. Di bidang ilmu pengetahuan, muncul pula bintang baru fisika, si mutiara hitam, George Saa. Di bidang jurnalistik, sudah banyak muncul wartawan-wartawan muda yang sudah bisa disejajarkan dengan senior-seniornya. Demikian juga di bidang pemikiran. Kemunculan pemikir-pemikir muda, sudah seperti cendawan di musim hujan.
Mereka itu pada akhirnya menggantungkan hidup dan kehidupannya melalui produksi kecerdasan yang mereka eksplorasi dan kembangkan. Inilah yang disebut dengan profesionalisme. Seseorang akan dihargai dan dihormati berdasarkan profesi yang dia geluti. Taufik Hidayat yang dulu ketika di Pangalengan masih lugu, tentu akan berbeda - baik dari segi materi, popularitas, maupun gaya hidupnya - dengan Taufik Hidayat yang sekarang. Kelompok musik Zamrud yang dulu ketika di Cimahi masih “kampungan”, berkat pengasahan telaten terhadap potensi kecerdasan bermusik yang mereka miliki, sekarang sudah berubah 180 derajat.
Terkadang, seseorang mampu mengeksplorasi dan mengembangkan lebih dari satu potensi kecerdasan yang dimilikinya. Walau-pun jarang, bangsa Indonesia memiliki orang yang cerdas secara majemuk ini. Semua orang mustahil tidak kenal dengan Prof. DR. Ir. BJ. Habibi. Si jenius ini berhasil mendaya-gunakan potensi kecerdasan logis-matematisnya, verbal-linguistiknya, musiknya - walaupun hanya sekedar hobi, spatial-mekaniknya, intra-personalnya, dan inter-personalnya. Mengikuti rumusan kecerdasan Gardner, hanya satu yang tidak dia geluti secara tekun, yakni kecerdasan jasmaniah-kinestetik.
Namun demikian, tidak berarti seseorang yang sudah memiliki potensi kecerdasan, benar-benar bisa mendaya-gunakannya secara profesional. Eksplorasi dan pengembangan potensi saja tidak cukup. Masih dibutuhkan pengembangan diri lain yang berupa konsep diri. Tidak jarang, seseorang yang cerdas dalam logis-matematis, verbal-linguistik, dan intra-personalnya, karena tidak memiliki kemampuan mengkonsep dirinya, justru dia menjadi tidak cerdas dalam hidup dan kehidupannya.
Konsep diri sering diartikan “bagaimana kita memandang diri kita”. Ketika kita memandang diri kita negatif, maka konsep diri kita negatif. Sebaliknya, jika memandang diri kita positif, maka konsep diri kita positif. Pandangan kita terhadap diri kita itulah konsep diri. Jika kita memandang diri kita rendah, maka kita menjadi orang yang rendah. Jika kita memandang diri kita bodoh dan tidak bisa apa-apa, maka kita menjadi seperti itu. Inilah yang disebut konsep diri yang negatif. Sebaliknya, jika kita memandang diri kita sebagai orang terhormat, maka kita menjadi orang yang terhormat. Jika kita memandang diri kita orang pintar, maka kita menjadi orang pintar. Inilah konsep diri yang positif.
Walau bagaimana-pun hebatnya kita mengeksplorasi dan mengembangkan potensi kecerdasan yang dimiliki, semua akan sirna bila kita tidak mendampinginya dengan konsep diri yang positif. Banyak orang-orang yang memiliki beberapa kecerdasan yang majemuk, harus layu di tengah jalan, sebelum mencapai titik kulminasi keberhasilan yang maksimal. Merasa minder berkompetisi, padahal potensi kecerdasannya selevel dengan kompetitor yang lain. Merasa bodoh dan tidak bisa apa-apa, padahal kecerdasannya sama atau bisa jadi melebihi rekan-rekannya.
Profesionalisme seseorang, atau bahkan masa depan seseorang, akan sangat ditentukan oleh ramuan apik dan sinergis dari potensi diri dan konsep dirinya. Ainul Rahimah - sekali lagi, penulis termasuk kelompok yang kontra, Taufik, Ade Rai, Bambang Pamungkas, George Saa, dan sang jenius, Prof. DR. Ir. BJ. Habibi, dapat membuktikannya secara empiris. Bagaimana dengan kita dan anak-anak kita?

MANUSIA DAN BUDAYA BERPIKIR ILMIAH

Oleh : Asep Gunawan

“Apa perbedaan asasi antara manusia dengan hewan?”
Sebuah petanyaan klasik yang sudah sejak lama manusia berupaya mencari-cari jawabannya. Dari zamannya Socrates, “provokator” pencerah pemikiran di Yunani, kemudian diikuti oleh santri-santrinya (yang terkenal diantaranya Plato dan muridnya Aristoteles), zaman Nabi Muhammad yang menularkan virus yatafakkaruun (berpikir) dan yatadabbaruun (merenung) kepada sahabat-sahabatnya, hingga zaman sekarang ini, seluruhnya sepakat mengatakan bahwa perbedaannya terletak pada kelebihan potensi berpikir yang dimiliki manusia.
“Manusia dapat berpikir, sedangkan hewan tidak,” jawab ustadz penulis yang mengajar ilmu manthiq ketika di Madrasah Aliyah. “Dari dulu sampai sekarang, yang namanya sarang burung tidak pernah berubah. Bentuk dan modelnya akan tetap begitu selamanya. Coba bandingkan dengan manusia!,” tambahnya memberikan contoh.
Dalam buku yang lebih menyerupai kumpulan pendapat-pendapat, “Ilmu, Filsafat, dan Agama”, Endang Saefuddin Anshari dengan filosofis menyimpulkan bahwa : “Manusia adalah makhluk yang berpikir. Berpikir berarti bertanya. Bertanya berarti mencari jawaban. Mencari jawaban berarti mencari kebenaran. Mencari jawaban tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia, berarti mencari kebenaran tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia”.
***
Dikisahkan dalam sebuah prosa karangan Ibnu Thufail (seorang sastrawan Arab) yang berjudul “Hay bin Yakdhan”, ada anak manusia yang masih bayi merah terpisah dari kedua orang tuanya ketika sedang berburu di hutan. Bayi merah tersebut kemudian dipelihara oleh seekor induk rusa betina. Layaknya seorang ibu pada anaknya, bayi tersebut – sebagaimana pada bayi-bayi rusanya yang lain - disusui, dirawat, dan dipelihara hingga tumbuh menjadi dewasa. Ia dibesarkan di hutan dan bergaul erat di lingkungan keluarga rusa, jauh dari lingkungan kehidupan manusia
Seiring dengan perjalanan waktu, dimana secara alamiah terjadi perubahan- perubahan berarti dalam hidup dan kehidupan, sang bayi merah yang telah tumbuh dewasa ini mulai dapat menggunakan potensi kemanusiaan yang dimilikinya. Ia mulai banyak menyendiri untuk merenung dan berpikir.
Mula-mula ia mempertanyakan perbedaan bentuk jasmani antara dirinya dengan induk dan saudara-saudara rusanya. Kemudian ketika induk rusanya jatuh sakit dan lalu mati, ia mempertanyakan sabab-musabab sakit dan kematiannya itu. Untuk lebih meyakinkannya, ia lalu membedah tubuh sang induk rusa untuk diteliti organ-organ tubuhnya.
Di waktu yang bersamaan, ia juga menyaksikan kematian makhluk-makhluk yang lain. Binatang-binatang yang lainnya dan juga tumbuh-tumbuhan, ternyata mengalami nasib serupa. Lahir, kemudian tumbuh berkembang, lalu mati. Sehingga pada akhirnya, ia sampai pada kesimpulan pemikiran bahwa semua makhluk hidup akan mengalami kematian tanpa terkecuali (bandingkan dengan ayat al-Qur'an "kullun nafsin daa'iqotul maut"). Cuman persoalannya, ia belum dapat mengetahui dengan pasti : "apa dan siapa" yang mengatur kematian seluruh makhluk hidup itu.
Di waktu yang lain, ketika malam begitu cerah, Hay bin Yakdhan (demikian nama "anak alam" itu) duduk menyendiri sambil merenung. Di langit tampak bintang berkerlap-kerlip. Logikanya langsung mensintesis dengan kejadian-kejadian yang mengganjal pikirannya. Apakah sebetulnya dzat yang mengatur alam semesta ini? Bintang-bintang inikah yang mengatur alam semesta?
Ketika siang datang, bintang-bintang itu dengan serta merta hilang. “Tidak mungkin dzat pengatur alam semesta selemah ini,” ujarnya dalam batin.
Di malam yang lain, ia kembali menyendiri sambil merenung. Yang nampak sekarang adalah terangnya bulan purnama. “Mungkin inilah dzat pengatur alam semesta itu. Sebab ternyata bentuknya lebih besar dan sangat menerangi,” pikirnya. Namun, sama seperti bintang, ketika siang datang, bulanpun dengan serta merta hilang. “Tidak mungkin dzat pengatur alam semesta selemah ini,” ujarnya kembali dalam batin.
Ketika siang datang, matahari menjadi raja. Dengan sinarnya yang terang-menderang, matahari itu memukau Hay bin Yakdhan. “Inilah mungkin dzat pengatur alam semesta itu?,” gumannya. Namun, ketika malam datang, sang raja siang itupun tenggelam. “Tidak mungkin dzat pengatur alam semesta selemah ini,” ujar Hay kembali dalam batin.
Akhirnya, setelah lama merenung, ia menyimpulkan bahwa ada dzat maha dasyat yang bersipat transenden yang mengatur alam semesta itu. Dan dzat itu tidak mungkin bersipat berbilang. Ia pasti dzat yang Maha Tunggal. Cuman masalahnya, karena hidup terisolasi dalam hutan, Hay belum dapat mengetahui dengan pasti apa nama dzat itu sebetulnya.
Hingga pada suatu waktu, Hay bertemu dengan seorang ulama yang tersesat di hutan. Dari ulama itulah Hay kemudian belajar bahasa manusia, sehingga akhirnya Hay dapat berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan ulama itu tentang hal-hal yang selama ini menjadi beban pemikirannya. Dan ternyata, kesimpulan pemikiran Hay dengan pemikiran ulama itu berujung pada kesimpulan yang sama. Kemudian, setelah belajar ilmu agama pada ulama itu, Hay bin Yakdhan-pun menjadi seorang ulama yang berilmu luas. Mungkin sekarang namanya ulama-intelektual atau intelektual-ulama.
***
Dari kisah Hay bin Yakdhan di atas, dapat diambil pelajaran bahwa sudah menjadi tabi’at dan sipat kemanusiaannya bila manusia senantiasa menggunakan potensi berpikir yang dimilikinya. Walaupun Hay hidup dan bergaul bukan di habitat lingkungannya, ia tetap mampu mengenal dan mengendalikan potensi hakiki yang dimilikinya. Hasil pemikiran yang bebas dari “polusi” dan “polos”, telah membawa Hay kepada satu kesimpulan pemikiran yang relevan dengan fitrah kemanusiaan dan ketuhanannya yang harus selalu condong kepada nilai kebenaran.
Kisah pencarian Hay terhadap identitas Tuhan yang sangat mirip dengan (atau bahkan menjiplak) kisah nabi Ibrahim ketika mencari hakikat Tuhan dalam al-Qur’an, memberikan sinyalemen tentang langkah-langkah budaya berpikir ilmiah yang sangat jujur dan arif. Di mana pertama kali ketika Hay menemukan fakta-fakta objektif, dia tidak berani langsung menyimpulkan penemuannya. Yang ia lakukan adalah mencari fakta-fakta objektif pendukung lainnya; kemudian setelah itu, ia mengelompokan fakta-fakta objektif tersebut sesuai dengan konteksnya. Lalu dari fakta-fakta objektif yang telah dikelompokan itu dianalisa secara cermat dan akurat. Setelah itu, hasilnya baru disimpulkan.
Dari kisah di atas, ada langkah sangat menarik yang dilakukan oleh Hay, yakni ia tidak menganggap penelitian selesai pada tahapan kesimpulan. Ia tidak merasa puas dengan hasil kesimpulan penelitiannya. Hay menindak-lanjutinya dengan cara melakukan verifikasi (pengujian) hasil penelitian melalui metode diskusi yang ia lakukan dengan ulama yang ditemuinya. Barulah setelah itu disimpulkan secara pinal dengan tanpa menghilangkan prinsip "keterbukaan" terhadap antitesanya.
Hay bin Yakdhan mengajarkan pada kita untuk tidal berpikir su’udzan (prasangka), yang berakar dari tidak lengkapnya informasi fakta-fakta objektif yang kita temui. Fakta-fakta objektif yang tidak didukung oleh fakta-fakta objektif lainnya - apalagi jika tidak dikelompokan sesuai teks dan konteksnya, akan mengakibatkan fakta-fakta objektif menjadi bersipat subjektif. Sehingga yang muncul adalah kesimpulan-kesimpulan pemikiran, yang bukan saja akan bersipat prasangka, tetapi juga akan bersipat artifisial dan bahkan terkadang terdengar “lucu”.
***
Seandainya saat ini orang membudayakan berpikir ilmiah, dan seandainya saat ini orang berpikir bebas “polusi” (alias lepas dari berbagai kepentingan) dan “polos” sebagaimana Hay bin Yakdzan, mungkin saat ini dunia warnanya akan lain. Minimal akan tercerahkan. Dan ini tentu saja akan lebih menggambarkan fitrah kemanusiaan manusia yang sebenarnya.

Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.

MENTAL ILMIAH

Oleh : Asep Gunawan

Bagi seseorang yang memiliki potensi intra-personal di atas rata-rata, segala sesuatu yang ada dan terjadi di hadapannya bisa menjadi “ilmu”. Baginya, benda dan makhluk sekecil apapun pasti memiliki kekuatan “ilmu” yang bisa diambil manfaatnya.
Siapa sangka, hanya dari sebiji buah apel, sambil “melamun” Sir Isaac Newton mendapat gagasan yang kemudian memunculkan teori gravitasi bumi yang terkenal itu. Siapa mengira, hanya dengan meneliti dan memperhatikan cara terbang burung, Wright bersaudara kemudian bisa menciptakan teknologi pesawat terbang sederhana yang menjadi cikal bakal lahirnya pesawat terbang modern.
Bagi Tsa‘i lun yang hidup ratusan tahun lalu sebelum masehi, pohon-pohon bambu yang banyak tumbuh di negeri Cina, sangat menarik minatnya. Dengan dukungan kuat dari potensi intra-personal yang dimilikinya, Tsa‘i lun kemudian mampu menciptakan teknologi pembuatan kertas yang besar manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Bisa dibayangkan, kalau seandainya di dunia ini tidak lahir orang-orang yang memiliki kemampuan mengembangkan potensi diri seperti mereka. Mungkin saja pesawat terbang, mobil, telepon, komputer, kertas, dan alat-alat teknologi modern lainnya, tidak akan muncul meramaikan kehidupan modern saat ini.
Inilah mungkin pelajarannya, kenapa dalam salah satu ayat-Nya, Allah SWT mengaku tidak merasa “malu” membuat perumpamaan (analogi) dengan menggunakan nyamuk - atau kalau dipandang perlu, dengan menggunakan binatang yang lebih kecil lagi (QS. al-Baqarah : 26). Bagi-Nya yang terpenting adalah ibroh (pelajaran) dan manfaat (nilai guna) yang terkandung di dalamnya, yang manusia “wajib” mempelajari dan merenungkannya.
Kata kunci kesuksesan mereka itu sebetulnya hanya satu, yakni kemapanan mentalitas ilmiah yang dimiliki. Bekal inilah yang menjadi modal utama, yang kemudian diramu secara dialektis dengan kemampuan potensi diri yang mereka miliki, akhirnya melahirkan gagasan-gagasan cerdas dan cemerlang.
Mental ilmiah telah membawa mereka menjadi kuat duduk berjam-jam sambil “melamun” mengamati dan meneliti proses siklus hidup benda-benda langit dan bumi. Mental ini juga yang telah mengilhami mereka agar konsisten dalam penelitian dan pengamatannya, mengingat proses perubahan dan dinamisasi alam semesta merupakan hukum alam (sunatullah) yang akan terjadi.
Karakter inilah yang membedakan mereka dengan mayoritas manusia pada umumnya, yang dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar merasa memiliki potensi diri, tetapi karena belum mapannya keajegan mentalitas ilmiah dimiliki, mayoritas ini pada umumnya “tidak berdaya” untuk berpikir dan berbuat sesuatu.
Mungkinkah mereka yang “berhasil” mendaya-gunakan potensi intra-personalnya itu merupakan golongan yang disebut oleh Allah SWT dengan sebutan “Ulul Albab”. Sebab, kalau dilihat dari karakteristiknya yang suka bertafakur dan berani tegas mengatakan : ”Bahwa segala apa yang telah diciptakan-Nya tidaklah sia-sia. Semuanya memiliki manfaat jika manusia merenunginya” (QS. Ali Imran : 191), sepertinya pernyataan itu ada benarnya juga. Mungkin tinggal melengkapinya saja dengan “hobi” berdzikir (ingat) pada Allah SWT, seperti yang ditegaskan dalam QS. Ali Imran di atas.
Ilmuan-ilmuan besar seperti Ibnu Sina, Ibnu Bajah dan al-Khawarizmi serta yang lainnya, lahir dari tradisi “tafakur’ dan ‘tadzakur’. Sebuah sintesa pemikiran akal pikiran dan akal qalbu yang sangat memungkinkan kita mencapai kebenaran Ilahi. Bagaimana dengan kita?

Wa Allah A’lam bi al-Shawwab

BACALAH !, BUKAN BELILAH ! (Menunggu Realisasi BOS Untuk Perpustakaan)

Oleh : Asep Gunawan

Pagi menjelang berangkat sekolah, tak seperti biasanya Imas (yang dikenal pintar) terlihat lesu kurang bersemangat. Dari mulai mengambil handuk mandi sampai mengambil tas dan sepatu, dilakukan Imas seperti setengah hati. Ucapan salam dan cium tangan pada ibunya - yang biasa dilakukan setiap akan berangkat sekolah, terdengar agak sedikit hambar. Gaya jalan yang biasanya mensiratkan semangat juang “tholab ilmu”, kini terlihat hilang tenggelam oleh langkah lunglai kaki seperti diseret-seret. Imas pada hari ini, jelas berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Imas dua hari lalu - yang rajin, ceria, dan bersemangat.
Ibunya yang sudah memasuki masa-masa udzur dan sering sakit-sakitan, hanya bisa termangu melihat kondisi kejiwaan anaknya saat itu. Apa hendak dikata, bila pada saat itu, dia belum bisa memenuhi keinginan anak bungsunya; bersegera membelikan buku-buku paket pelajaran. Setelah dibagi dengan sejumlah kebutuhan hidup, sisa uang pengsiun suaminya kemarin, tiga hari lalu sudah habis dibelikan obat. Bila harus mengambil dulu dari alokasi untuk kebutuhan hidup - yang memang sudah diminimkan, rasanya tidak mungkin. Ini sama artinya dengan membiarkan untuk tidak makan selama seminggu atau mungkin dua mingguan.
Coba saja hitung! Uang pensiun suaminya yang tidak besar, berkisar Rp. 500.000-an, harus dibagi kebutuhan hidup Rp. 300.000 (perhari tidak lebih dari Rp. 10.000). Sisanya sebesar Rp. 200.000, yang biasanya digunakan untuk keperluan bulanan (membayar rekening air ledeng dan listrik) dan keperluan sekolah anaknya (membeli pakaian, buku, jajan, dan transportasi), Rp. 150.000 sudah berubah bentuknya menjadi obat. Yang tersisa tinggal Rp. 50.000. Buat ongkos transportasi dan jajan anaknya sebesar Rp. 2.500 perhari selama sebulan saja, kok rasanya tidak akan mencukupi. Sementara untuk membeli buku-buku paket pelajaran, diperlukan uang sebanyak Rp. 300.000-an.
Tentu kita patut apresiatif, bahwa ternyata pihak sekolah memberikan dispensasi kepada orang tua siswa untuk membayarnya dengan cara mencicil. Namun, apalah artinya nilai dispensasi itu bagi orang tua Imas, kalau seandainya dispensasi itu hanya berlaku selama tiga bulan. Paling tidak, orang tua Imas harus mengeluarkan Rp. 100.000-an perbulan untuk mencicilnya. Bila tidak harus membeli obat, barang kali tidak akan sedalam sekarang ini orang tua Imas menghela napas.
Kini, tinggal Imas yang harus menanggung beban kejiwaan. Ketika gurunya masuk kelas, berbeda dengan teman-temannya yang bisa duduk dengan tenang, Imas terlihat ‘guling gasahan’ berkeringat. Masih terngiang di telinganya ketika guru itu berucap dengan nada sinis merendahkan, hanya karena di depan Imas belum terlihat buku paket mata pelajaran yang diwajibkannya untuk dibeli. Tentu saja Imas ingin seperti teman-temannya. Dengan uang yang tidak seberapa dari hasil simpanan uang jajannya, walaupun tahu melanggar hukum, Imas sebetulnya sudah memiliki keinginan untuk memfhoto-copy buku paket itu. “Yang penting tidak ketinggalan pelajaran,” pikirnya saat itu. Tapi apa lacur, ketika Imas mengatakan keinginannya itu pada gurunya, malah terkena getah yang lebih parah dan melekat lagi.
Imas sepertinya harus merelakan dirinya dituai badai ‘kapitalisme pendidikan’ yang (sengaja) diciptakan oleh sistem pendidikan kita sekarang ini. Padahal, Imas tahu betul, bahwa yang terpenting dari mata pelajaran itu bukan secara formalitas harus memiliki - dengan cara membeli - buku-buku paket (dan mungkin LKS). Namun, yang lebih substantif dan esensial adalah membaca (iqro’), mengerti, menguasai, dan mampu mengembangkan teori-teori keilmuan yang terkandung di dalam mata pelajaran. Buku hanyalah salah satu medium diantara medium-medium penting lainnya. Oleh karena itu, yang terpenting adalah membacanya, bukan membelinya. Caranya? Terserah, pokoknya harus bisa membaca untuk menguasai isinya, bukan membelinya yang terkadang hanya untuk dikoleksi saja. “Bukankah ilmu itu ada dalam akal hati dan akal pikiran kita; bukan ada dalam tulisan,” kata hati Imas mengutip nasehat yang diajarkan guru agamanya ketika masih duduk di bangku SD. Imas jelas menjadi tidak mengerti.
Kasihan Imas harus menghadapi kondisi yang sebetulnya tidak diinginkannya. Kasihan Imas harus berhadapan dengan salah satu bentuk ketidak-rasionalan dari sistem pendidikan yang sedang dibangun paksa oleh bangsa kita. Kasihan juga Imas harus terpaksa merasionalisasikan ketidak-rasionalan sistem pendidikan kita dengan pola pikir ‘jabariyah’ (da eta mah tos taqdirna ti gusti Allah kitu. Tos teu tiasa dikumaha-kumaha), sebagaimana Imas-Imas yang lain terpaksa merasionalisasikannya.
“Loh, apanya yang tidak rasional,” ujar sejawat penulis agak keheranan.
Dengan nada yang berapi-api, sejawat penulis lain yang agak kritis menukas, “Bagaimana mau dikatakan rasional, bila buku-buku paket pelajaran harus berubah dalam satu tahun pelajaran, sehingga tidak bisa diwariskan kepada adiknya. Memangnya perkembangan teori keilmuan dalam pelajaran itu berubah setiap tahun. Memangnya sudah subur ethos dan jihad penelitian keilmuan berkembang di negeri kita ini.”
Kalau sudah begitu, penulis biasanya cuman bisa menengahi : “Makanya, dalam mensikapinya, gunakan logika kapitalisme (baca : orientasinya nilai keuntungan). Insya Allah, akan mudah memahaminya. Jangan gunakan logika sosialisme (baca : orientasinya nilai empati kemanusiaan), jelas akan terasa sulit dimengerti”.
Kasihan Imas (yang dikenal pintar) yang mungkin saja kepintarannya tidak akan dikenal lagi. Kini, Imas hanya bisa menunggu realisasi BOS yang lebih realistis untuk mengobati masalahnya.
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.

PASAR REBO DAN PROBLEM PEMBANGUNAN DAERAH

Oleh : Asep Gunawan

Gonjang-ganjing rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo yang terletak di kawasan strategis kabupaten Purwakarta sepertinya sudah mulai mendingin (tepatnya didinginkan). Seperti sudah diduga, sebagaimana karakter inti dari logika pembangunan Indonesia, jurus terakhir yang digunakan oleh Pemda Purwakarta adalah penerapan “logika kekuasaan”. The show of power must go on; ikhlash tidak ikhlash program rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo tetap harus dilaksanakan. Aspiratif atau tidak, itu bukan pertimbangan yang dianggap sehat dalam logika pembangunan. Kembali masyarakat menjadi “tumbal” logika pembangunan yang menekankan “logika kekuasaan”.
Permohonan peninjauan ulang kebijakan oleh masyarakat yang diimplementasikan dalam bentuk pengaduan ke wakil-wakil mereka yang duduk di DPRD, sepertinya tidak memiliki arti signifikan. Seperti sudah diduga, dagelan ketoprak-pun kemudian ditunjukan oleh wakil-wakil rakyat itu. Dengan tampilan dan lipe-servis manis di hadapan masyarakat yang mengadu, wakil-wakil rakyat itu berlagak ingin dikesani peduli kepada kepentingan masyarakat. Ujung-ujungnya di babak akhir, dengan menggunakan tafsiran logika aturan main eksekutif-legislatif yang dipaksakan, pimpinan DPRD dengan ringannya hanya bisa mengatakan : “Hal itu sepenuhnya diserahkan kepada eksekutif”.
Akhirnya, seperti yang sudah-sudah, the show of power must go on.

Dilema Sikap DPRD
Tentu saja sikap “tidak peduli” yang dipertontonkan oleh wakil-wakil rakyat di DPRD ini paling tidak memunculkan dua asumsi dalam benak masyarakat. Pertama, bisa jadi ini menunjukan bahwa DPRD kurang mampu melaksanakan fungsinya sebagai mitra yang seimbang dan efektif dari kepala daerah. Indikasi shahihnya bisa dilihat dari kasus Pasar Rebo di atas, dimana terlihat jelas adanya kecenderungan masih cukup dominannya peranan kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Fungsi legislatif DPRD tidak lebih hanya sebagai lembaga “stempel” kebijakan.
Kedua, bisa jadi hal ini dikarenakan DPRD khawatir dianggap terlalu menyimpang dari fungsinya sebagai badan pemerintahan di daerah yang menyelenggarakan fungsi legislatif. Dalam kasus Pasar Rebo di atas, terlihat jelas DPRD tidak mau dianggap terlalu jauh mencampuri bidang tugas kepala daerah. DPRD terkena sindrom penyakit inferiority-complex karena merasa tidak memiliki otoritas dalam pengambilan dan operasionalisasi kebijakan rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo.
Kedua asumsi ini pada akhirnya melahirkan asumsi negatif di masyarakat tentang eksistensi anggota DPRD. Mau tidak mau, melihat peta kondisi real di atas, etos dan kinerja DPRD harus dipertanyakan kembali. Ketidak-berdayaan DPRD mensikapi kasus Pasar Rebo bisa jadi didasarkan atas ketidak-berdayaan intelektualisme dan komitmen moral DPRD sendiri. Bila sedikit mau membaca tentang UU Politik terutama UU Politik No. 4 Tahun 1999, di sana jelas disebutkan bahwa keberadaan DPRD adalah sebagai wahana untuk melaksanakan demokrasi di daerah. Oleh karena itu, DPRD memiliki kedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintahan daerah. DPRD bukan sub-ordinat dari pemerintahan daerah.
Tanpa bermaksud menggurui, dalam UU Politik No. 4 Tahun 1999 itu, baik secara eksplisit maupun implisit, menyebutkan beberapa hal penting menyangkut susunan dan kedudukan DPRD yang meliputi : kewajiban DPRD, Tugas dan Wewenang DPRD, Hak DPRD dan Hak Anggota DPRD. Patut dicatat beberapa hal penting, misalnya berkaitan dengan kewajiban DPRD diantaranya : membina demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi; serta memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, dan memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.
Kemudian berkaitan dengan tugas dan wewenang DPRD, patut dicatat pula diantaranya : bersama Bupati membentuk Perda; bersama Bupati menetapkan APBD; melaksanakan pengawasan terhadap : pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lain, pelaksanaan keputusan bupati, pelaksanaan APBD, kebijakan Pemda dan pelaksanaan kerjasama internasional; memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemda terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; dan menampung dan menindak-lanjuti aspirasi daerah dan masyarakat.
DPRD bersama pilar politik lainnya, yakni eksekutif dan yudikatif memiliki kewajiban untuk melaksanakan dan mengawal “good governance” sebagai produk orisinil reformasi. Prinsip-prinsip fundamental “good governance” yang meliputi partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli kepada stakeholder (melayani), berorientasi kepada konsensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis, seharusnya sudah harus dimulai oleh DPRD secara kelembagaan. Sebab, jika tidak, eksistensi DPRD sebagai lembaga yang cita idealnya terhormat, bisa berubah menjadi lembaga tidak terhormat.
Untuk melihat dan mengevaluasi etos dan kinerja DPRD, sebetulnya bisa diteropong dengan menggunakan UU Politik di atas. Dengan menggunakan UU Politik di atas, paling tidak ada dua titik fokus pertanyaan penting. Pertama, apakah secara kuantitatif DPRD sudah mampu menghasilkan Perda atau memvalidasi Perda yang berorietasi kerakyatan (public-oriented). Kemudian kedua, apakah secara kualitatif DPRD sudah mampu mengakomodir aspirasi rakyat serta mengembangkan iklim transparansi dalam proses pengambilan atau operasionalisasi kebijakan publik.
Berkaitan dengan sikap DPRD dalam kasus rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo, tentu kita bisa menilai bahwa asumsi negatif masyarakat tentang ketidak-berdayaan intelektualisme dan komitmen moral DPRD sepertinya mendapatkan verifikasi kebenarannya secara sempurna. Sebab, secara empirik DPRD terlihat sudah menunjukan sikap masa-bodohnya terhadap aspirasi masyarakat yang (secara langsung atau-pun tidak langsung) adalah konstituennya. Kalau sudah begitu, sudah saatnya masyarakat berpikir untuk tidak memilih kembali wakilnya itu dalam Pemilu mendatang.

Dari “Logika Kekuasaan” Menuju “Kekuasaan Logika”
Political will memodernisir pembangunan adalah sebuah keharusan. Eksistensi seorang kepala daerah akan dilihat dari etos dan kinerjanya terhadap pembangunan daerah yang dipimpinnya. Berapa banyak sektor-sektor real pembangunan di daerah diikhtiarkan, baik dari sisi fisik maupun sisi pembangunan sumber daya manusianya? Berapa jauh program pembangunan yang telah direncanakan bisa terealisasi secara efektif dan efisien sesuai dengan visi dan misi daerah?
Maka dari itu, dilihat dari kacamata kepentingan modernisasi pembangunan, rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di tingkat akar rumput, masyarakat sebetulnya sudah bisa memahami logika pembangunan ini. Akar persoalannya justru ada pada tingkat implementasinya di lapangan yang idealnya harus diselaraskan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi masyarakat pedagang saat ini. Belum tuntas sebetulnya masyarakat pedagang menghadapi badai panas krisis moneter, baru menghela napas sedikit, sekarang sudah dihadapkan pada persoalan baru yang kapasitasnya kurang lebih sama.
Sudah bukan zamannya lagi menekankan pembangunan dengan pendekatan “logika kekuasaan”. Pembangunan berdasarkan “logika kekuasaan” hanya akan menempatkan masyarakat menjadi objek (atau lebih ekstrem lagi, budak) pembangunan, tanpa memiliki hak untuk memilih. Kebijakan sepenuhnya ada di tangan pemegang kekuasaan, dan di sinilah justru titik lemahnya. Karena masyarakat diimpotenkan dari partisipasi dan kontrol dalam pembangunan, maka terjadinya abuse of power (penyelewengan kekuasaan) oleh penguasa melalui praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme rentan terjadi.
Terbukti, belum lagi kebijakan rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo ini dikonsep dan diimplementasikan, bau tidak sedap sudah begitu menyeruak. Perbedaan pandangan antara bupati dan wakil bupati sudah menjadi rahasia umum. Konon, perbedaan kepentingan politik dan ekonomi (dalam rangka Pilkada Tahun 2008) yang menjadi akar perbedaan pandangan itu. Bahkan tercium desas-desus yang tidak kalah sedapnya, pengusaha asal Bandung yang memiliki akses luar biasa ke birokrasi dan politik ikut juga bermain. Inilah fakta pembangunan yang didasarkan atas “logika kekuasaan”.
Setelah banyak berkaca dari pengalaman, sepertinya sudah waktunya kita merubah arah konsep dan perencanaan pembangunan Purwakarta dari pendekatan yang menekankan “logika kekuasaan” ke pendekatan “kekuasaan logika”. Yang menjadi panglima dalam pembangunan adalah logika (ilmiah) dan nurani, bukan kekuasaan birokrasi atau-pun politik. Sehingga, bukan hanya kepentingan sesaat dan sekelompok orang yang menjadi target “penyejahteraan”, melainkan kepentingan yang bersipat multifier-efeck jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang bersipat multi-dimensional, yang sedikitnya menyangkut kepentingan sosio-ekonomi dan sosio-budaya rakyat banyak.
Mengapa? Karena biasanya ada satu titik yang seringkali (sengaja) dilupakan dalam konsep dan perencanaan pembangunan bangsa kita, yakni analisis dampak lingkungan (amdal) sebagai efek rasional dari pembangunan. Sudahkah dipikirkan masak-masak efek sosio-ekonomi bagi masyarakat pedagang setelah dengan pasti mereka kehilangan tempat berdagang yang selama ini menjadi “periuk” kehidupan mereka? Membuat daftar statistik kemiskinan baru, jelas sangat bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan logika pembangunan!
Kemudian juga, sudahkah dipikirkan matang-matang bagaimana efek sosio-budaya bagi masyarakat sekitarnya, akibat berubah fungsinya Pasar Rebo yang merupakan pasar tradisional (penjaga tradisi) menjadi pusat pertokoan dan perkantoran yang bergaya modern? Kekhawatiran terjadinya “cultural-lag” (gagap budaya) masyarakat – akibat belum benar-benar siap menerima modernitas, hendaknya menjadi fokus perhatian penting dalam konsep dan perencanaan rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo. Jangan sampai terjadi, Pasar Rebo nasibnya persis seperti Pasar Jum’at yang “di-golden-star-kan” atau Terminal Sadang yang “di-STS-kan”.
Pola relokasi pedagang Pasar Rebo ke Pasar Simpang, hendaknya dibarengi dengan pembangunan infra-struktur baru berupa pasilitas jalan yang lebih layak dan pengaturan transportasi angkutan yang berorientasi “menghidupkan” pasar. Kalau memang memungkinkan dan dianggap kondusif, tidak ada salahnya dibuatkan jalan baru sebagai jalur alternatif. Hal ini perlu untuk mengantisipasi munculnya masalah baru, misalnya kemacetan yang bisa berakibat kepada masalah lainnya, yang ujung-ujungnya pembeli menjadi malas berbelanja ke sana. Banyak yang sekaratnya masyarakat pedagang Pasar Jum’at yang direlokasi ke Pasar Leuwi Panjang, adalah akibat tidak diperhatikannya persoalan penting ini.
Tanpa mengecilkan eksistensi lembaga “Think-Thank” yang dimiliki pemerintahan daerah, rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo sepertinya perlu dikonsep dan direncanakan ulang. Pemerintahan daerah perlu mengulang kembali analisis terhadap data-data yang telah didapatkan dari survey yang telah dilakukan. Walau bagaimanapun, kepentingan penelitian untuk kebutuhan birokrasi yang bersipat politis dan menekankan “logika kekuasaan”, hasilnya akan berbeda dengan kepentingan penelitian yang bersipat ilmiah murni. Analisis data dalam penelitian yang bersipat ilmiah murni akan lebih ditekankan kepada kenyataan objektif dan lebih bersipat independen.
Pembangunan daerah Purwakarta pada hakikatnya harus benar-benar dapat dinikmati oleh segenap masyarakat Purwakarta, tanpa terkecuali. Bila kenyataannya hanya dinikmati oleh segelintir kelompok orang saja, tentu hal ini benar-benar sangat bertentangan dengan nurani Pancasila, UUD 1945 dan logika pembangunan Purwakarta. Oleh karena itu, hanya satu kata yang ingin penulis lontarkan : “Konsep dan rencanakan ulang kebijakan rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo agar lebih berorientasi publik dan berwawasan lingkungan”.
Bravo Pedagang! Bravo Masyarakat Purwakarta! Bravo Pemda Purwakarta!
Selamat datang pembangunan berorientasi publik!

Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.

PERSIS DAN TANTANGAN ABAD XXI (Sebuah Interupsi Menjelang Muktamar Persis ke-13)

Oleh : Asep Gunawan

Sebagai organisasi sosial-keagamaan yang berbasis “muslim militan”, eksistensi Persis (Persatuan Islam) tidak bisa dilepaskan dari sejarah gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Dengan corak gerakannya yang bersipat shock therapy melalui polemik yang cenderung revolusioner sehingga mengundang kontroversi pada masanya, menjadikan keberadaan Persis terlihat unik. Bersama dengan organisasi sosial-keagamaan yang sepaham lainnya, seperti Muhammadiyah dan al-Irsyad, Persis bahu-membahu “menetralkan” nilai-nilai Islam dari rembesan-rembesan pra-konsepsi dan gagasan-gagasan asing yang meresap sebagai akibat logis dari akulturasi budaya dan dinamisasi zaman.
Dalam usia yang melebihi tiga per-empat abad (81 tahun), Persis terlihat konsisten dalam visi dan misi gerakan pembaruannya. Ada kesan yang sangat kuat Persis cenderung berani mempertahankan tradisi intelektual yang bersipat fikih oriented, sehingga hampir secara keseluruhan orientasi gerakan pembaruan Persis – kecuali beberapa kasus yang terjadi pada masa Ahmad Hasan, KH. M. Isa Anshari, dan terakhir KH. A. Latief Mukhtar, M.A, terlihat hanya mencukupkan diri dalam diskursus praktek-praktek ibadah mahdlah saja. Ini diperkuat lagi dengan legitimasi KH. E. Abdurrahman dalam khutbah iftitah pada muakhat Persis tanggal 16 Januari 1981, yang pengaruhnya sangat kuat bagi perkembangan Persis selanjutnya, “…Bila lahir pertanyaan kenapa Persis ini tidak ada kemajuan, hanya berputar-putar di sana. Maka jawabnya, begitulah Persis yang senantiasa thawaf, berputar dalam lingkaran mardlatillah…”
Terlepas dari keikhlasan ijtihad KH. E. Abdurrahman di atas, yang penulis yakin ini dimaksudkan beliau sebagai implementasi visi dan misi jihad Persis dalam konteks masanya, skema konseptual “statis” dan “terpenjara” yang berorientasi thawaf ubudiyyah seperti itu bila dibiarkan, cepat atau lambat, disamping merupakan tindakan intellectual suicide (bunuh diri secara intelektual), juga akan menjadi kendala besar bagi perkembangan Persis di masa-masa mendatang, yang telah nyata ditandai dengan berbagai isu strategis.

Tiga Isu Strategis Abad 21
Paling tidak ada tiga isu strategis yang menandai perubahan masa depan. Pertama, akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat, akan muncul apa yang disebut global village, yang intinya akan terjadi revolusi dalam konsep jarak dan waktu. Pada saat itu bangsa Indonesia akan mengalami suatu benturan budaya, antara budaya luar yang didominasi oleh kekuatan Barat yang non-Islam dengan budaya lokal Indonesia yang mengandung elemen-elemen Islam dan budaya setempat.
Kedua, akan terjadi pergeseran cara pandang tentang persoalan ekonomi. Jika sebelumnya elemen-elemen strategis yang membentuk kekuatan ekonomi suatu bangsa adalah adanya sumber daya alam yang melimpah dan pasokan tenaga kerja yang memadai, maka sekarang ini terlihat semakin sentralnya apa yang disebut human capital. Pada saat itu, kausa efisien (sebab efektif) yang paling menentukan bagi majunya suatu bangsa bukan lagi melimpahnya sumber daya alam, melainkan keunggulan dan kreativitas sumber daya manusianya. Karena itu, investasi ekonomi yang paling menjanjikan di masa depan adalah investasi dalam sektor pendidikan yang relevan di dalam upaya mengembangkan keunggulan kompetitif bangsa Indonesia dalam skala global.
Ketiga, berhubungan dengan perubahan konstelasi politik internasional yang terlihat semakin mengarah pada kebenaran ramalan Samuel Huntington tentang apa yang disebut “konflik peradaban”. Setelah struktur komunisme dapat dilumpuhkan, Barat (dalam hal ini Yahudi dan Nasrani) berupaya menggeser peta konflik ke dunia Islam, yang dianggapnya akan menjadi musuh peradaban di masa depan. Karena itu kita dapat menyaksikan berbagai kasus di dunia internasional yang menjelaskan adanya sikap-sikap agresif dan Interventif Barat terhadap Islam dan identitas Islam, yang memunculkan praktek diskriminasi global, baik dalam bidang ekonomi maupun politik.

Pilihan Strategis
Dalam menghadapi isu-isu dilematis dan problematis di atas, tentunya bukan sikap flight (melarikan diri) yang harus dikedepankan oleh Persis, melainkan sikap fight (siap bertarung). Sebab, sikap flight, baik dengan cara membatasi ruang lingkup gerakan dakwahnya hanya pada thawaf ubudiyyah saja maupun dengan cara menyalahkan zaman lalu beromantisasi dengan sejarah masa lalu, justru akan memperlihatkan ketidak-berdayaan Persis dalam menghadapi tantangan objektif abad 21. Kalau sudah begitu, eksistensi Persis yang terlanjur dikenal sebagai salah satu diantara agen perubahan pemikiran di Indonesia patut dipertanyakan.
Lain lagi bila sikap fight yang dikedepankan. Sikap fight, setidaknya, akan memperlihatkan rasa percaya diri yang tinggi yang selanjutnya akan merangsang munculnya daya kreatif-inovatif dalam menghadapi derasnya tantangan masa depan. Meminjam teori ilmu sosial propetik almarhum Dr. Kuntowijoyo yang mengambil basis legislasi-normatifnya dari al-Qur’an surat Ali Imran ayat 110, terdapat tiga sasaran yang dituju ketika dikembangkan sikap fight ini. Pertama, sasaran humanisasi atau emansipasi (amar ma’ruf) yang bertujuan “memanusiakan manusia Indonesia”. Kedua, sasaran liberasi (nahyi munkar) yang bertujuan membebaskan bangsa Indonesia dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan ilmu dan teknologi, dan penghisapan penguasa zalim yang tiranik. Dan ketiga, sasaran transendensi (keimanan) yang bertujuan mengembalikan bangsa Indonesia kepada fitrah ketuhanannya yang sah.

Empat Agenda Signifikan Persis Ke-depan
Paling tidak, ada empat langkah signifikan yang harus diupayakan oleh Persis guna mengantisifasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di abad 21. Pertama, adanya upaya reorientasi gerakan pembaruan Persis ke arah yang berdimensi lebih luas. Jika sebelumnya terbatas hanya pada wilayah-wilayah yang bersipat ibadah mahdlah, maka untuk selanjutnya harus diupayakan ada diskursus yang lebih serius pada wilayah-wilayah di luar ibadah mahdlah.
Dengan demikian nantinya diharapkan, penyakit “TBC” yang selama ini menjadi sasaran dakwah Persis tidak hanya berputar di sekitar dimensi akidah dan ibadah saja, melainkan diperluas pada dimensi-dimensi lainnya. “Tahayul sosial”, “tahayul ekonomi”, “tahayul politik”, “bid’ah sosial”, “bid’ah ekonomi”, “bid’ah politik”, “churafat sosial”, “churafat ekonomi”, “churafat politik”, “syirik sosial”, “syirik ekonomi”, “syirik politik”, “tauhid sosial”, “tauhid ekonomi”, “tauhid politik”, dan yang lainnya lagi – seperti isu sekulerisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis), diharapkan menjadi wacana (diskursus) aktual dan strategis dalam gerakan pembaruan Persis.
Mau tidak mau, ini berarti menuntut adanya keberanian Persis untuk meminimalkan tradisi intelektual fikih oriented yang lebih menekankan sisi hitam-putihnya realitas sosial dan menapikan kemungkinan-kemungkinan sisi-sisi penting lainnya. Bukankah khazanah intelektualisme Islam itu tidak hanya mengenal disiplin ilmu fikih dan ushul fikih sebagai warisan para ulama dahulu, tetapi juga disiplin-disiplin ilmu lainnya yang banyak diantaranya menjadi jembatan bagi lahirnya disiplin ilmu-ilmu modern, seperti misalnya filsafat Islam, tasawuf, ilmu kalam, dan cikal-bakal ilmu-ilmu eksakta serta ilmu sejarah dan sosial, yang kesemuanya itu harus diakui mengambil inspirasinya dari kandungan al-Qur’an dan al-Hadits.
Kedua, sebagai konsekuensi dari upaya yang pertama, harus ditumbuh-kembangkan tradisi inteletual yang integral. Maksudnya, sehubungan dalam masyarakat kita ini ada dikotomi antara orang yang menguasai ilmu agama (yang disebut ulama) dan orang yang menguasai ilmu “umum” atau “sekuler” (yang disebut intelektual), maka harus ada upaya konkrit untuk mengakomodir kedua klas sosial elit tersebut dalam sebuah majelis, yang akan menjadi institusi tertinggi pembuat kebijakan taktis dan strategis bagi orientasi gerakan pembaruan Persis.
Adanya dikotomi antara Dewan Hisbah yang mengakomodir ulama-ulama Persis dan Majelis Tafkir yang mengakomodir intelektual Persis, menjadikan kinerja keduanya serba terbatas dan kurang begitu “menggigit”. Dewan Hisbah, karena seluruh anggotanya adalah ulama yang tentunya committed dengan tradisi intelektual fikih oriented, maka kesimpulan-kesimpulan hukum yang dihasilkan tidak akan beranjak jauh dari persoalan praktek-praktek ibadah mahdlah, yang sebetulnya pada saat-saat sekarang ini kurang begitu menjadi perhatian bagi masyarakat yang umumnya sedang menunggu penyelesaian konkrit bagi persoalan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Begitu pula dengan kinerja Majelis Tafkir yang sampai sekarang ini entah kenapa gaungnya belum terdengar sama sekali dalam pergulatan intelektualisme Islam di Indonesia. Keberadaannya barang kali tepat seperti yang dilukiskan dalam idiom “wujuduhu ka adamihi” (mati segan hidup pun tidak mau).
Untuk mengefektifkan keberadaan kedua institusi tersebut, tidak hanya dibutuhkan keberanian intelektual untuk membuat new break-through (terobosan baru) melalui langkah-langklah taktis, tetapi juga diperlukan kesiapan mental yang tinggi untuk membuka diri dalam sebuah wacana yang dialogis, akomodatif, terbuka, dan dewasa. Hal inilah yang sempat menghilang dalam tradisi intektualisme Persis belakangan ini. Padahal kalau menengok ke sejarah masa-masa awal Persis, tradisi intelektualisme seperti ini pernah menjadi kebanggaan tersendiri bagi Persis. Debating bagi Ahmad Hasan misalnya, itu tidak berarti tidak dialogis, tidak akomodatif, tidak terbuka, dan tidak dewasa. Justru dengan debating, asalkan tidak keluar dari batas-batas etika ilmiah, akan mampu membuka cakrawala pemahaman Islam yang lebih luas dan komprehensif lagi.
Ketiga, sebagai persiapan menuju upaya yang kedua, proses pemberdayaan sumber daya manusia yang berorientasi ulama-intelektual harus menjadi prioritas utama bagi Persis. Ini berarti menuntut adanya keseimbangan antara peran ulama dan intelektual dalam struktur organisasi Persis yang selama ini didominasi oleh ulama. Pemupukan serius melalui sarana yang dialogis dan akomodatif terhadap kader-kader intelektual muda Persis, yang sekarang ini terlihat sedang menggeliat menunggu dibangunkan, merupakan langkah konkrit yang relevan untuk saat-saat ini.
Banyak sebetulnya intelektual-intelektual muda yang sedari kecil dibina di sekolah-sekolah Persis dan tentu saja masih committed dengan kepersisannya – setidaknya terlihat dari kaifiyat ibadahnya, menginginkan dapat bergabung dengan Persis. Namun sangat disayangkan keinginan tersebut tidak dapat diakomodir secara lebih arif oleh Persis. Persis bahkan cenderung tidak responsif menanggapi keinginan tersebut, sehingga akhirnya mereka lari ke organisasi-organisasi lain yang dapat mengakomodir gejolak intelektualisme mereka.
Solusi yang paling memungkinkan untuk mendapatkan SDM Persis yang siap fight adalah melalui proses kaderisasi yang tepat sasaran dan terencana. Karena itu, tiga tahapan utama kaderisasi perlu dipormulasikan secara akurat dan luwes. Tahap pertama, rekrutmen kader. Dalam tahapan ini pada dasarnya ditentukan oleh seberapa besar individu-individu kreatif dan inovatif dapat terjaring. Proses ini ditentukan keberhasilannya oleh format ideal organisasi. Organisasi yang pola kepengurusannya tidak terlalu birokratis dan tidak mengandalkan formalitas posisi secara berlebih-lebihan serta yang profesional dan yang memberi ruang yang cukup bagi kreativitas para anggota, akan lebih diminati oleh individu-individu kreatif dan inovatif.
Tahap kedua, proses pengkaderan. Tahapan ini paling sedikit meliputi tiga model pengkaderan, yakni “pemberian kesempatan” dari senior ke junior yang menuntut keikhlasan, proses training formal, dan proses aktivitas keorganisasian. Dan tahapan ketiga, pengorbitan kader. Dalam tahapan ini, walaupun daya kreatif dan inisiatif kader sendiri yang menentukan, kontribusi organisasi melalui, meminjam istilah almarhum Dr. Kuntowijoyo, “Diversifikasi” kader (penggolongan kader) ke berbagai bidang disiplin ilmu, “desentralisasi” kader (penyebaran kader) ke berbagai wilayah di tanah air, dan “proliferasi” kader (pembiakan kader) ke berbagai sektor kunci kehidupan, tetaplah dibutuhkan.
Dan terakhir dari agenda signifikan Persis ke depan, adalah adanya upaya implementasi pernyataan-pernyataan keagamaan dalam tindakan-tindakan keagamaan yang konkrit. Artinya secara sederhana, ada kesinambungan antara iman dan ilmu di satu sisi dan amal shalih di sisi lainnya. Bila merujuk pada tarikh Rasulullah, akan ditemukan bahwa Rasulullah tidak pernah mendikotomikan antara keduanya itu. Sebab, pernyataan keagamaan yang sejati dan ikhlas harus diukur dengan amal shalih. Dengan kata lain, metodologi dakwah Persis tidak harus mengandalkan pada dakwah billisan (dengan ucapan) saja sebagai cara mengendalikan perubahan masyarakat, melainkan juga pada dakwah bil hal (dengan aktualisasi diri).
Maka dari itu, jika ingin dapat mengendalikan perubahan masyarakat di masa depan, Persis tidak boleh hanya terpaku pada ceramah-ceramah yang bersipat teoritis. Disamping harus meneliti dan menganalisis masyarakat yang tentunya membutuhkan metodologi tersendiri, Persis juga harus mengasumsikan masyarakat sebagai subjek perubahan itu sendiri, bukan objek perubahan. Karenanya yang harus dilakukan Persis adalah bagaimana mengartikulasikan gagasan-gagasan perubahan ke dalam dimensi metodologi, dimensi perencanaan perubahan sosial, dan dimensi pengembangan masyarakat, agar tidak ada lagi kesenjangan antara pernyataan-pernyataan keagamaan dan tindakan-tindakan keagamaan. Musuh utama Persis sebetulnya adalah sikap elitis dari pemimpin-pemimpin Persis yang mengklaim paling tahu, paling benar, paling menguasai, dan kemudian mengisolasi diri dari solidaritas dan dinamika kaum mustadh’afin.

Khatimah : Sebuah Ekspektasi
Akhirnya, jalan keluar yang sebetulnya diusulkan oleh tulisan ini adalah kesediaan dan kesiapan Persis untuk berusaha sekuat tenaga mewujudkan reformasi internal (sebelum ke eksternal yang dimensinya tentu lebih luas lagi) dengan cara melakukan oto-kritik ke dalam tubuh Persis sendiri guna mengembalikan citra Persis kepada eksistensinya sebagai salah satu agen pembaruan yang diperhitungkan di Indonesia. Rethinking, reorientasi, reposisi, dan reaktualisasi peran Persis harus benar-benar dijadikan prioritas utama dan pertama. Dan untuk mewujudkannya tentu saja diperlukan agenda-agenda yang substansial, jelas, dan mengarah pada visi dan misi gerakan pembaruan Persis beserta relevansinya dengan isu-isu strategis yang sedang dan akan terjadi. Muktamar Persis ke-13 nanti di Jakarta pada bulan September 2005 adalah wahana yang tepat untuk dapat mewujudkannya. Semoga!!!

DINAMIKA POLITIK PURWAKARTA DAN PROBLEM “LOGIKA-KEKUATAN”

Oleh : Asep Gunawan

Beberapa bulan ini suhu politik di kabupaten Purwakarta lumayan memanas. Dipicu oleh realitas politik di DPRD yang mengharuskan adanya pemilihan ketua dewan baru pasca mangkatnya almarhum H. Bisri Hardjoko, hembusan panas angin politik terus menggelinding semakin lama semakin membakar. Sebagaimana logika inti politik-praktis mengajarkan, how to get and how to use the power, bisa ditebak, pertarungan antar fraksi tidak terlepas dari kepentingan memperebutkan kekuasaan. Kenapa? Dilihat dari logika politik, di samping memiliki posisi tawar signifikan dalam penentuan kebijakan legislatif, jabatan ketua dan wakil ketua DPRD juga dianggap memiliki fungsi strategis dalam Pilkada Purwakarta tahun 2008, yang masih menerapkan sistem perekrutan dan pengesahan cabup dan cawabup oleh DPRD.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk terlibat dalam arena “gontok-gontokan” (demikian salah satu headline berita “Radar Karawang” menuliskan) dan apalagi ingin bersinggungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan, melainkan ingin mencoba urun-rembuk menjernihkan persoalan agar tercipta suasana dinamika perpolitikan daerah yang sehat dan menyehatkan, cerdas dan mencerdaskan; bukan saja bagi kader-kader partai yang ada di fraksi DPRD, melainkan juga bagi masyarakat Purwakarta secara luas. Menyimak pergulatan politik yang terjadi, semua kekuatan fraksi dan elit-elit politik seperti ingin menonjolkan “logika-kekuatan”-nya masing-masing, sehingga “kekuatan-logika” yang seharusnya menjadi nurani menjadi terpinggirkan. Bayangkan, hanya untuk sebuah pemilihan ketua dewan, energi seluruh anggota DPRD terkuras selama berbulan-bulan. Padahal, masih banyak tugas dan “PR” yang belum tuntas diselesaikan berkaitan dengan fungsi legislatif mereka sebagaimana yang tertulis dalam UU Politik No. 4 Tahun 1999.
Apakah ending dari pergulatan politik ini akan membawa kepada suasana perpolitikan daerah yang lebih “berkah” dan dinamis atau sebaliknya, ini sangat ditentukan oleh “ruang komukasi” yang memungkinkan aktor-aktor politik dan interest-group (kelompok kepentingan) berkomunikasi secara sehat dan cerdas. Tercipta-tidaknya “ruang komunikasi” yang dinamis akan ditentukan oleh faktor situasi sosial dan hubungan sosial serta kelembagaan sosial yang selama ini berkembang di masyarakat Purwakarta. Dalam “ruang komunikasi” tertentu, faktor-faktor itu bisa menjadi penggerak dan penghambat dinamika politik.

Situasi Sosial-Politik dan Hubungan Sosial-Politik
Mengkaji dinamika politik dalam perspektif sosial, akan lebih jelas ketika melibatkan situasi sosial yang menjadi modus-eksistensi sebuah masyarakat. Dalam aplikasinya, situasi sosial sebuah masyarakat akan sangat ditentukan oleh latar budaya yang dianut. Pada satu titik tertentu, budaya yang dianut oleh sebuah masyarakat, bukan saja dapat menggerakan dan sekaligus menghambat laju dinamika politik, melainkan juga dalam tekanan tertentu dapat menggerakan dan sekaligus menghambat dinamika masyarakat secara keseluruhan. Dinamis dan stagnannya iklim perpolitikan daerah tergantung dari budaya politik yang dianut oleh aktor-aktor politik daerah.
Seperti banyak diungkapkan oleh pakar-pakar sosial-budaya, secara umum budaya patrimonial (sebagai efek logis dari tatanan masyarakat pra-industrilis) masih menjadi madzhab utama dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Dalam situasi sosial masyarakat seperti itu, dasar kebijakan sosial-politik dan sosial-ekonomi tidak terlalu ditekankan pada aspek rasio-demokratis, melainkan pada aspek rasio-ewuh pakewuh yang merupakan efek logis dari budaya patrimonial. Merasa risih dan sungkan atau bahkan merasa takut untuk berbeda (walaupun tidak asal berbeda) dengan atasan, masih dominan menggejala dalam kehidupan sosial masyarakat, tidak terkecuali dalam kehidupan politik. Dalam kadar tertentu, budaya patrimonial mampu menggeser situasi rasional menjadi irasional. Inilah yang secara umum menggejala dalam kehidupan politik masyarakat Indonesia.
Dilihat dari sudut pandang budaya politik seperti itu, sepertinya ramalan Olle Tornquist, seorang pengamat kawakan perkembangan politik di Indonesia, tentang kemungkinan datangnya hantu “demokrasi kaum penjahat”, perlahan tapi pasti mulai terwujud. Dalam Bulletin of Concerned Asian Scholars Volume 30:3 (terbit tahun 1999), Tornquist menyebutkan bahwa dalam wujud seperti itu, demokrasi hanyalah sekedar formalitas tanpa isi; atau bahkan hanya ilusi dan kebohongan. Pengamat politik Indonesia lainnya, R. William Liddle, dalam berbagai kesempatan diskusi, bahkan menyebutkan lebih jauh bahwa hantu “demokrasi kaum penjahat” telah muncul bukan saja dalam pentas politik nasional, melainkan sudah mewabah pula ke tingkat propinsi dan kabupaten/kota dalam bentuk politikus lokal yang kekuasaannya bergantung lebih pada akses ke sumber-sumber keuangan serta kuasi-militer dari pada bergantung pada kemampuan atau kemauan untuk mewakili rakyat pemilihnya.
Situasi sosial seperti ini berpengaruh besar pada pola hubungan sosial-politik, dimana pasti akan terjadi pergeseran cara pandang tentang pola hubungan interaksional antara aktor-aktor politik. Idealnya, sebagai aktor politik, para anggota DPRD memiliki otoritas yang seimbang satu dengan yang lainnya. Namun, dalam kondisi interaksi sosial-politik yang terkungkung oleh rasio-ewuh pakewuh, kemungkinan munculnya ketidak-seimbangan otoritas bisa saja terjadi. Walaupun dari sisi etika politik ketua partai politik yang sudah menjadi pejabat publik idealnya menjaga jarak untuk memberi ruang gerak agar terjadi perkembangan politik yang dinamis, dalam situasi interaksi politik yang tidak sehat seperti itu sulit untuk bisa terwujud.
Budaya patrimonial menempatkan ketua-ketua partai dan elit-elit interest-grup lainnya yang memiliki akses pada birokrasi legislatif dan eksekutif dalam posisi tak ubahnya seperti raja. Dalam logika seperti itu, raja selalu benar dan tidak pernah salah. Ketidak-berdayaan ranah intelektual dan komitmen moral sebagian anggota DPRD, mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh “sang raja” dan interest-group. Akibat pola interaksi politik seperti itu, para wakil-wakil rakyat tidak ubahnya seperti prajurit yang selalu siap setiap saat “ditumbalkan”, karena tidak memiliki kemandirian sikap berpolitik. Secara psikologis, kemandirian pasti memunculkan pikiran dan sikap dinamis; berbeda dengan keterkungkungan yang hanya memposisikan seseorang dalam ketidak-dinamisan pikiran dan sikap, yang pada akhirnya mewujud menjadi ketidak-berdayaan.
Dimotivasi oleh pangseng-nya “sahwat politik” untuk bertarung pada Pilkada tahun 2008, situasi sosial-politik dan hubungan sosial-politik yang tidak sehat ini semakin menghambat dinamika perkembangan politik. Elit-elit politik yang berkepentingan seperti sengaja memperlambat proses pemilihan ketua dewan, demi satu tujuan politik yang berorientasi “logika-kekuatan” yang memang masih sangat mengakar kuat dalam kehidupan sosial-politik dan sosial-ekonomi bangsa ini.

Lemahnya Kelembagaan Politik
Secara riil terlihat, situasi sosial-politik dan hubungan sosial-politik yang berjalan berkembang tidak ideal. Ini pada gilirannya bisa melemahkan kelembagaan politik yang ada. Partai-partai politik yang keseluruhannya memiliki visi dan misi politik mulia, paling pertama yang akan terkena dampaknya. Indikasinya bisa dilihat misalnya dari mekanisme pemilihan calon legislatif daerah yang tetap berorientasi patrimonial. Pertimbangan kelayakan calon legislatif daerah, tidak lagi didasarkan atas rasio kapasitas intelektual dan komitmen moral, melainkan lebih kepada kedekatan (yang terkadang bersipat simbolik) dengan ketua partai dan logika uang. Otoritas ketua partai begitu besar dalam hal ini, sehingga memungkinkan aktor-aktor politik tunduk dalam “logika-kekuatan”-nya.
Mekanisme politik seperti inilah yang menghasilkan para anggota DPRD sekarang ini. Sosok yang seharusnya terhormat dalam kebesaran dewan, sekarang ini tenggelam dalam “kekerdilan” berpikir dan bertindak serta disorientasi politik yang esensinya sangat mencederai hati masyarakat Purwakarta. Kenyataan inilah yang akhirnya memunculkan episode menyedihkan dalam “sinetron politik” murahan ala anggota DPRD Purwakarta; dimana terlihat begitu kerdilnya mereka mengurus diri sendiri. Jangankan mengurus urusan besar yang berkaitan dengan kepentingan dan hajat masyarakat, mengurus diri sendiri saja para wakil rakyat (pemilik sah negara) ini terlihat kerepotan.
Inilah hasil dinamika politik yang disoriented, yang hanya akan membuat betah virus-virus “demokrasi kaum penjahat” untuk terus bersemayam dalam jaringan sarap-sarap kehidupan politik kita. Entah sampai kapan?

Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.

MENGGAGAS TEOLOGI “BARU” PEREMPUAN (Sebuah Refleksi Sosio-Psikologis)

Oleh : Asep Gunawan
Discourse[1] tentang perempuan selalu menarik dan sepertinya tidak pernah out of date. Hal ini disebabkan, disamping karena memang perempuan adalah makhluq yang memiliki daya tarik 'luar biasa' untuk dibicarakan - baik dari sudut pandang biologis ataupun sosio-psikologis, juga karena memang kasus-kasus yang berkaitan dengan perempuan memiliki daya pikat ibarat penomena gunung es di lautan. Disinyalir dari kasus-kasus tentang perempuan yang muncul ke permukaan, hanya satu persepuluh yang benar-benar terangkat dan terlihat di permukaan. Sementara sembilan persepuluhnya masih terhalang oleh dalamnya lautan segmentasi kehidupan yang umumnya didominasi oleh laki-laki.
Perlahan tapi pasti, setelah wacana tentang posisi kesetaraan gender banyak diwacanakan, kasus-kasus yang berkaitan dengan perempuan mulai terkuak. Mulai dari kasus pelecehan dan kekerasan seksual, trafiking sampai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas korbannya adalah perempuan, sekarang ini silih berganti menghiasi media dan forum-forum diskusi. Umumnya, kasus-kasus tersebut oleh aktifis gender dijadikan titik pemberangkatan (starting point) untuk adanya upaya reposisi perempuan agar bisa lebih memiliki peran dalam seluruh segmentasi kehidupan.
Persepsi dan bahkan keyakinan bahwa posisi perempuan merupakan subordinat laki-laki ditempatkan sebagai faktor utama yang paling kuat untuk terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Persepsi dan keyakinan inilah yang membawa kepada sikap menomor-duakan perempuan. Perempuan adalah makhluq kelas dua yang sengaja diciftakan oleh Tuhan untuk 'melayani' laki-laki. Efeknya, otoritas kekuasaan (power authority) laki-laki atas perempuan begitu besar dan kuat. Relevan dengan apa yang disebutkan oleh Lord Acton, “the power tend to corrupt”, otoritas kekuasaan mutlak laki-laki pada akhirnya banyak mengkorupsi (baca : mendzalimi) hak-hak hidup dan kehidupan perempuan.
Sejarah bangsa-bangsa terdahulu menjadi saksi bagaimana kekuasaan mutlak laki-laki begitu dominan terhadap perempuan, bahkan sampai batas yang sangat mengerikan dari sudut pandang kemanusiaan. Perdagangan perempuan (trafiking), pelecehan dan kekerasan seksual, pembunuhan bayi perempuan dan persembahan gadis untuk upacara-upacara tertentu, merupakan penomena yang sudah lumrah terjadi menyertai perjalanan sejarah peradaban bangsa Babilonia, Persia, Romawi, Yunani, Mesir, Cina dan India.

Pemikiran Mistik dan Teologi
Auguste Comte, peletak dasar sosiologi modern, pernah mengungkapkan bahwa lipatan perkembangan pemikiran manusia mengalir melalui tiga tahapan penting yang akan berakhir pada sebuah kondisi dimana manusia menempatkan logika positivistik sebagai “cagar bahasa” berpikir. Walaupun ada beberapa titik kelemahan dari tesis Comte di atas, misalnya berkaitan dengan masih banyaknya manusia (yang mengaku) modern dan berpikiran positivistik sampai hari ini - ternyata - masih terlibat intensif dengan pemikiran mistik dan teologi; dan juga perdebatan tentang tahapan pemikiran yang mana yang sebenarnya muncul paling awal, tesis ini bagus digunakan untuk memahami konteks sosio-budaya pemikiran dalam lintasan sejarah “pemaknaan” perempuan; sehingga akan lebih mudah dipahami kenapa terjadi “keterpurukan” dalam sejarah kehidupan perempuan.
Dalam konteks ini, salah satu faktor yang dianggap signifikan yang seringkali dijadikan 'kambing hitam' adalah dasar-dasar mistik sebuah kepercayaan dan teologi sebuah agama. Pembunuhan bayi perempuan dan persembahan gadis untuk upacara-upacara tertentu yang pernah (dan bahkan disinyalir sampai saat ini masih) terjadi adalah bentuk nyata dari pengaruh pemikiran mistik. Dalam ranah logika pemikiran mistik, perempuan diposisikan tidak lebih hanya menjadi sumber sekaligus pereda suatu bencana. Ketika terjadi amuk bencana tsunami misalnya, yang terpikir dalam benak para tetua adat dan dukun suatu komunitas masyarakat primitif dahulu adalah sang penguasa laut sedang marah dan karena itu perlu diberikan sesajen (persembahan). Karena dari sejak awal perempuan dianggap sebagai pembawa bencana dan kesialan, maka untuk meredakan amarah sang penguasa laut perlu diadakan upacara penghormatan dengan seorang perempuan (gadis perawan) sebagai sesajinya.
Penafsiran tentang kejadian awal penciftaan manusia pertama yang merujuk pada kisah Adam dan Hawa merupakan titik awal berkembangnya pemikiran mistik tentang relasi laki-laki dan perempuan. Keyakinan bahwa Hawa (perempuan pertama) diciftakan dari tulang rusuk Adam (laki-laki pertama) hingga dijadikan dalil simbolisasi subordinasi perempuan dari laki-laki, juga tidak lebih merupakan keyakinan yang lahir dari rahim pemikiran mistik yang pada kenyataan selanjutnya berpengaruh besar pada pemikiran teologi. Terbukti, sampai hari ini, ada beberapa agama (tepatnya pemikiran keagamaan) yang masih mendasarkan pemikiran teologinya (khususnya tentang perempuan) berdasarkan logika mistik di atas.
Pengaruh pemikiran mistik yang berimbas pada pemikiran teologi ini pada kenyataannya banyak terjadi dalam praktek-praktek keagamaan. Dalam praktek keagamaan agama-agama sebelum Islam datang misalnya, seorang perempuan yang sedang dalam masa haid itu sangat menjijikan sehingga harus benar-benar dijauhkan dari suami dan anak-anaknya. Sementara dalam praktek keagamaan agama lainnya, seorang perempuan yang sedang haid justru tidak mendapatkan penghormatan sama sekali. Sedang dalam masa haid atau tidak, kapan dan dimanapun perempuan memiliki tanggungjawab melayani suaminya.[2]
Tentang “kejatuhan” Adam dari surga akibat rayuan Hawa - yang sebelumnya Hawa juga terjebak oleh rayuan Setan, kurang lebih memiliki dasar logika yang sama. Dari dalil logika ini kemudian muncul pemikiran bahwa perempuan identik dengan “makhluq perayu” dan “pembawa sial”. Dari pemikiran ini akan lahir pemikiran lainnya yang lebih liar lagi, seperti misalnya : “Kalau saja Adam (laki-laki) tidak dirayu oleh Hawa (perempuan) untuk memakan buah khuldi, mungkin saja manusia sekarang ini hidupnya akan enak di surga; tidak akan hidup di bumi yang identik dengan perjuangan keras”.
Efek dari pemikiran-pemikiran di atas, memunculkan pandangan negatif terhadap kaum perempuan. Perempuan dipandang menjadi kaum kelas dua. Stigma ini bukan hanya muncul di kalangan mereka yang terbiasa dengan tradisi pemikiran mistik, tokoh sekaliber Aristoteles yang dielu-elukan memiliki karisma intelektual tersendiri bagi para pemuja logika dan penganut pemikiran positivistik, pernah terjebak pula dalam buaian pemikiran ini. Diantara ungkapan Aristoteles tentang perempuan yang sempat terekam oleh zaman adalah seperti yang dikutip oleh Jalaludin Rahmat (1989 : 24), yang diantaranya Aristoteles menyebutkan bahwa perempuan adalah manusia yang belum selesai, yang tertahan dalam perkembangan tingkat bawah.
Endapan pemikiran mistik tentang relasi perempuan dan laki-laki yang tidak berperspektif gender ini masih melekat kuat dalam pancaran pemikiran teologi beberapa agama, terutama agama yang keterlibatannya dengan budaya (baca : agama non-samawi) sangat kental. Dalam Rig Weda disebutkan : “Tidak boleh menjalin persahabatan dengan perempuan. Sebab, pada kenyataannya, hati perempuan adalah sarang serigala”. Bahkan menurut Kongfuchu, ada dua jenis manusia yang sukar diurus, yaitu : turunan orang rendahan dan perempuan (Jalaludin Rahmat, 1989 : 24).
Sebagai agama yang tidak menafikan keterlibatan budaya manusia (mengingat Islam sholihun likulli makan wa zaman) dalam perumusan produk ijtihadnya, Islam (baca : umat Islam) juga seringkali terlibat dalam pemikiran yang bias gender dalam menyikapi relasi perempuan dan laki-laki. Salah satu faktor penting yang menjadi penyebab utamanya adalah pengadopsian kisah-kisah israilliyat tanpa penyaringan yang ketat dalam penafsiran al-Qur’an. Beberapa mufasir kitab tafsir klasik ketika berbicara tentang kisah-kisah masa lampau dan hal-hal gaib, masih menggantungkan referensi argumentasinya kepada kisah-kisah israilliyat. Sehingga, bukan satu hal yang kebetulan, jika ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan relasi perempuan dan laki-laki, disadari atau tidak, pengaruh kisah-kisah israilliyat ini sangat begitu kental. Sementara berkaitan dengan kisah-kisah israilliyat ini, Nabi Muhammad hanya memberikan komentar : “Jangan membenarkan dan jangan pula menyalahkan”.
Komentar “tidak saklek” Nabi inilah yang membawa pada implikasi pemahaman di kalangan para mufasir bahwa kisah-kisah israilliyat dianggap masih memberikan manfaat untuk kepentingan penafsiran al-Qur’an. Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika beberapa diantara mufasir masih melibatkannya untuk memperkuat logika argumentasi penafsirannya, termasuk dalam penafsirkan ayat yang bermuatan gender.

Pemikiran Teologi “Baru” Islam
Sebelum Islam datang, status dan peranan perempuan berada dalam titik nadzir sejarah yang mengerikan dilihat dari sudut pandang kemanusiaan. Eksistensinya tidak saja diposisikan di bawah subordinasi laki-laki; lebih dari itu, perempuan tidak saja dihina dan diremehkan, tetapi juga selalu mendapatkan tindak kekerasan – baik dalam rumah tangga maupun lingkungan sosial-budayanya. Bahkan dengan mengatasnamakan kebudayaan, sejak awal kehidupannya, penikmatan seks perempuan sengaja direduksi (untuk tidak mengatakan dikebiri), karena dia dipaksa untuk melakukan proses pemotongan clitoris atau bahkan bibir kecil vagina : multilasi genital (khitan).
Pada masa jahiliyyah, nasib perempuan di semenanjung Arabia tidak jauh berbeda dengan nasib rekan-rekan mereka di tempat lain. Dalam tradisi jahiliyyah, memiliki perempuan dianggap sebuah aib besar, sehingga tercatat dalam sejarah banyak dilakukan praktik pembunuhan terhadap anak-anak perempuan. Mereka tidak mendapatkan hak waris, bahkan boleh diwariskan dari ayah seseorang kepada anak-anaknya bila si ayah memiliki istri lebih dari satu. Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang telah diwarisi oleh leluhur mereka (maa alfaena abaana) terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang menjadi ahli waris seseorang yang telah meninggal dunia. Tradisi jahiliyyah menganggap bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris.[3]
Atas nama warisan leluhur dan kewajiban menjaga keberlangsungannya (cagar budaya), kaum perempuan pada masa jahiliyah dipaksa (jabarut) mengalami kenyataan tersisihkan dalam bentangan sejarah kemajuan kemanusiaan. Jangankan untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran - yang sebetulnya merupakan jalan untuk dimulainya perubahan, untuk sekedar mendapatkan hak-hak yang bersifat dasar (seperti hak untuk hidup) pun ternyata tidak mereka dapatkan sepenuhnya. Kisah kelam sejarah kemanusiaan perempuan (terutama pada masa jahiliyyah) inilah yang kemudian diapresiasi oleh al-Qur’an dalam ayat-ayat yang berperspektif gender.
Islam hadir (salah satunya) dengan membawa misi menyelamatkan dan membebaskan kaum perempuan dari kehidupan yang menyiksa. Al-Qur’an mengajarkan kepada kaum laki-laki dan perempuan agar saling menyayangi dan mengasihi (QS. al-Rum 30 : 21). Atas dasar inilah maka setiap pandangan atau asumsi yang menyatakan bahwa Islam merendahkan dan melecehkan kaum perempuan adalah salah besar, karena sipat merendahkan dan melecehkan atau mencederai apalagi menindas manusia merupakan pelanggaran terhadap hak-hak Tuhan. Merendahkan dan melecehkan kaum perempuan sebagai manusia sama artinya dengan merendahkan dan melecehkan ciptaan Tuhan; dan itu berarti merendahkan dan melecehkan Tuhan.
Memperhatikan struktur sosial-budaya bangsa Arab pada waktu al-Qur’an diturunkan dan implementasi praktiknya yang berpusat pada diri Nabi Muhammad (Sunah), akan memunculkan wacana menarik yang empiris bahwa aturan-aturan menyangkut permasalahan kaum perempuan yang disampaikan kedua sumber utama ini menunjukkan dengan jelas adanya proses-proses transpormasi sosial-budaya yang sangat progresif dan cenderung revolusioner. Umar Ibn al-Khaththab, khalifah kedua, sempat memberikan komentar yang mengindikasikan keterkejutan ketika membaca teks-teks suci Islam yang transpormatif itu. Diantaranya ia mengatakan : “Ketika jahiliyah, kami sama sekali tidak pernah memandang penting kaum perempuan. Tetapi ketika Islam datang dan Tuhan menyebut-nyebut mereka, kami baru menyadari bahwa mereka memiliki hak atas kami.”
Hak-hak kaum perempuan yang direduksi pada masa jahiliyyah, pada masa awal Islam dikembalikan sebagaimana seharusnya. Jangankan untuk hak-hak yang bersipat dasar, untuk hak-hak lainnya yang sementara ini dianggap bersipat elementer-pun diapresiasi dan diperhatikan oleh Islam. Hak untuk hidup, hak untuk mewarisi, hak untuk menuntut ilmu, hak untuk berpendapat, dan hak-hak lainnya yang merupakan kebutuhan asasi manusia, diapresiasi dan diperhatikan dalam Islam. Cerminan dari itu semua ini dapat dilihat misalnya dalam salah satu sunah Nabi Muhammad, : “Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan”.
Yang lebih menarik lagi, untuk menggagas dan mensuport pengangkatan derajat kaum perempuan dari keterpurukan sejarah kemanusiaannya pada masa jahiliyyah, baik dalam al-Qur’an maupun Sunah Nabi, banyak penyebutan terminologi yang dikaitkan dengan kaum perempuan, seperti misalnya al-Qur’an Surat al-Nisa (perempuan). Bahkan dalam salah satu Sunah Nabi disebutkan “Umi, umi dan umi” (perempuan) sampai tiga kali, ketika ditanyakan pada Nabi siapa yang lebih didahulukan untuk diperhatikan. Disamping itu, dalam penetapan hukum waris-pun kaum perempuan tidak hanya dibebaskan dari posisinya yang sebelumnya dianggap sebagai harta yang bisa diwariskan, tetapi juga mereka diposisikan menjadi salah satu yang memiliki hak atas harta waris.

Khatimah
Ada beberapa kemungkinan jawaban mengapa perspektif yang bersipat diskriminatif dan berpotensi bias gender terjadi dalam wacana pemikiran teologi Islam. Pertama, bisa jadi karena kekeliruan dalam menginterpretasikan makna teks al-Qur’an dan Sunah Nabi; terlalu harfiah dan tekstualis dengan melepaskan konteks historis dan sosio-budaya dimana teks itu turun. Kedua, bisa jadi juga karena metode penafsiran yang digunakan terlalu parsial dan tidak utuh, sepotong-potong, sebagian atau separo dari keseluruhan teks, sehingga produk penafsiran yang didapatkannya-pun menjadi tidak utuh. Dan ketiga, bisa jadi juga karena seringkali didasari dan dikuatkan oleh hadits-hadits (dhoif) atau bahkan hadits-hadits palsu (maudhu) dan kisah-kisah israilliyat seperti yang dipaparkan di atas.
Tiga kemungkinan jawaban ini pada akhirnya terakumulasi dalam produk interpretasi terhadap al-Qur’an dan Sunah Nabi, yang kemudian dijadikan pedoman dalam mensikapi status dan peranan kaum perempuan sepanjang sejarah. Ditambah dengan dukungan tradisi patriarkhi yang memang sudah menghegemoni, penomena pelecehan dan kekerasan seksual pada perempuan, trafiking sampai kasus kekerasan dalam rumah tangga, menjadi bertambah kuat dan efektif. @

Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.


Catatan Kaki :
[1] Discourse adalah pewacanaan tentang suatu masalah dengan pendekatan logika dan argumentasi keilmuan.
[2] Asbab Nuzul ayat tentang haid adalah kebingungan sebagian wanita muslim berkaitan dengan siklus biologi bulanan yang menimpa mereka, karena berkembangnya dua praktik keagamaan yang berbeda yang dilakukan oleh umat Yahudi dan Nasrani.
[3] Muhammad Husain al-Thabathaba’I, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (Mu’assasat al-A’lami li al-Mathbu’at, Beirut, t.t.), h. 207.