Oleh : Asep Gunawan
Beberapa bulan ini suhu politik di kabupaten Purwakarta lumayan memanas. Dipicu oleh realitas politik di DPRD yang mengharuskan adanya pemilihan ketua dewan baru pasca mangkatnya almarhum H. Bisri Hardjoko, hembusan panas angin politik terus menggelinding semakin lama semakin membakar. Sebagaimana logika inti politik-praktis mengajarkan, how to get and how to use the power, bisa ditebak, pertarungan antar fraksi tidak terlepas dari kepentingan memperebutkan kekuasaan. Kenapa? Dilihat dari logika politik, di samping memiliki posisi tawar signifikan dalam penentuan kebijakan legislatif, jabatan ketua dan wakil ketua DPRD juga dianggap memiliki fungsi strategis dalam Pilkada Purwakarta tahun 2008, yang masih menerapkan sistem perekrutan dan pengesahan cabup dan cawabup oleh DPRD.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk terlibat dalam arena “gontok-gontokan” (demikian salah satu headline berita “Radar Karawang” menuliskan) dan apalagi ingin bersinggungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan, melainkan ingin mencoba urun-rembuk menjernihkan persoalan agar tercipta suasana dinamika perpolitikan daerah yang sehat dan menyehatkan, cerdas dan mencerdaskan; bukan saja bagi kader-kader partai yang ada di fraksi DPRD, melainkan juga bagi masyarakat Purwakarta secara luas. Menyimak pergulatan politik yang terjadi, semua kekuatan fraksi dan elit-elit politik seperti ingin menonjolkan “logika-kekuatan”-nya masing-masing, sehingga “kekuatan-logika” yang seharusnya menjadi nurani menjadi terpinggirkan. Bayangkan, hanya untuk sebuah pemilihan ketua dewan, energi seluruh anggota DPRD terkuras selama berbulan-bulan. Padahal, masih banyak tugas dan “PR” yang belum tuntas diselesaikan berkaitan dengan fungsi legislatif mereka sebagaimana yang tertulis dalam UU Politik No. 4 Tahun 1999.
Apakah ending dari pergulatan politik ini akan membawa kepada suasana perpolitikan daerah yang lebih “berkah” dan dinamis atau sebaliknya, ini sangat ditentukan oleh “ruang komukasi” yang memungkinkan aktor-aktor politik dan interest-group (kelompok kepentingan) berkomunikasi secara sehat dan cerdas. Tercipta-tidaknya “ruang komunikasi” yang dinamis akan ditentukan oleh faktor situasi sosial dan hubungan sosial serta kelembagaan sosial yang selama ini berkembang di masyarakat Purwakarta. Dalam “ruang komunikasi” tertentu, faktor-faktor itu bisa menjadi penggerak dan penghambat dinamika politik.
Situasi Sosial-Politik dan Hubungan Sosial-Politik
Mengkaji dinamika politik dalam perspektif sosial, akan lebih jelas ketika melibatkan situasi sosial yang menjadi modus-eksistensi sebuah masyarakat. Dalam aplikasinya, situasi sosial sebuah masyarakat akan sangat ditentukan oleh latar budaya yang dianut. Pada satu titik tertentu, budaya yang dianut oleh sebuah masyarakat, bukan saja dapat menggerakan dan sekaligus menghambat laju dinamika politik, melainkan juga dalam tekanan tertentu dapat menggerakan dan sekaligus menghambat dinamika masyarakat secara keseluruhan. Dinamis dan stagnannya iklim perpolitikan daerah tergantung dari budaya politik yang dianut oleh aktor-aktor politik daerah.
Seperti banyak diungkapkan oleh pakar-pakar sosial-budaya, secara umum budaya patrimonial (sebagai efek logis dari tatanan masyarakat pra-industrilis) masih menjadi madzhab utama dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Dalam situasi sosial masyarakat seperti itu, dasar kebijakan sosial-politik dan sosial-ekonomi tidak terlalu ditekankan pada aspek rasio-demokratis, melainkan pada aspek rasio-ewuh pakewuh yang merupakan efek logis dari budaya patrimonial. Merasa risih dan sungkan atau bahkan merasa takut untuk berbeda (walaupun tidak asal berbeda) dengan atasan, masih dominan menggejala dalam kehidupan sosial masyarakat, tidak terkecuali dalam kehidupan politik. Dalam kadar tertentu, budaya patrimonial mampu menggeser situasi rasional menjadi irasional. Inilah yang secara umum menggejala dalam kehidupan politik masyarakat Indonesia.
Dilihat dari sudut pandang budaya politik seperti itu, sepertinya ramalan Olle Tornquist, seorang pengamat kawakan perkembangan politik di Indonesia, tentang kemungkinan datangnya hantu “demokrasi kaum penjahat”, perlahan tapi pasti mulai terwujud. Dalam Bulletin of Concerned Asian Scholars Volume 30:3 (terbit tahun 1999), Tornquist menyebutkan bahwa dalam wujud seperti itu, demokrasi hanyalah sekedar formalitas tanpa isi; atau bahkan hanya ilusi dan kebohongan. Pengamat politik Indonesia lainnya, R. William Liddle, dalam berbagai kesempatan diskusi, bahkan menyebutkan lebih jauh bahwa hantu “demokrasi kaum penjahat” telah muncul bukan saja dalam pentas politik nasional, melainkan sudah mewabah pula ke tingkat propinsi dan kabupaten/kota dalam bentuk politikus lokal yang kekuasaannya bergantung lebih pada akses ke sumber-sumber keuangan serta kuasi-militer dari pada bergantung pada kemampuan atau kemauan untuk mewakili rakyat pemilihnya.
Situasi sosial seperti ini berpengaruh besar pada pola hubungan sosial-politik, dimana pasti akan terjadi pergeseran cara pandang tentang pola hubungan interaksional antara aktor-aktor politik. Idealnya, sebagai aktor politik, para anggota DPRD memiliki otoritas yang seimbang satu dengan yang lainnya. Namun, dalam kondisi interaksi sosial-politik yang terkungkung oleh rasio-ewuh pakewuh, kemungkinan munculnya ketidak-seimbangan otoritas bisa saja terjadi. Walaupun dari sisi etika politik ketua partai politik yang sudah menjadi pejabat publik idealnya menjaga jarak untuk memberi ruang gerak agar terjadi perkembangan politik yang dinamis, dalam situasi interaksi politik yang tidak sehat seperti itu sulit untuk bisa terwujud.
Budaya patrimonial menempatkan ketua-ketua partai dan elit-elit interest-grup lainnya yang memiliki akses pada birokrasi legislatif dan eksekutif dalam posisi tak ubahnya seperti raja. Dalam logika seperti itu, raja selalu benar dan tidak pernah salah. Ketidak-berdayaan ranah intelektual dan komitmen moral sebagian anggota DPRD, mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh “sang raja” dan interest-group. Akibat pola interaksi politik seperti itu, para wakil-wakil rakyat tidak ubahnya seperti prajurit yang selalu siap setiap saat “ditumbalkan”, karena tidak memiliki kemandirian sikap berpolitik. Secara psikologis, kemandirian pasti memunculkan pikiran dan sikap dinamis; berbeda dengan keterkungkungan yang hanya memposisikan seseorang dalam ketidak-dinamisan pikiran dan sikap, yang pada akhirnya mewujud menjadi ketidak-berdayaan.
Dimotivasi oleh pangseng-nya “sahwat politik” untuk bertarung pada Pilkada tahun 2008, situasi sosial-politik dan hubungan sosial-politik yang tidak sehat ini semakin menghambat dinamika perkembangan politik. Elit-elit politik yang berkepentingan seperti sengaja memperlambat proses pemilihan ketua dewan, demi satu tujuan politik yang berorientasi “logika-kekuatan” yang memang masih sangat mengakar kuat dalam kehidupan sosial-politik dan sosial-ekonomi bangsa ini.
Lemahnya Kelembagaan Politik
Secara riil terlihat, situasi sosial-politik dan hubungan sosial-politik yang berjalan berkembang tidak ideal. Ini pada gilirannya bisa melemahkan kelembagaan politik yang ada. Partai-partai politik yang keseluruhannya memiliki visi dan misi politik mulia, paling pertama yang akan terkena dampaknya. Indikasinya bisa dilihat misalnya dari mekanisme pemilihan calon legislatif daerah yang tetap berorientasi patrimonial. Pertimbangan kelayakan calon legislatif daerah, tidak lagi didasarkan atas rasio kapasitas intelektual dan komitmen moral, melainkan lebih kepada kedekatan (yang terkadang bersipat simbolik) dengan ketua partai dan logika uang. Otoritas ketua partai begitu besar dalam hal ini, sehingga memungkinkan aktor-aktor politik tunduk dalam “logika-kekuatan”-nya.
Mekanisme politik seperti inilah yang menghasilkan para anggota DPRD sekarang ini. Sosok yang seharusnya terhormat dalam kebesaran dewan, sekarang ini tenggelam dalam “kekerdilan” berpikir dan bertindak serta disorientasi politik yang esensinya sangat mencederai hati masyarakat Purwakarta. Kenyataan inilah yang akhirnya memunculkan episode menyedihkan dalam “sinetron politik” murahan ala anggota DPRD Purwakarta; dimana terlihat begitu kerdilnya mereka mengurus diri sendiri. Jangankan mengurus urusan besar yang berkaitan dengan kepentingan dan hajat masyarakat, mengurus diri sendiri saja para wakil rakyat (pemilik sah negara) ini terlihat kerepotan.
Inilah hasil dinamika politik yang disoriented, yang hanya akan membuat betah virus-virus “demokrasi kaum penjahat” untuk terus bersemayam dalam jaringan sarap-sarap kehidupan politik kita. Entah sampai kapan?
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.
Beberapa bulan ini suhu politik di kabupaten Purwakarta lumayan memanas. Dipicu oleh realitas politik di DPRD yang mengharuskan adanya pemilihan ketua dewan baru pasca mangkatnya almarhum H. Bisri Hardjoko, hembusan panas angin politik terus menggelinding semakin lama semakin membakar. Sebagaimana logika inti politik-praktis mengajarkan, how to get and how to use the power, bisa ditebak, pertarungan antar fraksi tidak terlepas dari kepentingan memperebutkan kekuasaan. Kenapa? Dilihat dari logika politik, di samping memiliki posisi tawar signifikan dalam penentuan kebijakan legislatif, jabatan ketua dan wakil ketua DPRD juga dianggap memiliki fungsi strategis dalam Pilkada Purwakarta tahun 2008, yang masih menerapkan sistem perekrutan dan pengesahan cabup dan cawabup oleh DPRD.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk terlibat dalam arena “gontok-gontokan” (demikian salah satu headline berita “Radar Karawang” menuliskan) dan apalagi ingin bersinggungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan, melainkan ingin mencoba urun-rembuk menjernihkan persoalan agar tercipta suasana dinamika perpolitikan daerah yang sehat dan menyehatkan, cerdas dan mencerdaskan; bukan saja bagi kader-kader partai yang ada di fraksi DPRD, melainkan juga bagi masyarakat Purwakarta secara luas. Menyimak pergulatan politik yang terjadi, semua kekuatan fraksi dan elit-elit politik seperti ingin menonjolkan “logika-kekuatan”-nya masing-masing, sehingga “kekuatan-logika” yang seharusnya menjadi nurani menjadi terpinggirkan. Bayangkan, hanya untuk sebuah pemilihan ketua dewan, energi seluruh anggota DPRD terkuras selama berbulan-bulan. Padahal, masih banyak tugas dan “PR” yang belum tuntas diselesaikan berkaitan dengan fungsi legislatif mereka sebagaimana yang tertulis dalam UU Politik No. 4 Tahun 1999.
Apakah ending dari pergulatan politik ini akan membawa kepada suasana perpolitikan daerah yang lebih “berkah” dan dinamis atau sebaliknya, ini sangat ditentukan oleh “ruang komukasi” yang memungkinkan aktor-aktor politik dan interest-group (kelompok kepentingan) berkomunikasi secara sehat dan cerdas. Tercipta-tidaknya “ruang komunikasi” yang dinamis akan ditentukan oleh faktor situasi sosial dan hubungan sosial serta kelembagaan sosial yang selama ini berkembang di masyarakat Purwakarta. Dalam “ruang komunikasi” tertentu, faktor-faktor itu bisa menjadi penggerak dan penghambat dinamika politik.
Situasi Sosial-Politik dan Hubungan Sosial-Politik
Mengkaji dinamika politik dalam perspektif sosial, akan lebih jelas ketika melibatkan situasi sosial yang menjadi modus-eksistensi sebuah masyarakat. Dalam aplikasinya, situasi sosial sebuah masyarakat akan sangat ditentukan oleh latar budaya yang dianut. Pada satu titik tertentu, budaya yang dianut oleh sebuah masyarakat, bukan saja dapat menggerakan dan sekaligus menghambat laju dinamika politik, melainkan juga dalam tekanan tertentu dapat menggerakan dan sekaligus menghambat dinamika masyarakat secara keseluruhan. Dinamis dan stagnannya iklim perpolitikan daerah tergantung dari budaya politik yang dianut oleh aktor-aktor politik daerah.
Seperti banyak diungkapkan oleh pakar-pakar sosial-budaya, secara umum budaya patrimonial (sebagai efek logis dari tatanan masyarakat pra-industrilis) masih menjadi madzhab utama dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Dalam situasi sosial masyarakat seperti itu, dasar kebijakan sosial-politik dan sosial-ekonomi tidak terlalu ditekankan pada aspek rasio-demokratis, melainkan pada aspek rasio-ewuh pakewuh yang merupakan efek logis dari budaya patrimonial. Merasa risih dan sungkan atau bahkan merasa takut untuk berbeda (walaupun tidak asal berbeda) dengan atasan, masih dominan menggejala dalam kehidupan sosial masyarakat, tidak terkecuali dalam kehidupan politik. Dalam kadar tertentu, budaya patrimonial mampu menggeser situasi rasional menjadi irasional. Inilah yang secara umum menggejala dalam kehidupan politik masyarakat Indonesia.
Dilihat dari sudut pandang budaya politik seperti itu, sepertinya ramalan Olle Tornquist, seorang pengamat kawakan perkembangan politik di Indonesia, tentang kemungkinan datangnya hantu “demokrasi kaum penjahat”, perlahan tapi pasti mulai terwujud. Dalam Bulletin of Concerned Asian Scholars Volume 30:3 (terbit tahun 1999), Tornquist menyebutkan bahwa dalam wujud seperti itu, demokrasi hanyalah sekedar formalitas tanpa isi; atau bahkan hanya ilusi dan kebohongan. Pengamat politik Indonesia lainnya, R. William Liddle, dalam berbagai kesempatan diskusi, bahkan menyebutkan lebih jauh bahwa hantu “demokrasi kaum penjahat” telah muncul bukan saja dalam pentas politik nasional, melainkan sudah mewabah pula ke tingkat propinsi dan kabupaten/kota dalam bentuk politikus lokal yang kekuasaannya bergantung lebih pada akses ke sumber-sumber keuangan serta kuasi-militer dari pada bergantung pada kemampuan atau kemauan untuk mewakili rakyat pemilihnya.
Situasi sosial seperti ini berpengaruh besar pada pola hubungan sosial-politik, dimana pasti akan terjadi pergeseran cara pandang tentang pola hubungan interaksional antara aktor-aktor politik. Idealnya, sebagai aktor politik, para anggota DPRD memiliki otoritas yang seimbang satu dengan yang lainnya. Namun, dalam kondisi interaksi sosial-politik yang terkungkung oleh rasio-ewuh pakewuh, kemungkinan munculnya ketidak-seimbangan otoritas bisa saja terjadi. Walaupun dari sisi etika politik ketua partai politik yang sudah menjadi pejabat publik idealnya menjaga jarak untuk memberi ruang gerak agar terjadi perkembangan politik yang dinamis, dalam situasi interaksi politik yang tidak sehat seperti itu sulit untuk bisa terwujud.
Budaya patrimonial menempatkan ketua-ketua partai dan elit-elit interest-grup lainnya yang memiliki akses pada birokrasi legislatif dan eksekutif dalam posisi tak ubahnya seperti raja. Dalam logika seperti itu, raja selalu benar dan tidak pernah salah. Ketidak-berdayaan ranah intelektual dan komitmen moral sebagian anggota DPRD, mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh “sang raja” dan interest-group. Akibat pola interaksi politik seperti itu, para wakil-wakil rakyat tidak ubahnya seperti prajurit yang selalu siap setiap saat “ditumbalkan”, karena tidak memiliki kemandirian sikap berpolitik. Secara psikologis, kemandirian pasti memunculkan pikiran dan sikap dinamis; berbeda dengan keterkungkungan yang hanya memposisikan seseorang dalam ketidak-dinamisan pikiran dan sikap, yang pada akhirnya mewujud menjadi ketidak-berdayaan.
Dimotivasi oleh pangseng-nya “sahwat politik” untuk bertarung pada Pilkada tahun 2008, situasi sosial-politik dan hubungan sosial-politik yang tidak sehat ini semakin menghambat dinamika perkembangan politik. Elit-elit politik yang berkepentingan seperti sengaja memperlambat proses pemilihan ketua dewan, demi satu tujuan politik yang berorientasi “logika-kekuatan” yang memang masih sangat mengakar kuat dalam kehidupan sosial-politik dan sosial-ekonomi bangsa ini.
Lemahnya Kelembagaan Politik
Secara riil terlihat, situasi sosial-politik dan hubungan sosial-politik yang berjalan berkembang tidak ideal. Ini pada gilirannya bisa melemahkan kelembagaan politik yang ada. Partai-partai politik yang keseluruhannya memiliki visi dan misi politik mulia, paling pertama yang akan terkena dampaknya. Indikasinya bisa dilihat misalnya dari mekanisme pemilihan calon legislatif daerah yang tetap berorientasi patrimonial. Pertimbangan kelayakan calon legislatif daerah, tidak lagi didasarkan atas rasio kapasitas intelektual dan komitmen moral, melainkan lebih kepada kedekatan (yang terkadang bersipat simbolik) dengan ketua partai dan logika uang. Otoritas ketua partai begitu besar dalam hal ini, sehingga memungkinkan aktor-aktor politik tunduk dalam “logika-kekuatan”-nya.
Mekanisme politik seperti inilah yang menghasilkan para anggota DPRD sekarang ini. Sosok yang seharusnya terhormat dalam kebesaran dewan, sekarang ini tenggelam dalam “kekerdilan” berpikir dan bertindak serta disorientasi politik yang esensinya sangat mencederai hati masyarakat Purwakarta. Kenyataan inilah yang akhirnya memunculkan episode menyedihkan dalam “sinetron politik” murahan ala anggota DPRD Purwakarta; dimana terlihat begitu kerdilnya mereka mengurus diri sendiri. Jangankan mengurus urusan besar yang berkaitan dengan kepentingan dan hajat masyarakat, mengurus diri sendiri saja para wakil rakyat (pemilik sah negara) ini terlihat kerepotan.
Inilah hasil dinamika politik yang disoriented, yang hanya akan membuat betah virus-virus “demokrasi kaum penjahat” untuk terus bersemayam dalam jaringan sarap-sarap kehidupan politik kita. Entah sampai kapan?
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar