Oleh : Asep Gunawan
Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Senin tanggal 4 April 2005, Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) kabupaten Purwakarta bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana (PPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengadakan acara lokakarya Perencanaan Umum Pembangunan Makro Pendidikan Kabupaten Purwakarta. Dilihat dari sudut pandang kreativitas, tentu adanya acara lokakarya itu merupakan sebuah dinamisasi yang luar biasa. Sebab, sepanjang yang saya tahu, kabupaten Purwakarta belum memiliki ‘master plan’ pendidikan sebagai ‘kompas’ yang dapat mengontrol tahapan-tahapan pembangunan di sektor pendidikan. Kalau tidak salah, rencana penyusunan ‘master plan’ pendidikan ini sudah mulai dirintis oleh Bapeda ketika lembaga ‘think thank’ pemerintah daerah itu dipimpin oleh Drs. Maman Rosama, MM.
Namun, ada beberapa hal yang perlu diberi catatan besar berkaitan dengan acara lokakarya tersebut. Pertama, berkaitan dengan format acara, yang menurut hemat penulis, sungguh sangat ‘jauh panggang dari pada api’. Sepanjang pemahaman penulis, yang namanya lokakarya itu adalah kegiatan ‘sharing’ ide dan gagasan dalam suasana dialogis antara peserta lokakarya, yang kesimpulannya kemudian dirumuskan sebagai hasil bersama. Oleh karena itu, konsep materi yang telah disiapkan oleh panitia, hendaknya bukan merupakan konsep yang sudah ‘mati’, yang tidak bisa dirubah-rubah lagi.
Sayang, yang penulis dapatkan di sana, kesempatan acara yang seharusnya menjadi wahana menyamakan persepsi dan memunculkan ide-ide dasyat dalam konteks lokal Purwakarta berkaitan dengan perencanaan pembangunan pendidikan itu, dari awal sudah ‘diganggu’ dengan prolog dari salah seorang profesor perumus yang ‘menyekak-mat’; bahwa acara dialog itu bukan untuk merubah konsep yang telah dirumuskan, tetapi hanya sebagai ajang sosialisasi dan publikasi.
Kalau memang tujuan itu yang dimaksud, it’s okay, tidak masalah. Paling-paling akan muncul persepsi dari peserta bahwa panitia dan tim perumus konsep ternyata bekerja tidak terkoordinasi. Namun, bila dipikir-pikir, terlihat menjadi ‘mubazir’ tatkala diketahui bahwa peserta yang hadir di sana ternyata bukan orang ‘jore-jore’. Rata-rata peserta yang hadir adalah mereka yang memiliki akses dan pengalaman yang kuat di bidang pendidikan dalam konteks lokal Purwakarta. Dengan demikian, menjadi ‘mubazir’ juga pemikiran-pemikiran konseptual-filosofis dari Wakil Bupati Purwakarta yang sengaja diungkapkan di awal pembukaan sebagai bahan masukan untuk lokakarya itu. Mudah untuk ditebak, akhirnya acara berjalan menjadi monoton dan tidak dinamis, karena yang terjadi adalah arena perkuliahan. Tiga orang profesor di depan terlihat sedang mengajar kurang lebih seratusan mahasiswa.
Kedua, berkaitan dengan konsep materi yang telah dirumuskan secara intensif oleh empat orang profesor. Jujur saja, setelah membaca secara keseluruhan konsep materi yang disodorkan oleh panitia, ternyata bukanlah merupakan ‘barang’ yang sama sekali ‘baru’ bagi masyarakat pendidikan Purwakarta. Pointer-pointer konseptual yang dicatat dalam rumusan perencanaan itu, kalau mau jujur, semuanya merupakan wacana yang sudah ‘galib’ didiskusikan oleh masyarakat pendidikan Purwakarta; karena wacana-wacana itu sudah banyak dibahas dalam buku-buku pintar pendidikan.
Kalau memang begitu keadaannya, sebetulnya tak perlu jauh-jauh (dan mahal-mahal) kita menyewa tim perumus ‘luar’ untuk membuat konsep perencanaan umum pembangunan makro pendidikan itu. Kalau saja kita mau menginventarisir SDM pendidikan yang ada di kabupaten Purwakarta, sebetulnya banyak SDM yang dapat merumuskannya secara lebih tepat sasaran dan lebih kontekstual. Karena, disamping secara teoritis keilmuan riset pendidikan memang dimiliki dan dikuasai – karena banyak yang sudah memiliki gelar Magister Pendidikan dan Doktor (juga Calon Doktor) Pendidikan, SDM ‘pribumi’ akan lebih ‘imeut’ dan ‘nincak bumi’ karena memang mengetahui betul secara empiris problem pendidikan Purwakarta yang sebenarnya. Ini akan berbeda dengan SDM ‘luar’ yang biasanya hanya mampu menguasai secara teoritis keilmuan riset pendidikannya saja; sementara secara empiris, penulis haqul yakin, SDM ‘luar’ tidak akan sanggup memahami problem pendidikan Purwakarta sesungguhnya hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Kalau-pun mau menggunakan SDM ‘luar’, seharusnya posisinya sebatas konsultan saja. Dengan demikian, tak perlu repot-repot kita menyewa profesor sampai empat orang. Untuk konsultan, cukup sebetulnya kita menyewa 1 atau 2 orang profesor. Logika ekonominya, 1 atau 2 orang profesor akan lebih ‘murah’ membayarnya ketimbang 4 orang profesor. Bukankah ini akan lebih menghemat.
Lagi pula, bila kita mau sedikit jujur, permasalahan pendidikan di Indonesia ini hakikatnya hampir serupa; bukan pada tahapan kedasyatan konsep makro dan mikronya, melainkan pada tahapan implementasi teknisnya di lapangan yang selalu dibiasakan sepi dari ‘niatan ikhlas’ dan ‘keistiqomahan’. Mau bukti, lihat saja hasil kesimpulan moderator, yang hanya memuat satu pointer penting : “Kita perlu payung hukum!”. Selesai sudah. @
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Senin tanggal 4 April 2005, Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) kabupaten Purwakarta bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana (PPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengadakan acara lokakarya Perencanaan Umum Pembangunan Makro Pendidikan Kabupaten Purwakarta. Dilihat dari sudut pandang kreativitas, tentu adanya acara lokakarya itu merupakan sebuah dinamisasi yang luar biasa. Sebab, sepanjang yang saya tahu, kabupaten Purwakarta belum memiliki ‘master plan’ pendidikan sebagai ‘kompas’ yang dapat mengontrol tahapan-tahapan pembangunan di sektor pendidikan. Kalau tidak salah, rencana penyusunan ‘master plan’ pendidikan ini sudah mulai dirintis oleh Bapeda ketika lembaga ‘think thank’ pemerintah daerah itu dipimpin oleh Drs. Maman Rosama, MM.
Namun, ada beberapa hal yang perlu diberi catatan besar berkaitan dengan acara lokakarya tersebut. Pertama, berkaitan dengan format acara, yang menurut hemat penulis, sungguh sangat ‘jauh panggang dari pada api’. Sepanjang pemahaman penulis, yang namanya lokakarya itu adalah kegiatan ‘sharing’ ide dan gagasan dalam suasana dialogis antara peserta lokakarya, yang kesimpulannya kemudian dirumuskan sebagai hasil bersama. Oleh karena itu, konsep materi yang telah disiapkan oleh panitia, hendaknya bukan merupakan konsep yang sudah ‘mati’, yang tidak bisa dirubah-rubah lagi.
Sayang, yang penulis dapatkan di sana, kesempatan acara yang seharusnya menjadi wahana menyamakan persepsi dan memunculkan ide-ide dasyat dalam konteks lokal Purwakarta berkaitan dengan perencanaan pembangunan pendidikan itu, dari awal sudah ‘diganggu’ dengan prolog dari salah seorang profesor perumus yang ‘menyekak-mat’; bahwa acara dialog itu bukan untuk merubah konsep yang telah dirumuskan, tetapi hanya sebagai ajang sosialisasi dan publikasi.
Kalau memang tujuan itu yang dimaksud, it’s okay, tidak masalah. Paling-paling akan muncul persepsi dari peserta bahwa panitia dan tim perumus konsep ternyata bekerja tidak terkoordinasi. Namun, bila dipikir-pikir, terlihat menjadi ‘mubazir’ tatkala diketahui bahwa peserta yang hadir di sana ternyata bukan orang ‘jore-jore’. Rata-rata peserta yang hadir adalah mereka yang memiliki akses dan pengalaman yang kuat di bidang pendidikan dalam konteks lokal Purwakarta. Dengan demikian, menjadi ‘mubazir’ juga pemikiran-pemikiran konseptual-filosofis dari Wakil Bupati Purwakarta yang sengaja diungkapkan di awal pembukaan sebagai bahan masukan untuk lokakarya itu. Mudah untuk ditebak, akhirnya acara berjalan menjadi monoton dan tidak dinamis, karena yang terjadi adalah arena perkuliahan. Tiga orang profesor di depan terlihat sedang mengajar kurang lebih seratusan mahasiswa.
Kedua, berkaitan dengan konsep materi yang telah dirumuskan secara intensif oleh empat orang profesor. Jujur saja, setelah membaca secara keseluruhan konsep materi yang disodorkan oleh panitia, ternyata bukanlah merupakan ‘barang’ yang sama sekali ‘baru’ bagi masyarakat pendidikan Purwakarta. Pointer-pointer konseptual yang dicatat dalam rumusan perencanaan itu, kalau mau jujur, semuanya merupakan wacana yang sudah ‘galib’ didiskusikan oleh masyarakat pendidikan Purwakarta; karena wacana-wacana itu sudah banyak dibahas dalam buku-buku pintar pendidikan.
Kalau memang begitu keadaannya, sebetulnya tak perlu jauh-jauh (dan mahal-mahal) kita menyewa tim perumus ‘luar’ untuk membuat konsep perencanaan umum pembangunan makro pendidikan itu. Kalau saja kita mau menginventarisir SDM pendidikan yang ada di kabupaten Purwakarta, sebetulnya banyak SDM yang dapat merumuskannya secara lebih tepat sasaran dan lebih kontekstual. Karena, disamping secara teoritis keilmuan riset pendidikan memang dimiliki dan dikuasai – karena banyak yang sudah memiliki gelar Magister Pendidikan dan Doktor (juga Calon Doktor) Pendidikan, SDM ‘pribumi’ akan lebih ‘imeut’ dan ‘nincak bumi’ karena memang mengetahui betul secara empiris problem pendidikan Purwakarta yang sebenarnya. Ini akan berbeda dengan SDM ‘luar’ yang biasanya hanya mampu menguasai secara teoritis keilmuan riset pendidikannya saja; sementara secara empiris, penulis haqul yakin, SDM ‘luar’ tidak akan sanggup memahami problem pendidikan Purwakarta sesungguhnya hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Kalau-pun mau menggunakan SDM ‘luar’, seharusnya posisinya sebatas konsultan saja. Dengan demikian, tak perlu repot-repot kita menyewa profesor sampai empat orang. Untuk konsultan, cukup sebetulnya kita menyewa 1 atau 2 orang profesor. Logika ekonominya, 1 atau 2 orang profesor akan lebih ‘murah’ membayarnya ketimbang 4 orang profesor. Bukankah ini akan lebih menghemat.
Lagi pula, bila kita mau sedikit jujur, permasalahan pendidikan di Indonesia ini hakikatnya hampir serupa; bukan pada tahapan kedasyatan konsep makro dan mikronya, melainkan pada tahapan implementasi teknisnya di lapangan yang selalu dibiasakan sepi dari ‘niatan ikhlas’ dan ‘keistiqomahan’. Mau bukti, lihat saja hasil kesimpulan moderator, yang hanya memuat satu pointer penting : “Kita perlu payung hukum!”. Selesai sudah. @
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar