Oleh : Asep Gunawan
Gonjang-ganjing rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo yang terletak di kawasan strategis kabupaten Purwakarta sepertinya sudah mulai mendingin (tepatnya didinginkan). Seperti sudah diduga, sebagaimana karakter inti dari logika pembangunan Indonesia, jurus terakhir yang digunakan oleh Pemda Purwakarta adalah penerapan “logika kekuasaan”. The show of power must go on; ikhlash tidak ikhlash program rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo tetap harus dilaksanakan. Aspiratif atau tidak, itu bukan pertimbangan yang dianggap sehat dalam logika pembangunan. Kembali masyarakat menjadi “tumbal” logika pembangunan yang menekankan “logika kekuasaan”.
Permohonan peninjauan ulang kebijakan oleh masyarakat yang diimplementasikan dalam bentuk pengaduan ke wakil-wakil mereka yang duduk di DPRD, sepertinya tidak memiliki arti signifikan. Seperti sudah diduga, dagelan ketoprak-pun kemudian ditunjukan oleh wakil-wakil rakyat itu. Dengan tampilan dan lipe-servis manis di hadapan masyarakat yang mengadu, wakil-wakil rakyat itu berlagak ingin dikesani peduli kepada kepentingan masyarakat. Ujung-ujungnya di babak akhir, dengan menggunakan tafsiran logika aturan main eksekutif-legislatif yang dipaksakan, pimpinan DPRD dengan ringannya hanya bisa mengatakan : “Hal itu sepenuhnya diserahkan kepada eksekutif”.
Akhirnya, seperti yang sudah-sudah, the show of power must go on.
Dilema Sikap DPRD
Tentu saja sikap “tidak peduli” yang dipertontonkan oleh wakil-wakil rakyat di DPRD ini paling tidak memunculkan dua asumsi dalam benak masyarakat. Pertama, bisa jadi ini menunjukan bahwa DPRD kurang mampu melaksanakan fungsinya sebagai mitra yang seimbang dan efektif dari kepala daerah. Indikasi shahihnya bisa dilihat dari kasus Pasar Rebo di atas, dimana terlihat jelas adanya kecenderungan masih cukup dominannya peranan kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Fungsi legislatif DPRD tidak lebih hanya sebagai lembaga “stempel” kebijakan.
Kedua, bisa jadi hal ini dikarenakan DPRD khawatir dianggap terlalu menyimpang dari fungsinya sebagai badan pemerintahan di daerah yang menyelenggarakan fungsi legislatif. Dalam kasus Pasar Rebo di atas, terlihat jelas DPRD tidak mau dianggap terlalu jauh mencampuri bidang tugas kepala daerah. DPRD terkena sindrom penyakit inferiority-complex karena merasa tidak memiliki otoritas dalam pengambilan dan operasionalisasi kebijakan rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo.
Kedua asumsi ini pada akhirnya melahirkan asumsi negatif di masyarakat tentang eksistensi anggota DPRD. Mau tidak mau, melihat peta kondisi real di atas, etos dan kinerja DPRD harus dipertanyakan kembali. Ketidak-berdayaan DPRD mensikapi kasus Pasar Rebo bisa jadi didasarkan atas ketidak-berdayaan intelektualisme dan komitmen moral DPRD sendiri. Bila sedikit mau membaca tentang UU Politik terutama UU Politik No. 4 Tahun 1999, di sana jelas disebutkan bahwa keberadaan DPRD adalah sebagai wahana untuk melaksanakan demokrasi di daerah. Oleh karena itu, DPRD memiliki kedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintahan daerah. DPRD bukan sub-ordinat dari pemerintahan daerah.
Tanpa bermaksud menggurui, dalam UU Politik No. 4 Tahun 1999 itu, baik secara eksplisit maupun implisit, menyebutkan beberapa hal penting menyangkut susunan dan kedudukan DPRD yang meliputi : kewajiban DPRD, Tugas dan Wewenang DPRD, Hak DPRD dan Hak Anggota DPRD. Patut dicatat beberapa hal penting, misalnya berkaitan dengan kewajiban DPRD diantaranya : membina demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi; serta memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, dan memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.
Kemudian berkaitan dengan tugas dan wewenang DPRD, patut dicatat pula diantaranya : bersama Bupati membentuk Perda; bersama Bupati menetapkan APBD; melaksanakan pengawasan terhadap : pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lain, pelaksanaan keputusan bupati, pelaksanaan APBD, kebijakan Pemda dan pelaksanaan kerjasama internasional; memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemda terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; dan menampung dan menindak-lanjuti aspirasi daerah dan masyarakat.
DPRD bersama pilar politik lainnya, yakni eksekutif dan yudikatif memiliki kewajiban untuk melaksanakan dan mengawal “good governance” sebagai produk orisinil reformasi. Prinsip-prinsip fundamental “good governance” yang meliputi partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli kepada stakeholder (melayani), berorientasi kepada konsensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis, seharusnya sudah harus dimulai oleh DPRD secara kelembagaan. Sebab, jika tidak, eksistensi DPRD sebagai lembaga yang cita idealnya terhormat, bisa berubah menjadi lembaga tidak terhormat.
Untuk melihat dan mengevaluasi etos dan kinerja DPRD, sebetulnya bisa diteropong dengan menggunakan UU Politik di atas. Dengan menggunakan UU Politik di atas, paling tidak ada dua titik fokus pertanyaan penting. Pertama, apakah secara kuantitatif DPRD sudah mampu menghasilkan Perda atau memvalidasi Perda yang berorietasi kerakyatan (public-oriented). Kemudian kedua, apakah secara kualitatif DPRD sudah mampu mengakomodir aspirasi rakyat serta mengembangkan iklim transparansi dalam proses pengambilan atau operasionalisasi kebijakan publik.
Berkaitan dengan sikap DPRD dalam kasus rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo, tentu kita bisa menilai bahwa asumsi negatif masyarakat tentang ketidak-berdayaan intelektualisme dan komitmen moral DPRD sepertinya mendapatkan verifikasi kebenarannya secara sempurna. Sebab, secara empirik DPRD terlihat sudah menunjukan sikap masa-bodohnya terhadap aspirasi masyarakat yang (secara langsung atau-pun tidak langsung) adalah konstituennya. Kalau sudah begitu, sudah saatnya masyarakat berpikir untuk tidak memilih kembali wakilnya itu dalam Pemilu mendatang.
Dari “Logika Kekuasaan” Menuju “Kekuasaan Logika”
Political will memodernisir pembangunan adalah sebuah keharusan. Eksistensi seorang kepala daerah akan dilihat dari etos dan kinerjanya terhadap pembangunan daerah yang dipimpinnya. Berapa banyak sektor-sektor real pembangunan di daerah diikhtiarkan, baik dari sisi fisik maupun sisi pembangunan sumber daya manusianya? Berapa jauh program pembangunan yang telah direncanakan bisa terealisasi secara efektif dan efisien sesuai dengan visi dan misi daerah?
Maka dari itu, dilihat dari kacamata kepentingan modernisasi pembangunan, rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di tingkat akar rumput, masyarakat sebetulnya sudah bisa memahami logika pembangunan ini. Akar persoalannya justru ada pada tingkat implementasinya di lapangan yang idealnya harus diselaraskan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi masyarakat pedagang saat ini. Belum tuntas sebetulnya masyarakat pedagang menghadapi badai panas krisis moneter, baru menghela napas sedikit, sekarang sudah dihadapkan pada persoalan baru yang kapasitasnya kurang lebih sama.
Sudah bukan zamannya lagi menekankan pembangunan dengan pendekatan “logika kekuasaan”. Pembangunan berdasarkan “logika kekuasaan” hanya akan menempatkan masyarakat menjadi objek (atau lebih ekstrem lagi, budak) pembangunan, tanpa memiliki hak untuk memilih. Kebijakan sepenuhnya ada di tangan pemegang kekuasaan, dan di sinilah justru titik lemahnya. Karena masyarakat diimpotenkan dari partisipasi dan kontrol dalam pembangunan, maka terjadinya abuse of power (penyelewengan kekuasaan) oleh penguasa melalui praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme rentan terjadi.
Terbukti, belum lagi kebijakan rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo ini dikonsep dan diimplementasikan, bau tidak sedap sudah begitu menyeruak. Perbedaan pandangan antara bupati dan wakil bupati sudah menjadi rahasia umum. Konon, perbedaan kepentingan politik dan ekonomi (dalam rangka Pilkada Tahun 2008) yang menjadi akar perbedaan pandangan itu. Bahkan tercium desas-desus yang tidak kalah sedapnya, pengusaha asal Bandung yang memiliki akses luar biasa ke birokrasi dan politik ikut juga bermain. Inilah fakta pembangunan yang didasarkan atas “logika kekuasaan”.
Setelah banyak berkaca dari pengalaman, sepertinya sudah waktunya kita merubah arah konsep dan perencanaan pembangunan Purwakarta dari pendekatan yang menekankan “logika kekuasaan” ke pendekatan “kekuasaan logika”. Yang menjadi panglima dalam pembangunan adalah logika (ilmiah) dan nurani, bukan kekuasaan birokrasi atau-pun politik. Sehingga, bukan hanya kepentingan sesaat dan sekelompok orang yang menjadi target “penyejahteraan”, melainkan kepentingan yang bersipat multifier-efeck jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang bersipat multi-dimensional, yang sedikitnya menyangkut kepentingan sosio-ekonomi dan sosio-budaya rakyat banyak.
Mengapa? Karena biasanya ada satu titik yang seringkali (sengaja) dilupakan dalam konsep dan perencanaan pembangunan bangsa kita, yakni analisis dampak lingkungan (amdal) sebagai efek rasional dari pembangunan. Sudahkah dipikirkan masak-masak efek sosio-ekonomi bagi masyarakat pedagang setelah dengan pasti mereka kehilangan tempat berdagang yang selama ini menjadi “periuk” kehidupan mereka? Membuat daftar statistik kemiskinan baru, jelas sangat bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan logika pembangunan!
Kemudian juga, sudahkah dipikirkan matang-matang bagaimana efek sosio-budaya bagi masyarakat sekitarnya, akibat berubah fungsinya Pasar Rebo yang merupakan pasar tradisional (penjaga tradisi) menjadi pusat pertokoan dan perkantoran yang bergaya modern? Kekhawatiran terjadinya “cultural-lag” (gagap budaya) masyarakat – akibat belum benar-benar siap menerima modernitas, hendaknya menjadi fokus perhatian penting dalam konsep dan perencanaan rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo. Jangan sampai terjadi, Pasar Rebo nasibnya persis seperti Pasar Jum’at yang “di-golden-star-kan” atau Terminal Sadang yang “di-STS-kan”.
Pola relokasi pedagang Pasar Rebo ke Pasar Simpang, hendaknya dibarengi dengan pembangunan infra-struktur baru berupa pasilitas jalan yang lebih layak dan pengaturan transportasi angkutan yang berorientasi “menghidupkan” pasar. Kalau memang memungkinkan dan dianggap kondusif, tidak ada salahnya dibuatkan jalan baru sebagai jalur alternatif. Hal ini perlu untuk mengantisipasi munculnya masalah baru, misalnya kemacetan yang bisa berakibat kepada masalah lainnya, yang ujung-ujungnya pembeli menjadi malas berbelanja ke sana. Banyak yang sekaratnya masyarakat pedagang Pasar Jum’at yang direlokasi ke Pasar Leuwi Panjang, adalah akibat tidak diperhatikannya persoalan penting ini.
Tanpa mengecilkan eksistensi lembaga “Think-Thank” yang dimiliki pemerintahan daerah, rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo sepertinya perlu dikonsep dan direncanakan ulang. Pemerintahan daerah perlu mengulang kembali analisis terhadap data-data yang telah didapatkan dari survey yang telah dilakukan. Walau bagaimanapun, kepentingan penelitian untuk kebutuhan birokrasi yang bersipat politis dan menekankan “logika kekuasaan”, hasilnya akan berbeda dengan kepentingan penelitian yang bersipat ilmiah murni. Analisis data dalam penelitian yang bersipat ilmiah murni akan lebih ditekankan kepada kenyataan objektif dan lebih bersipat independen.
Pembangunan daerah Purwakarta pada hakikatnya harus benar-benar dapat dinikmati oleh segenap masyarakat Purwakarta, tanpa terkecuali. Bila kenyataannya hanya dinikmati oleh segelintir kelompok orang saja, tentu hal ini benar-benar sangat bertentangan dengan nurani Pancasila, UUD 1945 dan logika pembangunan Purwakarta. Oleh karena itu, hanya satu kata yang ingin penulis lontarkan : “Konsep dan rencanakan ulang kebijakan rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo agar lebih berorientasi publik dan berwawasan lingkungan”.
Bravo Pedagang! Bravo Masyarakat Purwakarta! Bravo Pemda Purwakarta!
Selamat datang pembangunan berorientasi publik!
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.
Gonjang-ganjing rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo yang terletak di kawasan strategis kabupaten Purwakarta sepertinya sudah mulai mendingin (tepatnya didinginkan). Seperti sudah diduga, sebagaimana karakter inti dari logika pembangunan Indonesia, jurus terakhir yang digunakan oleh Pemda Purwakarta adalah penerapan “logika kekuasaan”. The show of power must go on; ikhlash tidak ikhlash program rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo tetap harus dilaksanakan. Aspiratif atau tidak, itu bukan pertimbangan yang dianggap sehat dalam logika pembangunan. Kembali masyarakat menjadi “tumbal” logika pembangunan yang menekankan “logika kekuasaan”.
Permohonan peninjauan ulang kebijakan oleh masyarakat yang diimplementasikan dalam bentuk pengaduan ke wakil-wakil mereka yang duduk di DPRD, sepertinya tidak memiliki arti signifikan. Seperti sudah diduga, dagelan ketoprak-pun kemudian ditunjukan oleh wakil-wakil rakyat itu. Dengan tampilan dan lipe-servis manis di hadapan masyarakat yang mengadu, wakil-wakil rakyat itu berlagak ingin dikesani peduli kepada kepentingan masyarakat. Ujung-ujungnya di babak akhir, dengan menggunakan tafsiran logika aturan main eksekutif-legislatif yang dipaksakan, pimpinan DPRD dengan ringannya hanya bisa mengatakan : “Hal itu sepenuhnya diserahkan kepada eksekutif”.
Akhirnya, seperti yang sudah-sudah, the show of power must go on.
Dilema Sikap DPRD
Tentu saja sikap “tidak peduli” yang dipertontonkan oleh wakil-wakil rakyat di DPRD ini paling tidak memunculkan dua asumsi dalam benak masyarakat. Pertama, bisa jadi ini menunjukan bahwa DPRD kurang mampu melaksanakan fungsinya sebagai mitra yang seimbang dan efektif dari kepala daerah. Indikasi shahihnya bisa dilihat dari kasus Pasar Rebo di atas, dimana terlihat jelas adanya kecenderungan masih cukup dominannya peranan kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Fungsi legislatif DPRD tidak lebih hanya sebagai lembaga “stempel” kebijakan.
Kedua, bisa jadi hal ini dikarenakan DPRD khawatir dianggap terlalu menyimpang dari fungsinya sebagai badan pemerintahan di daerah yang menyelenggarakan fungsi legislatif. Dalam kasus Pasar Rebo di atas, terlihat jelas DPRD tidak mau dianggap terlalu jauh mencampuri bidang tugas kepala daerah. DPRD terkena sindrom penyakit inferiority-complex karena merasa tidak memiliki otoritas dalam pengambilan dan operasionalisasi kebijakan rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo.
Kedua asumsi ini pada akhirnya melahirkan asumsi negatif di masyarakat tentang eksistensi anggota DPRD. Mau tidak mau, melihat peta kondisi real di atas, etos dan kinerja DPRD harus dipertanyakan kembali. Ketidak-berdayaan DPRD mensikapi kasus Pasar Rebo bisa jadi didasarkan atas ketidak-berdayaan intelektualisme dan komitmen moral DPRD sendiri. Bila sedikit mau membaca tentang UU Politik terutama UU Politik No. 4 Tahun 1999, di sana jelas disebutkan bahwa keberadaan DPRD adalah sebagai wahana untuk melaksanakan demokrasi di daerah. Oleh karena itu, DPRD memiliki kedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintahan daerah. DPRD bukan sub-ordinat dari pemerintahan daerah.
Tanpa bermaksud menggurui, dalam UU Politik No. 4 Tahun 1999 itu, baik secara eksplisit maupun implisit, menyebutkan beberapa hal penting menyangkut susunan dan kedudukan DPRD yang meliputi : kewajiban DPRD, Tugas dan Wewenang DPRD, Hak DPRD dan Hak Anggota DPRD. Patut dicatat beberapa hal penting, misalnya berkaitan dengan kewajiban DPRD diantaranya : membina demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi; serta memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, dan memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.
Kemudian berkaitan dengan tugas dan wewenang DPRD, patut dicatat pula diantaranya : bersama Bupati membentuk Perda; bersama Bupati menetapkan APBD; melaksanakan pengawasan terhadap : pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lain, pelaksanaan keputusan bupati, pelaksanaan APBD, kebijakan Pemda dan pelaksanaan kerjasama internasional; memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemda terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; dan menampung dan menindak-lanjuti aspirasi daerah dan masyarakat.
DPRD bersama pilar politik lainnya, yakni eksekutif dan yudikatif memiliki kewajiban untuk melaksanakan dan mengawal “good governance” sebagai produk orisinil reformasi. Prinsip-prinsip fundamental “good governance” yang meliputi partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, peduli kepada stakeholder (melayani), berorientasi kepada konsensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis, seharusnya sudah harus dimulai oleh DPRD secara kelembagaan. Sebab, jika tidak, eksistensi DPRD sebagai lembaga yang cita idealnya terhormat, bisa berubah menjadi lembaga tidak terhormat.
Untuk melihat dan mengevaluasi etos dan kinerja DPRD, sebetulnya bisa diteropong dengan menggunakan UU Politik di atas. Dengan menggunakan UU Politik di atas, paling tidak ada dua titik fokus pertanyaan penting. Pertama, apakah secara kuantitatif DPRD sudah mampu menghasilkan Perda atau memvalidasi Perda yang berorietasi kerakyatan (public-oriented). Kemudian kedua, apakah secara kualitatif DPRD sudah mampu mengakomodir aspirasi rakyat serta mengembangkan iklim transparansi dalam proses pengambilan atau operasionalisasi kebijakan publik.
Berkaitan dengan sikap DPRD dalam kasus rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo, tentu kita bisa menilai bahwa asumsi negatif masyarakat tentang ketidak-berdayaan intelektualisme dan komitmen moral DPRD sepertinya mendapatkan verifikasi kebenarannya secara sempurna. Sebab, secara empirik DPRD terlihat sudah menunjukan sikap masa-bodohnya terhadap aspirasi masyarakat yang (secara langsung atau-pun tidak langsung) adalah konstituennya. Kalau sudah begitu, sudah saatnya masyarakat berpikir untuk tidak memilih kembali wakilnya itu dalam Pemilu mendatang.
Dari “Logika Kekuasaan” Menuju “Kekuasaan Logika”
Political will memodernisir pembangunan adalah sebuah keharusan. Eksistensi seorang kepala daerah akan dilihat dari etos dan kinerjanya terhadap pembangunan daerah yang dipimpinnya. Berapa banyak sektor-sektor real pembangunan di daerah diikhtiarkan, baik dari sisi fisik maupun sisi pembangunan sumber daya manusianya? Berapa jauh program pembangunan yang telah direncanakan bisa terealisasi secara efektif dan efisien sesuai dengan visi dan misi daerah?
Maka dari itu, dilihat dari kacamata kepentingan modernisasi pembangunan, rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di tingkat akar rumput, masyarakat sebetulnya sudah bisa memahami logika pembangunan ini. Akar persoalannya justru ada pada tingkat implementasinya di lapangan yang idealnya harus diselaraskan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi masyarakat pedagang saat ini. Belum tuntas sebetulnya masyarakat pedagang menghadapi badai panas krisis moneter, baru menghela napas sedikit, sekarang sudah dihadapkan pada persoalan baru yang kapasitasnya kurang lebih sama.
Sudah bukan zamannya lagi menekankan pembangunan dengan pendekatan “logika kekuasaan”. Pembangunan berdasarkan “logika kekuasaan” hanya akan menempatkan masyarakat menjadi objek (atau lebih ekstrem lagi, budak) pembangunan, tanpa memiliki hak untuk memilih. Kebijakan sepenuhnya ada di tangan pemegang kekuasaan, dan di sinilah justru titik lemahnya. Karena masyarakat diimpotenkan dari partisipasi dan kontrol dalam pembangunan, maka terjadinya abuse of power (penyelewengan kekuasaan) oleh penguasa melalui praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme rentan terjadi.
Terbukti, belum lagi kebijakan rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo ini dikonsep dan diimplementasikan, bau tidak sedap sudah begitu menyeruak. Perbedaan pandangan antara bupati dan wakil bupati sudah menjadi rahasia umum. Konon, perbedaan kepentingan politik dan ekonomi (dalam rangka Pilkada Tahun 2008) yang menjadi akar perbedaan pandangan itu. Bahkan tercium desas-desus yang tidak kalah sedapnya, pengusaha asal Bandung yang memiliki akses luar biasa ke birokrasi dan politik ikut juga bermain. Inilah fakta pembangunan yang didasarkan atas “logika kekuasaan”.
Setelah banyak berkaca dari pengalaman, sepertinya sudah waktunya kita merubah arah konsep dan perencanaan pembangunan Purwakarta dari pendekatan yang menekankan “logika kekuasaan” ke pendekatan “kekuasaan logika”. Yang menjadi panglima dalam pembangunan adalah logika (ilmiah) dan nurani, bukan kekuasaan birokrasi atau-pun politik. Sehingga, bukan hanya kepentingan sesaat dan sekelompok orang yang menjadi target “penyejahteraan”, melainkan kepentingan yang bersipat multifier-efeck jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang bersipat multi-dimensional, yang sedikitnya menyangkut kepentingan sosio-ekonomi dan sosio-budaya rakyat banyak.
Mengapa? Karena biasanya ada satu titik yang seringkali (sengaja) dilupakan dalam konsep dan perencanaan pembangunan bangsa kita, yakni analisis dampak lingkungan (amdal) sebagai efek rasional dari pembangunan. Sudahkah dipikirkan masak-masak efek sosio-ekonomi bagi masyarakat pedagang setelah dengan pasti mereka kehilangan tempat berdagang yang selama ini menjadi “periuk” kehidupan mereka? Membuat daftar statistik kemiskinan baru, jelas sangat bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan logika pembangunan!
Kemudian juga, sudahkah dipikirkan matang-matang bagaimana efek sosio-budaya bagi masyarakat sekitarnya, akibat berubah fungsinya Pasar Rebo yang merupakan pasar tradisional (penjaga tradisi) menjadi pusat pertokoan dan perkantoran yang bergaya modern? Kekhawatiran terjadinya “cultural-lag” (gagap budaya) masyarakat – akibat belum benar-benar siap menerima modernitas, hendaknya menjadi fokus perhatian penting dalam konsep dan perencanaan rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo. Jangan sampai terjadi, Pasar Rebo nasibnya persis seperti Pasar Jum’at yang “di-golden-star-kan” atau Terminal Sadang yang “di-STS-kan”.
Pola relokasi pedagang Pasar Rebo ke Pasar Simpang, hendaknya dibarengi dengan pembangunan infra-struktur baru berupa pasilitas jalan yang lebih layak dan pengaturan transportasi angkutan yang berorientasi “menghidupkan” pasar. Kalau memang memungkinkan dan dianggap kondusif, tidak ada salahnya dibuatkan jalan baru sebagai jalur alternatif. Hal ini perlu untuk mengantisipasi munculnya masalah baru, misalnya kemacetan yang bisa berakibat kepada masalah lainnya, yang ujung-ujungnya pembeli menjadi malas berbelanja ke sana. Banyak yang sekaratnya masyarakat pedagang Pasar Jum’at yang direlokasi ke Pasar Leuwi Panjang, adalah akibat tidak diperhatikannya persoalan penting ini.
Tanpa mengecilkan eksistensi lembaga “Think-Thank” yang dimiliki pemerintahan daerah, rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo sepertinya perlu dikonsep dan direncanakan ulang. Pemerintahan daerah perlu mengulang kembali analisis terhadap data-data yang telah didapatkan dari survey yang telah dilakukan. Walau bagaimanapun, kepentingan penelitian untuk kebutuhan birokrasi yang bersipat politis dan menekankan “logika kekuasaan”, hasilnya akan berbeda dengan kepentingan penelitian yang bersipat ilmiah murni. Analisis data dalam penelitian yang bersipat ilmiah murni akan lebih ditekankan kepada kenyataan objektif dan lebih bersipat independen.
Pembangunan daerah Purwakarta pada hakikatnya harus benar-benar dapat dinikmati oleh segenap masyarakat Purwakarta, tanpa terkecuali. Bila kenyataannya hanya dinikmati oleh segelintir kelompok orang saja, tentu hal ini benar-benar sangat bertentangan dengan nurani Pancasila, UUD 1945 dan logika pembangunan Purwakarta. Oleh karena itu, hanya satu kata yang ingin penulis lontarkan : “Konsep dan rencanakan ulang kebijakan rekonstruksi dan refungsionalisasi Pasar Rebo agar lebih berorientasi publik dan berwawasan lingkungan”.
Bravo Pedagang! Bravo Masyarakat Purwakarta! Bravo Pemda Purwakarta!
Selamat datang pembangunan berorientasi publik!
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar