Oleh : Asep Gunawan
Sebagai organisasi sosial-keagamaan yang berbasis “muslim militan”, eksistensi Persis (Persatuan Islam) tidak bisa dilepaskan dari sejarah gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Dengan corak gerakannya yang bersipat shock therapy melalui polemik yang cenderung revolusioner sehingga mengundang kontroversi pada masanya, menjadikan keberadaan Persis terlihat unik. Bersama dengan organisasi sosial-keagamaan yang sepaham lainnya, seperti Muhammadiyah dan al-Irsyad, Persis bahu-membahu “menetralkan” nilai-nilai Islam dari rembesan-rembesan pra-konsepsi dan gagasan-gagasan asing yang meresap sebagai akibat logis dari akulturasi budaya dan dinamisasi zaman.
Dalam usia yang melebihi tiga per-empat abad (81 tahun), Persis terlihat konsisten dalam visi dan misi gerakan pembaruannya. Ada kesan yang sangat kuat Persis cenderung berani mempertahankan tradisi intelektual yang bersipat fikih oriented, sehingga hampir secara keseluruhan orientasi gerakan pembaruan Persis – kecuali beberapa kasus yang terjadi pada masa Ahmad Hasan, KH. M. Isa Anshari, dan terakhir KH. A. Latief Mukhtar, M.A, terlihat hanya mencukupkan diri dalam diskursus praktek-praktek ibadah mahdlah saja. Ini diperkuat lagi dengan legitimasi KH. E. Abdurrahman dalam khutbah iftitah pada muakhat Persis tanggal 16 Januari 1981, yang pengaruhnya sangat kuat bagi perkembangan Persis selanjutnya, “…Bila lahir pertanyaan kenapa Persis ini tidak ada kemajuan, hanya berputar-putar di sana. Maka jawabnya, begitulah Persis yang senantiasa thawaf, berputar dalam lingkaran mardlatillah…”
Terlepas dari keikhlasan ijtihad KH. E. Abdurrahman di atas, yang penulis yakin ini dimaksudkan beliau sebagai implementasi visi dan misi jihad Persis dalam konteks masanya, skema konseptual “statis” dan “terpenjara” yang berorientasi thawaf ubudiyyah seperti itu bila dibiarkan, cepat atau lambat, disamping merupakan tindakan intellectual suicide (bunuh diri secara intelektual), juga akan menjadi kendala besar bagi perkembangan Persis di masa-masa mendatang, yang telah nyata ditandai dengan berbagai isu strategis.
Tiga Isu Strategis Abad 21
Paling tidak ada tiga isu strategis yang menandai perubahan masa depan. Pertama, akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat, akan muncul apa yang disebut global village, yang intinya akan terjadi revolusi dalam konsep jarak dan waktu. Pada saat itu bangsa Indonesia akan mengalami suatu benturan budaya, antara budaya luar yang didominasi oleh kekuatan Barat yang non-Islam dengan budaya lokal Indonesia yang mengandung elemen-elemen Islam dan budaya setempat.
Kedua, akan terjadi pergeseran cara pandang tentang persoalan ekonomi. Jika sebelumnya elemen-elemen strategis yang membentuk kekuatan ekonomi suatu bangsa adalah adanya sumber daya alam yang melimpah dan pasokan tenaga kerja yang memadai, maka sekarang ini terlihat semakin sentralnya apa yang disebut human capital. Pada saat itu, kausa efisien (sebab efektif) yang paling menentukan bagi majunya suatu bangsa bukan lagi melimpahnya sumber daya alam, melainkan keunggulan dan kreativitas sumber daya manusianya. Karena itu, investasi ekonomi yang paling menjanjikan di masa depan adalah investasi dalam sektor pendidikan yang relevan di dalam upaya mengembangkan keunggulan kompetitif bangsa Indonesia dalam skala global.
Ketiga, berhubungan dengan perubahan konstelasi politik internasional yang terlihat semakin mengarah pada kebenaran ramalan Samuel Huntington tentang apa yang disebut “konflik peradaban”. Setelah struktur komunisme dapat dilumpuhkan, Barat (dalam hal ini Yahudi dan Nasrani) berupaya menggeser peta konflik ke dunia Islam, yang dianggapnya akan menjadi musuh peradaban di masa depan. Karena itu kita dapat menyaksikan berbagai kasus di dunia internasional yang menjelaskan adanya sikap-sikap agresif dan Interventif Barat terhadap Islam dan identitas Islam, yang memunculkan praktek diskriminasi global, baik dalam bidang ekonomi maupun politik.
Pilihan Strategis
Dalam menghadapi isu-isu dilematis dan problematis di atas, tentunya bukan sikap flight (melarikan diri) yang harus dikedepankan oleh Persis, melainkan sikap fight (siap bertarung). Sebab, sikap flight, baik dengan cara membatasi ruang lingkup gerakan dakwahnya hanya pada thawaf ubudiyyah saja maupun dengan cara menyalahkan zaman lalu beromantisasi dengan sejarah masa lalu, justru akan memperlihatkan ketidak-berdayaan Persis dalam menghadapi tantangan objektif abad 21. Kalau sudah begitu, eksistensi Persis yang terlanjur dikenal sebagai salah satu diantara agen perubahan pemikiran di Indonesia patut dipertanyakan.
Lain lagi bila sikap fight yang dikedepankan. Sikap fight, setidaknya, akan memperlihatkan rasa percaya diri yang tinggi yang selanjutnya akan merangsang munculnya daya kreatif-inovatif dalam menghadapi derasnya tantangan masa depan. Meminjam teori ilmu sosial propetik almarhum Dr. Kuntowijoyo yang mengambil basis legislasi-normatifnya dari al-Qur’an surat Ali Imran ayat 110, terdapat tiga sasaran yang dituju ketika dikembangkan sikap fight ini. Pertama, sasaran humanisasi atau emansipasi (amar ma’ruf) yang bertujuan “memanusiakan manusia Indonesia”. Kedua, sasaran liberasi (nahyi munkar) yang bertujuan membebaskan bangsa Indonesia dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan ilmu dan teknologi, dan penghisapan penguasa zalim yang tiranik. Dan ketiga, sasaran transendensi (keimanan) yang bertujuan mengembalikan bangsa Indonesia kepada fitrah ketuhanannya yang sah.
Empat Agenda Signifikan Persis Ke-depan
Paling tidak, ada empat langkah signifikan yang harus diupayakan oleh Persis guna mengantisifasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di abad 21. Pertama, adanya upaya reorientasi gerakan pembaruan Persis ke arah yang berdimensi lebih luas. Jika sebelumnya terbatas hanya pada wilayah-wilayah yang bersipat ibadah mahdlah, maka untuk selanjutnya harus diupayakan ada diskursus yang lebih serius pada wilayah-wilayah di luar ibadah mahdlah.
Dengan demikian nantinya diharapkan, penyakit “TBC” yang selama ini menjadi sasaran dakwah Persis tidak hanya berputar di sekitar dimensi akidah dan ibadah saja, melainkan diperluas pada dimensi-dimensi lainnya. “Tahayul sosial”, “tahayul ekonomi”, “tahayul politik”, “bid’ah sosial”, “bid’ah ekonomi”, “bid’ah politik”, “churafat sosial”, “churafat ekonomi”, “churafat politik”, “syirik sosial”, “syirik ekonomi”, “syirik politik”, “tauhid sosial”, “tauhid ekonomi”, “tauhid politik”, dan yang lainnya lagi – seperti isu sekulerisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis), diharapkan menjadi wacana (diskursus) aktual dan strategis dalam gerakan pembaruan Persis.
Mau tidak mau, ini berarti menuntut adanya keberanian Persis untuk meminimalkan tradisi intelektual fikih oriented yang lebih menekankan sisi hitam-putihnya realitas sosial dan menapikan kemungkinan-kemungkinan sisi-sisi penting lainnya. Bukankah khazanah intelektualisme Islam itu tidak hanya mengenal disiplin ilmu fikih dan ushul fikih sebagai warisan para ulama dahulu, tetapi juga disiplin-disiplin ilmu lainnya yang banyak diantaranya menjadi jembatan bagi lahirnya disiplin ilmu-ilmu modern, seperti misalnya filsafat Islam, tasawuf, ilmu kalam, dan cikal-bakal ilmu-ilmu eksakta serta ilmu sejarah dan sosial, yang kesemuanya itu harus diakui mengambil inspirasinya dari kandungan al-Qur’an dan al-Hadits.
Kedua, sebagai konsekuensi dari upaya yang pertama, harus ditumbuh-kembangkan tradisi inteletual yang integral. Maksudnya, sehubungan dalam masyarakat kita ini ada dikotomi antara orang yang menguasai ilmu agama (yang disebut ulama) dan orang yang menguasai ilmu “umum” atau “sekuler” (yang disebut intelektual), maka harus ada upaya konkrit untuk mengakomodir kedua klas sosial elit tersebut dalam sebuah majelis, yang akan menjadi institusi tertinggi pembuat kebijakan taktis dan strategis bagi orientasi gerakan pembaruan Persis.
Adanya dikotomi antara Dewan Hisbah yang mengakomodir ulama-ulama Persis dan Majelis Tafkir yang mengakomodir intelektual Persis, menjadikan kinerja keduanya serba terbatas dan kurang begitu “menggigit”. Dewan Hisbah, karena seluruh anggotanya adalah ulama yang tentunya committed dengan tradisi intelektual fikih oriented, maka kesimpulan-kesimpulan hukum yang dihasilkan tidak akan beranjak jauh dari persoalan praktek-praktek ibadah mahdlah, yang sebetulnya pada saat-saat sekarang ini kurang begitu menjadi perhatian bagi masyarakat yang umumnya sedang menunggu penyelesaian konkrit bagi persoalan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Begitu pula dengan kinerja Majelis Tafkir yang sampai sekarang ini entah kenapa gaungnya belum terdengar sama sekali dalam pergulatan intelektualisme Islam di Indonesia. Keberadaannya barang kali tepat seperti yang dilukiskan dalam idiom “wujuduhu ka adamihi” (mati segan hidup pun tidak mau).
Untuk mengefektifkan keberadaan kedua institusi tersebut, tidak hanya dibutuhkan keberanian intelektual untuk membuat new break-through (terobosan baru) melalui langkah-langklah taktis, tetapi juga diperlukan kesiapan mental yang tinggi untuk membuka diri dalam sebuah wacana yang dialogis, akomodatif, terbuka, dan dewasa. Hal inilah yang sempat menghilang dalam tradisi intektualisme Persis belakangan ini. Padahal kalau menengok ke sejarah masa-masa awal Persis, tradisi intelektualisme seperti ini pernah menjadi kebanggaan tersendiri bagi Persis. Debating bagi Ahmad Hasan misalnya, itu tidak berarti tidak dialogis, tidak akomodatif, tidak terbuka, dan tidak dewasa. Justru dengan debating, asalkan tidak keluar dari batas-batas etika ilmiah, akan mampu membuka cakrawala pemahaman Islam yang lebih luas dan komprehensif lagi.
Ketiga, sebagai persiapan menuju upaya yang kedua, proses pemberdayaan sumber daya manusia yang berorientasi ulama-intelektual harus menjadi prioritas utama bagi Persis. Ini berarti menuntut adanya keseimbangan antara peran ulama dan intelektual dalam struktur organisasi Persis yang selama ini didominasi oleh ulama. Pemupukan serius melalui sarana yang dialogis dan akomodatif terhadap kader-kader intelektual muda Persis, yang sekarang ini terlihat sedang menggeliat menunggu dibangunkan, merupakan langkah konkrit yang relevan untuk saat-saat ini.
Banyak sebetulnya intelektual-intelektual muda yang sedari kecil dibina di sekolah-sekolah Persis dan tentu saja masih committed dengan kepersisannya – setidaknya terlihat dari kaifiyat ibadahnya, menginginkan dapat bergabung dengan Persis. Namun sangat disayangkan keinginan tersebut tidak dapat diakomodir secara lebih arif oleh Persis. Persis bahkan cenderung tidak responsif menanggapi keinginan tersebut, sehingga akhirnya mereka lari ke organisasi-organisasi lain yang dapat mengakomodir gejolak intelektualisme mereka.
Solusi yang paling memungkinkan untuk mendapatkan SDM Persis yang siap fight adalah melalui proses kaderisasi yang tepat sasaran dan terencana. Karena itu, tiga tahapan utama kaderisasi perlu dipormulasikan secara akurat dan luwes. Tahap pertama, rekrutmen kader. Dalam tahapan ini pada dasarnya ditentukan oleh seberapa besar individu-individu kreatif dan inovatif dapat terjaring. Proses ini ditentukan keberhasilannya oleh format ideal organisasi. Organisasi yang pola kepengurusannya tidak terlalu birokratis dan tidak mengandalkan formalitas posisi secara berlebih-lebihan serta yang profesional dan yang memberi ruang yang cukup bagi kreativitas para anggota, akan lebih diminati oleh individu-individu kreatif dan inovatif.
Tahap kedua, proses pengkaderan. Tahapan ini paling sedikit meliputi tiga model pengkaderan, yakni “pemberian kesempatan” dari senior ke junior yang menuntut keikhlasan, proses training formal, dan proses aktivitas keorganisasian. Dan tahapan ketiga, pengorbitan kader. Dalam tahapan ini, walaupun daya kreatif dan inisiatif kader sendiri yang menentukan, kontribusi organisasi melalui, meminjam istilah almarhum Dr. Kuntowijoyo, “Diversifikasi” kader (penggolongan kader) ke berbagai bidang disiplin ilmu, “desentralisasi” kader (penyebaran kader) ke berbagai wilayah di tanah air, dan “proliferasi” kader (pembiakan kader) ke berbagai sektor kunci kehidupan, tetaplah dibutuhkan.
Dan terakhir dari agenda signifikan Persis ke depan, adalah adanya upaya implementasi pernyataan-pernyataan keagamaan dalam tindakan-tindakan keagamaan yang konkrit. Artinya secara sederhana, ada kesinambungan antara iman dan ilmu di satu sisi dan amal shalih di sisi lainnya. Bila merujuk pada tarikh Rasulullah, akan ditemukan bahwa Rasulullah tidak pernah mendikotomikan antara keduanya itu. Sebab, pernyataan keagamaan yang sejati dan ikhlas harus diukur dengan amal shalih. Dengan kata lain, metodologi dakwah Persis tidak harus mengandalkan pada dakwah billisan (dengan ucapan) saja sebagai cara mengendalikan perubahan masyarakat, melainkan juga pada dakwah bil hal (dengan aktualisasi diri).
Maka dari itu, jika ingin dapat mengendalikan perubahan masyarakat di masa depan, Persis tidak boleh hanya terpaku pada ceramah-ceramah yang bersipat teoritis. Disamping harus meneliti dan menganalisis masyarakat yang tentunya membutuhkan metodologi tersendiri, Persis juga harus mengasumsikan masyarakat sebagai subjek perubahan itu sendiri, bukan objek perubahan. Karenanya yang harus dilakukan Persis adalah bagaimana mengartikulasikan gagasan-gagasan perubahan ke dalam dimensi metodologi, dimensi perencanaan perubahan sosial, dan dimensi pengembangan masyarakat, agar tidak ada lagi kesenjangan antara pernyataan-pernyataan keagamaan dan tindakan-tindakan keagamaan. Musuh utama Persis sebetulnya adalah sikap elitis dari pemimpin-pemimpin Persis yang mengklaim paling tahu, paling benar, paling menguasai, dan kemudian mengisolasi diri dari solidaritas dan dinamika kaum mustadh’afin.
Khatimah : Sebuah Ekspektasi
Akhirnya, jalan keluar yang sebetulnya diusulkan oleh tulisan ini adalah kesediaan dan kesiapan Persis untuk berusaha sekuat tenaga mewujudkan reformasi internal (sebelum ke eksternal yang dimensinya tentu lebih luas lagi) dengan cara melakukan oto-kritik ke dalam tubuh Persis sendiri guna mengembalikan citra Persis kepada eksistensinya sebagai salah satu agen pembaruan yang diperhitungkan di Indonesia. Rethinking, reorientasi, reposisi, dan reaktualisasi peran Persis harus benar-benar dijadikan prioritas utama dan pertama. Dan untuk mewujudkannya tentu saja diperlukan agenda-agenda yang substansial, jelas, dan mengarah pada visi dan misi gerakan pembaruan Persis beserta relevansinya dengan isu-isu strategis yang sedang dan akan terjadi. Muktamar Persis ke-13 nanti di Jakarta pada bulan September 2005 adalah wahana yang tepat untuk dapat mewujudkannya. Semoga!!!
Sebagai organisasi sosial-keagamaan yang berbasis “muslim militan”, eksistensi Persis (Persatuan Islam) tidak bisa dilepaskan dari sejarah gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Dengan corak gerakannya yang bersipat shock therapy melalui polemik yang cenderung revolusioner sehingga mengundang kontroversi pada masanya, menjadikan keberadaan Persis terlihat unik. Bersama dengan organisasi sosial-keagamaan yang sepaham lainnya, seperti Muhammadiyah dan al-Irsyad, Persis bahu-membahu “menetralkan” nilai-nilai Islam dari rembesan-rembesan pra-konsepsi dan gagasan-gagasan asing yang meresap sebagai akibat logis dari akulturasi budaya dan dinamisasi zaman.
Dalam usia yang melebihi tiga per-empat abad (81 tahun), Persis terlihat konsisten dalam visi dan misi gerakan pembaruannya. Ada kesan yang sangat kuat Persis cenderung berani mempertahankan tradisi intelektual yang bersipat fikih oriented, sehingga hampir secara keseluruhan orientasi gerakan pembaruan Persis – kecuali beberapa kasus yang terjadi pada masa Ahmad Hasan, KH. M. Isa Anshari, dan terakhir KH. A. Latief Mukhtar, M.A, terlihat hanya mencukupkan diri dalam diskursus praktek-praktek ibadah mahdlah saja. Ini diperkuat lagi dengan legitimasi KH. E. Abdurrahman dalam khutbah iftitah pada muakhat Persis tanggal 16 Januari 1981, yang pengaruhnya sangat kuat bagi perkembangan Persis selanjutnya, “…Bila lahir pertanyaan kenapa Persis ini tidak ada kemajuan, hanya berputar-putar di sana. Maka jawabnya, begitulah Persis yang senantiasa thawaf, berputar dalam lingkaran mardlatillah…”
Terlepas dari keikhlasan ijtihad KH. E. Abdurrahman di atas, yang penulis yakin ini dimaksudkan beliau sebagai implementasi visi dan misi jihad Persis dalam konteks masanya, skema konseptual “statis” dan “terpenjara” yang berorientasi thawaf ubudiyyah seperti itu bila dibiarkan, cepat atau lambat, disamping merupakan tindakan intellectual suicide (bunuh diri secara intelektual), juga akan menjadi kendala besar bagi perkembangan Persis di masa-masa mendatang, yang telah nyata ditandai dengan berbagai isu strategis.
Tiga Isu Strategis Abad 21
Paling tidak ada tiga isu strategis yang menandai perubahan masa depan. Pertama, akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat, akan muncul apa yang disebut global village, yang intinya akan terjadi revolusi dalam konsep jarak dan waktu. Pada saat itu bangsa Indonesia akan mengalami suatu benturan budaya, antara budaya luar yang didominasi oleh kekuatan Barat yang non-Islam dengan budaya lokal Indonesia yang mengandung elemen-elemen Islam dan budaya setempat.
Kedua, akan terjadi pergeseran cara pandang tentang persoalan ekonomi. Jika sebelumnya elemen-elemen strategis yang membentuk kekuatan ekonomi suatu bangsa adalah adanya sumber daya alam yang melimpah dan pasokan tenaga kerja yang memadai, maka sekarang ini terlihat semakin sentralnya apa yang disebut human capital. Pada saat itu, kausa efisien (sebab efektif) yang paling menentukan bagi majunya suatu bangsa bukan lagi melimpahnya sumber daya alam, melainkan keunggulan dan kreativitas sumber daya manusianya. Karena itu, investasi ekonomi yang paling menjanjikan di masa depan adalah investasi dalam sektor pendidikan yang relevan di dalam upaya mengembangkan keunggulan kompetitif bangsa Indonesia dalam skala global.
Ketiga, berhubungan dengan perubahan konstelasi politik internasional yang terlihat semakin mengarah pada kebenaran ramalan Samuel Huntington tentang apa yang disebut “konflik peradaban”. Setelah struktur komunisme dapat dilumpuhkan, Barat (dalam hal ini Yahudi dan Nasrani) berupaya menggeser peta konflik ke dunia Islam, yang dianggapnya akan menjadi musuh peradaban di masa depan. Karena itu kita dapat menyaksikan berbagai kasus di dunia internasional yang menjelaskan adanya sikap-sikap agresif dan Interventif Barat terhadap Islam dan identitas Islam, yang memunculkan praktek diskriminasi global, baik dalam bidang ekonomi maupun politik.
Pilihan Strategis
Dalam menghadapi isu-isu dilematis dan problematis di atas, tentunya bukan sikap flight (melarikan diri) yang harus dikedepankan oleh Persis, melainkan sikap fight (siap bertarung). Sebab, sikap flight, baik dengan cara membatasi ruang lingkup gerakan dakwahnya hanya pada thawaf ubudiyyah saja maupun dengan cara menyalahkan zaman lalu beromantisasi dengan sejarah masa lalu, justru akan memperlihatkan ketidak-berdayaan Persis dalam menghadapi tantangan objektif abad 21. Kalau sudah begitu, eksistensi Persis yang terlanjur dikenal sebagai salah satu diantara agen perubahan pemikiran di Indonesia patut dipertanyakan.
Lain lagi bila sikap fight yang dikedepankan. Sikap fight, setidaknya, akan memperlihatkan rasa percaya diri yang tinggi yang selanjutnya akan merangsang munculnya daya kreatif-inovatif dalam menghadapi derasnya tantangan masa depan. Meminjam teori ilmu sosial propetik almarhum Dr. Kuntowijoyo yang mengambil basis legislasi-normatifnya dari al-Qur’an surat Ali Imran ayat 110, terdapat tiga sasaran yang dituju ketika dikembangkan sikap fight ini. Pertama, sasaran humanisasi atau emansipasi (amar ma’ruf) yang bertujuan “memanusiakan manusia Indonesia”. Kedua, sasaran liberasi (nahyi munkar) yang bertujuan membebaskan bangsa Indonesia dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan ilmu dan teknologi, dan penghisapan penguasa zalim yang tiranik. Dan ketiga, sasaran transendensi (keimanan) yang bertujuan mengembalikan bangsa Indonesia kepada fitrah ketuhanannya yang sah.
Empat Agenda Signifikan Persis Ke-depan
Paling tidak, ada empat langkah signifikan yang harus diupayakan oleh Persis guna mengantisifasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di abad 21. Pertama, adanya upaya reorientasi gerakan pembaruan Persis ke arah yang berdimensi lebih luas. Jika sebelumnya terbatas hanya pada wilayah-wilayah yang bersipat ibadah mahdlah, maka untuk selanjutnya harus diupayakan ada diskursus yang lebih serius pada wilayah-wilayah di luar ibadah mahdlah.
Dengan demikian nantinya diharapkan, penyakit “TBC” yang selama ini menjadi sasaran dakwah Persis tidak hanya berputar di sekitar dimensi akidah dan ibadah saja, melainkan diperluas pada dimensi-dimensi lainnya. “Tahayul sosial”, “tahayul ekonomi”, “tahayul politik”, “bid’ah sosial”, “bid’ah ekonomi”, “bid’ah politik”, “churafat sosial”, “churafat ekonomi”, “churafat politik”, “syirik sosial”, “syirik ekonomi”, “syirik politik”, “tauhid sosial”, “tauhid ekonomi”, “tauhid politik”, dan yang lainnya lagi – seperti isu sekulerisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis), diharapkan menjadi wacana (diskursus) aktual dan strategis dalam gerakan pembaruan Persis.
Mau tidak mau, ini berarti menuntut adanya keberanian Persis untuk meminimalkan tradisi intelektual fikih oriented yang lebih menekankan sisi hitam-putihnya realitas sosial dan menapikan kemungkinan-kemungkinan sisi-sisi penting lainnya. Bukankah khazanah intelektualisme Islam itu tidak hanya mengenal disiplin ilmu fikih dan ushul fikih sebagai warisan para ulama dahulu, tetapi juga disiplin-disiplin ilmu lainnya yang banyak diantaranya menjadi jembatan bagi lahirnya disiplin ilmu-ilmu modern, seperti misalnya filsafat Islam, tasawuf, ilmu kalam, dan cikal-bakal ilmu-ilmu eksakta serta ilmu sejarah dan sosial, yang kesemuanya itu harus diakui mengambil inspirasinya dari kandungan al-Qur’an dan al-Hadits.
Kedua, sebagai konsekuensi dari upaya yang pertama, harus ditumbuh-kembangkan tradisi inteletual yang integral. Maksudnya, sehubungan dalam masyarakat kita ini ada dikotomi antara orang yang menguasai ilmu agama (yang disebut ulama) dan orang yang menguasai ilmu “umum” atau “sekuler” (yang disebut intelektual), maka harus ada upaya konkrit untuk mengakomodir kedua klas sosial elit tersebut dalam sebuah majelis, yang akan menjadi institusi tertinggi pembuat kebijakan taktis dan strategis bagi orientasi gerakan pembaruan Persis.
Adanya dikotomi antara Dewan Hisbah yang mengakomodir ulama-ulama Persis dan Majelis Tafkir yang mengakomodir intelektual Persis, menjadikan kinerja keduanya serba terbatas dan kurang begitu “menggigit”. Dewan Hisbah, karena seluruh anggotanya adalah ulama yang tentunya committed dengan tradisi intelektual fikih oriented, maka kesimpulan-kesimpulan hukum yang dihasilkan tidak akan beranjak jauh dari persoalan praktek-praktek ibadah mahdlah, yang sebetulnya pada saat-saat sekarang ini kurang begitu menjadi perhatian bagi masyarakat yang umumnya sedang menunggu penyelesaian konkrit bagi persoalan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Begitu pula dengan kinerja Majelis Tafkir yang sampai sekarang ini entah kenapa gaungnya belum terdengar sama sekali dalam pergulatan intelektualisme Islam di Indonesia. Keberadaannya barang kali tepat seperti yang dilukiskan dalam idiom “wujuduhu ka adamihi” (mati segan hidup pun tidak mau).
Untuk mengefektifkan keberadaan kedua institusi tersebut, tidak hanya dibutuhkan keberanian intelektual untuk membuat new break-through (terobosan baru) melalui langkah-langklah taktis, tetapi juga diperlukan kesiapan mental yang tinggi untuk membuka diri dalam sebuah wacana yang dialogis, akomodatif, terbuka, dan dewasa. Hal inilah yang sempat menghilang dalam tradisi intektualisme Persis belakangan ini. Padahal kalau menengok ke sejarah masa-masa awal Persis, tradisi intelektualisme seperti ini pernah menjadi kebanggaan tersendiri bagi Persis. Debating bagi Ahmad Hasan misalnya, itu tidak berarti tidak dialogis, tidak akomodatif, tidak terbuka, dan tidak dewasa. Justru dengan debating, asalkan tidak keluar dari batas-batas etika ilmiah, akan mampu membuka cakrawala pemahaman Islam yang lebih luas dan komprehensif lagi.
Ketiga, sebagai persiapan menuju upaya yang kedua, proses pemberdayaan sumber daya manusia yang berorientasi ulama-intelektual harus menjadi prioritas utama bagi Persis. Ini berarti menuntut adanya keseimbangan antara peran ulama dan intelektual dalam struktur organisasi Persis yang selama ini didominasi oleh ulama. Pemupukan serius melalui sarana yang dialogis dan akomodatif terhadap kader-kader intelektual muda Persis, yang sekarang ini terlihat sedang menggeliat menunggu dibangunkan, merupakan langkah konkrit yang relevan untuk saat-saat ini.
Banyak sebetulnya intelektual-intelektual muda yang sedari kecil dibina di sekolah-sekolah Persis dan tentu saja masih committed dengan kepersisannya – setidaknya terlihat dari kaifiyat ibadahnya, menginginkan dapat bergabung dengan Persis. Namun sangat disayangkan keinginan tersebut tidak dapat diakomodir secara lebih arif oleh Persis. Persis bahkan cenderung tidak responsif menanggapi keinginan tersebut, sehingga akhirnya mereka lari ke organisasi-organisasi lain yang dapat mengakomodir gejolak intelektualisme mereka.
Solusi yang paling memungkinkan untuk mendapatkan SDM Persis yang siap fight adalah melalui proses kaderisasi yang tepat sasaran dan terencana. Karena itu, tiga tahapan utama kaderisasi perlu dipormulasikan secara akurat dan luwes. Tahap pertama, rekrutmen kader. Dalam tahapan ini pada dasarnya ditentukan oleh seberapa besar individu-individu kreatif dan inovatif dapat terjaring. Proses ini ditentukan keberhasilannya oleh format ideal organisasi. Organisasi yang pola kepengurusannya tidak terlalu birokratis dan tidak mengandalkan formalitas posisi secara berlebih-lebihan serta yang profesional dan yang memberi ruang yang cukup bagi kreativitas para anggota, akan lebih diminati oleh individu-individu kreatif dan inovatif.
Tahap kedua, proses pengkaderan. Tahapan ini paling sedikit meliputi tiga model pengkaderan, yakni “pemberian kesempatan” dari senior ke junior yang menuntut keikhlasan, proses training formal, dan proses aktivitas keorganisasian. Dan tahapan ketiga, pengorbitan kader. Dalam tahapan ini, walaupun daya kreatif dan inisiatif kader sendiri yang menentukan, kontribusi organisasi melalui, meminjam istilah almarhum Dr. Kuntowijoyo, “Diversifikasi” kader (penggolongan kader) ke berbagai bidang disiplin ilmu, “desentralisasi” kader (penyebaran kader) ke berbagai wilayah di tanah air, dan “proliferasi” kader (pembiakan kader) ke berbagai sektor kunci kehidupan, tetaplah dibutuhkan.
Dan terakhir dari agenda signifikan Persis ke depan, adalah adanya upaya implementasi pernyataan-pernyataan keagamaan dalam tindakan-tindakan keagamaan yang konkrit. Artinya secara sederhana, ada kesinambungan antara iman dan ilmu di satu sisi dan amal shalih di sisi lainnya. Bila merujuk pada tarikh Rasulullah, akan ditemukan bahwa Rasulullah tidak pernah mendikotomikan antara keduanya itu. Sebab, pernyataan keagamaan yang sejati dan ikhlas harus diukur dengan amal shalih. Dengan kata lain, metodologi dakwah Persis tidak harus mengandalkan pada dakwah billisan (dengan ucapan) saja sebagai cara mengendalikan perubahan masyarakat, melainkan juga pada dakwah bil hal (dengan aktualisasi diri).
Maka dari itu, jika ingin dapat mengendalikan perubahan masyarakat di masa depan, Persis tidak boleh hanya terpaku pada ceramah-ceramah yang bersipat teoritis. Disamping harus meneliti dan menganalisis masyarakat yang tentunya membutuhkan metodologi tersendiri, Persis juga harus mengasumsikan masyarakat sebagai subjek perubahan itu sendiri, bukan objek perubahan. Karenanya yang harus dilakukan Persis adalah bagaimana mengartikulasikan gagasan-gagasan perubahan ke dalam dimensi metodologi, dimensi perencanaan perubahan sosial, dan dimensi pengembangan masyarakat, agar tidak ada lagi kesenjangan antara pernyataan-pernyataan keagamaan dan tindakan-tindakan keagamaan. Musuh utama Persis sebetulnya adalah sikap elitis dari pemimpin-pemimpin Persis yang mengklaim paling tahu, paling benar, paling menguasai, dan kemudian mengisolasi diri dari solidaritas dan dinamika kaum mustadh’afin.
Khatimah : Sebuah Ekspektasi
Akhirnya, jalan keluar yang sebetulnya diusulkan oleh tulisan ini adalah kesediaan dan kesiapan Persis untuk berusaha sekuat tenaga mewujudkan reformasi internal (sebelum ke eksternal yang dimensinya tentu lebih luas lagi) dengan cara melakukan oto-kritik ke dalam tubuh Persis sendiri guna mengembalikan citra Persis kepada eksistensinya sebagai salah satu agen pembaruan yang diperhitungkan di Indonesia. Rethinking, reorientasi, reposisi, dan reaktualisasi peran Persis harus benar-benar dijadikan prioritas utama dan pertama. Dan untuk mewujudkannya tentu saja diperlukan agenda-agenda yang substansial, jelas, dan mengarah pada visi dan misi gerakan pembaruan Persis beserta relevansinya dengan isu-isu strategis yang sedang dan akan terjadi. Muktamar Persis ke-13 nanti di Jakarta pada bulan September 2005 adalah wahana yang tepat untuk dapat mewujudkannya. Semoga!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar