Oleh : Asep Gunawan
“Apa perbedaan asasi antara manusia dengan hewan?”
Sebuah petanyaan klasik yang sudah sejak lama manusia berupaya mencari-cari jawabannya. Dari zamannya Socrates, “provokator” pencerah pemikiran di Yunani, kemudian diikuti oleh santri-santrinya (yang terkenal diantaranya Plato dan muridnya Aristoteles), zaman Nabi Muhammad yang menularkan virus yatafakkaruun (berpikir) dan yatadabbaruun (merenung) kepada sahabat-sahabatnya, hingga zaman sekarang ini, seluruhnya sepakat mengatakan bahwa perbedaannya terletak pada kelebihan potensi berpikir yang dimiliki manusia.
“Manusia dapat berpikir, sedangkan hewan tidak,” jawab ustadz penulis yang mengajar ilmu manthiq ketika di Madrasah Aliyah. “Dari dulu sampai sekarang, yang namanya sarang burung tidak pernah berubah. Bentuk dan modelnya akan tetap begitu selamanya. Coba bandingkan dengan manusia!,” tambahnya memberikan contoh.
Dalam buku yang lebih menyerupai kumpulan pendapat-pendapat, “Ilmu, Filsafat, dan Agama”, Endang Saefuddin Anshari dengan filosofis menyimpulkan bahwa : “Manusia adalah makhluk yang berpikir. Berpikir berarti bertanya. Bertanya berarti mencari jawaban. Mencari jawaban berarti mencari kebenaran. Mencari jawaban tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia, berarti mencari kebenaran tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia”.
***
Dikisahkan dalam sebuah prosa karangan Ibnu Thufail (seorang sastrawan Arab) yang berjudul “Hay bin Yakdhan”, ada anak manusia yang masih bayi merah terpisah dari kedua orang tuanya ketika sedang berburu di hutan. Bayi merah tersebut kemudian dipelihara oleh seekor induk rusa betina. Layaknya seorang ibu pada anaknya, bayi tersebut – sebagaimana pada bayi-bayi rusanya yang lain - disusui, dirawat, dan dipelihara hingga tumbuh menjadi dewasa. Ia dibesarkan di hutan dan bergaul erat di lingkungan keluarga rusa, jauh dari lingkungan kehidupan manusia
Seiring dengan perjalanan waktu, dimana secara alamiah terjadi perubahan- perubahan berarti dalam hidup dan kehidupan, sang bayi merah yang telah tumbuh dewasa ini mulai dapat menggunakan potensi kemanusiaan yang dimilikinya. Ia mulai banyak menyendiri untuk merenung dan berpikir.
Mula-mula ia mempertanyakan perbedaan bentuk jasmani antara dirinya dengan induk dan saudara-saudara rusanya. Kemudian ketika induk rusanya jatuh sakit dan lalu mati, ia mempertanyakan sabab-musabab sakit dan kematiannya itu. Untuk lebih meyakinkannya, ia lalu membedah tubuh sang induk rusa untuk diteliti organ-organ tubuhnya.
Di waktu yang bersamaan, ia juga menyaksikan kematian makhluk-makhluk yang lain. Binatang-binatang yang lainnya dan juga tumbuh-tumbuhan, ternyata mengalami nasib serupa. Lahir, kemudian tumbuh berkembang, lalu mati. Sehingga pada akhirnya, ia sampai pada kesimpulan pemikiran bahwa semua makhluk hidup akan mengalami kematian tanpa terkecuali (bandingkan dengan ayat al-Qur'an "kullun nafsin daa'iqotul maut"). Cuman persoalannya, ia belum dapat mengetahui dengan pasti : "apa dan siapa" yang mengatur kematian seluruh makhluk hidup itu.
Di waktu yang lain, ketika malam begitu cerah, Hay bin Yakdhan (demikian nama "anak alam" itu) duduk menyendiri sambil merenung. Di langit tampak bintang berkerlap-kerlip. Logikanya langsung mensintesis dengan kejadian-kejadian yang mengganjal pikirannya. Apakah sebetulnya dzat yang mengatur alam semesta ini? Bintang-bintang inikah yang mengatur alam semesta?
Ketika siang datang, bintang-bintang itu dengan serta merta hilang. “Tidak mungkin dzat pengatur alam semesta selemah ini,” ujarnya dalam batin.
Di malam yang lain, ia kembali menyendiri sambil merenung. Yang nampak sekarang adalah terangnya bulan purnama. “Mungkin inilah dzat pengatur alam semesta itu. Sebab ternyata bentuknya lebih besar dan sangat menerangi,” pikirnya. Namun, sama seperti bintang, ketika siang datang, bulanpun dengan serta merta hilang. “Tidak mungkin dzat pengatur alam semesta selemah ini,” ujarnya kembali dalam batin.
Ketika siang datang, matahari menjadi raja. Dengan sinarnya yang terang-menderang, matahari itu memukau Hay bin Yakdhan. “Inilah mungkin dzat pengatur alam semesta itu?,” gumannya. Namun, ketika malam datang, sang raja siang itupun tenggelam. “Tidak mungkin dzat pengatur alam semesta selemah ini,” ujar Hay kembali dalam batin.
Akhirnya, setelah lama merenung, ia menyimpulkan bahwa ada dzat maha dasyat yang bersipat transenden yang mengatur alam semesta itu. Dan dzat itu tidak mungkin bersipat berbilang. Ia pasti dzat yang Maha Tunggal. Cuman masalahnya, karena hidup terisolasi dalam hutan, Hay belum dapat mengetahui dengan pasti apa nama dzat itu sebetulnya.
Hingga pada suatu waktu, Hay bertemu dengan seorang ulama yang tersesat di hutan. Dari ulama itulah Hay kemudian belajar bahasa manusia, sehingga akhirnya Hay dapat berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan ulama itu tentang hal-hal yang selama ini menjadi beban pemikirannya. Dan ternyata, kesimpulan pemikiran Hay dengan pemikiran ulama itu berujung pada kesimpulan yang sama. Kemudian, setelah belajar ilmu agama pada ulama itu, Hay bin Yakdhan-pun menjadi seorang ulama yang berilmu luas. Mungkin sekarang namanya ulama-intelektual atau intelektual-ulama.
***
Dari kisah Hay bin Yakdhan di atas, dapat diambil pelajaran bahwa sudah menjadi tabi’at dan sipat kemanusiaannya bila manusia senantiasa menggunakan potensi berpikir yang dimilikinya. Walaupun Hay hidup dan bergaul bukan di habitat lingkungannya, ia tetap mampu mengenal dan mengendalikan potensi hakiki yang dimilikinya. Hasil pemikiran yang bebas dari “polusi” dan “polos”, telah membawa Hay kepada satu kesimpulan pemikiran yang relevan dengan fitrah kemanusiaan dan ketuhanannya yang harus selalu condong kepada nilai kebenaran.
Kisah pencarian Hay terhadap identitas Tuhan yang sangat mirip dengan (atau bahkan menjiplak) kisah nabi Ibrahim ketika mencari hakikat Tuhan dalam al-Qur’an, memberikan sinyalemen tentang langkah-langkah budaya berpikir ilmiah yang sangat jujur dan arif. Di mana pertama kali ketika Hay menemukan fakta-fakta objektif, dia tidak berani langsung menyimpulkan penemuannya. Yang ia lakukan adalah mencari fakta-fakta objektif pendukung lainnya; kemudian setelah itu, ia mengelompokan fakta-fakta objektif tersebut sesuai dengan konteksnya. Lalu dari fakta-fakta objektif yang telah dikelompokan itu dianalisa secara cermat dan akurat. Setelah itu, hasilnya baru disimpulkan.
Dari kisah di atas, ada langkah sangat menarik yang dilakukan oleh Hay, yakni ia tidak menganggap penelitian selesai pada tahapan kesimpulan. Ia tidak merasa puas dengan hasil kesimpulan penelitiannya. Hay menindak-lanjutinya dengan cara melakukan verifikasi (pengujian) hasil penelitian melalui metode diskusi yang ia lakukan dengan ulama yang ditemuinya. Barulah setelah itu disimpulkan secara pinal dengan tanpa menghilangkan prinsip "keterbukaan" terhadap antitesanya.
Hay bin Yakdhan mengajarkan pada kita untuk tidal berpikir su’udzan (prasangka), yang berakar dari tidak lengkapnya informasi fakta-fakta objektif yang kita temui. Fakta-fakta objektif yang tidak didukung oleh fakta-fakta objektif lainnya - apalagi jika tidak dikelompokan sesuai teks dan konteksnya, akan mengakibatkan fakta-fakta objektif menjadi bersipat subjektif. Sehingga yang muncul adalah kesimpulan-kesimpulan pemikiran, yang bukan saja akan bersipat prasangka, tetapi juga akan bersipat artifisial dan bahkan terkadang terdengar “lucu”.
***
Seandainya saat ini orang membudayakan berpikir ilmiah, dan seandainya saat ini orang berpikir bebas “polusi” (alias lepas dari berbagai kepentingan) dan “polos” sebagaimana Hay bin Yakdzan, mungkin saat ini dunia warnanya akan lain. Minimal akan tercerahkan. Dan ini tentu saja akan lebih menggambarkan fitrah kemanusiaan manusia yang sebenarnya.
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.
“Apa perbedaan asasi antara manusia dengan hewan?”
Sebuah petanyaan klasik yang sudah sejak lama manusia berupaya mencari-cari jawabannya. Dari zamannya Socrates, “provokator” pencerah pemikiran di Yunani, kemudian diikuti oleh santri-santrinya (yang terkenal diantaranya Plato dan muridnya Aristoteles), zaman Nabi Muhammad yang menularkan virus yatafakkaruun (berpikir) dan yatadabbaruun (merenung) kepada sahabat-sahabatnya, hingga zaman sekarang ini, seluruhnya sepakat mengatakan bahwa perbedaannya terletak pada kelebihan potensi berpikir yang dimiliki manusia.
“Manusia dapat berpikir, sedangkan hewan tidak,” jawab ustadz penulis yang mengajar ilmu manthiq ketika di Madrasah Aliyah. “Dari dulu sampai sekarang, yang namanya sarang burung tidak pernah berubah. Bentuk dan modelnya akan tetap begitu selamanya. Coba bandingkan dengan manusia!,” tambahnya memberikan contoh.
Dalam buku yang lebih menyerupai kumpulan pendapat-pendapat, “Ilmu, Filsafat, dan Agama”, Endang Saefuddin Anshari dengan filosofis menyimpulkan bahwa : “Manusia adalah makhluk yang berpikir. Berpikir berarti bertanya. Bertanya berarti mencari jawaban. Mencari jawaban berarti mencari kebenaran. Mencari jawaban tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia, berarti mencari kebenaran tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia”.
***
Dikisahkan dalam sebuah prosa karangan Ibnu Thufail (seorang sastrawan Arab) yang berjudul “Hay bin Yakdhan”, ada anak manusia yang masih bayi merah terpisah dari kedua orang tuanya ketika sedang berburu di hutan. Bayi merah tersebut kemudian dipelihara oleh seekor induk rusa betina. Layaknya seorang ibu pada anaknya, bayi tersebut – sebagaimana pada bayi-bayi rusanya yang lain - disusui, dirawat, dan dipelihara hingga tumbuh menjadi dewasa. Ia dibesarkan di hutan dan bergaul erat di lingkungan keluarga rusa, jauh dari lingkungan kehidupan manusia
Seiring dengan perjalanan waktu, dimana secara alamiah terjadi perubahan- perubahan berarti dalam hidup dan kehidupan, sang bayi merah yang telah tumbuh dewasa ini mulai dapat menggunakan potensi kemanusiaan yang dimilikinya. Ia mulai banyak menyendiri untuk merenung dan berpikir.
Mula-mula ia mempertanyakan perbedaan bentuk jasmani antara dirinya dengan induk dan saudara-saudara rusanya. Kemudian ketika induk rusanya jatuh sakit dan lalu mati, ia mempertanyakan sabab-musabab sakit dan kematiannya itu. Untuk lebih meyakinkannya, ia lalu membedah tubuh sang induk rusa untuk diteliti organ-organ tubuhnya.
Di waktu yang bersamaan, ia juga menyaksikan kematian makhluk-makhluk yang lain. Binatang-binatang yang lainnya dan juga tumbuh-tumbuhan, ternyata mengalami nasib serupa. Lahir, kemudian tumbuh berkembang, lalu mati. Sehingga pada akhirnya, ia sampai pada kesimpulan pemikiran bahwa semua makhluk hidup akan mengalami kematian tanpa terkecuali (bandingkan dengan ayat al-Qur'an "kullun nafsin daa'iqotul maut"). Cuman persoalannya, ia belum dapat mengetahui dengan pasti : "apa dan siapa" yang mengatur kematian seluruh makhluk hidup itu.
Di waktu yang lain, ketika malam begitu cerah, Hay bin Yakdhan (demikian nama "anak alam" itu) duduk menyendiri sambil merenung. Di langit tampak bintang berkerlap-kerlip. Logikanya langsung mensintesis dengan kejadian-kejadian yang mengganjal pikirannya. Apakah sebetulnya dzat yang mengatur alam semesta ini? Bintang-bintang inikah yang mengatur alam semesta?
Ketika siang datang, bintang-bintang itu dengan serta merta hilang. “Tidak mungkin dzat pengatur alam semesta selemah ini,” ujarnya dalam batin.
Di malam yang lain, ia kembali menyendiri sambil merenung. Yang nampak sekarang adalah terangnya bulan purnama. “Mungkin inilah dzat pengatur alam semesta itu. Sebab ternyata bentuknya lebih besar dan sangat menerangi,” pikirnya. Namun, sama seperti bintang, ketika siang datang, bulanpun dengan serta merta hilang. “Tidak mungkin dzat pengatur alam semesta selemah ini,” ujarnya kembali dalam batin.
Ketika siang datang, matahari menjadi raja. Dengan sinarnya yang terang-menderang, matahari itu memukau Hay bin Yakdhan. “Inilah mungkin dzat pengatur alam semesta itu?,” gumannya. Namun, ketika malam datang, sang raja siang itupun tenggelam. “Tidak mungkin dzat pengatur alam semesta selemah ini,” ujar Hay kembali dalam batin.
Akhirnya, setelah lama merenung, ia menyimpulkan bahwa ada dzat maha dasyat yang bersipat transenden yang mengatur alam semesta itu. Dan dzat itu tidak mungkin bersipat berbilang. Ia pasti dzat yang Maha Tunggal. Cuman masalahnya, karena hidup terisolasi dalam hutan, Hay belum dapat mengetahui dengan pasti apa nama dzat itu sebetulnya.
Hingga pada suatu waktu, Hay bertemu dengan seorang ulama yang tersesat di hutan. Dari ulama itulah Hay kemudian belajar bahasa manusia, sehingga akhirnya Hay dapat berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan ulama itu tentang hal-hal yang selama ini menjadi beban pemikirannya. Dan ternyata, kesimpulan pemikiran Hay dengan pemikiran ulama itu berujung pada kesimpulan yang sama. Kemudian, setelah belajar ilmu agama pada ulama itu, Hay bin Yakdhan-pun menjadi seorang ulama yang berilmu luas. Mungkin sekarang namanya ulama-intelektual atau intelektual-ulama.
***
Dari kisah Hay bin Yakdhan di atas, dapat diambil pelajaran bahwa sudah menjadi tabi’at dan sipat kemanusiaannya bila manusia senantiasa menggunakan potensi berpikir yang dimilikinya. Walaupun Hay hidup dan bergaul bukan di habitat lingkungannya, ia tetap mampu mengenal dan mengendalikan potensi hakiki yang dimilikinya. Hasil pemikiran yang bebas dari “polusi” dan “polos”, telah membawa Hay kepada satu kesimpulan pemikiran yang relevan dengan fitrah kemanusiaan dan ketuhanannya yang harus selalu condong kepada nilai kebenaran.
Kisah pencarian Hay terhadap identitas Tuhan yang sangat mirip dengan (atau bahkan menjiplak) kisah nabi Ibrahim ketika mencari hakikat Tuhan dalam al-Qur’an, memberikan sinyalemen tentang langkah-langkah budaya berpikir ilmiah yang sangat jujur dan arif. Di mana pertama kali ketika Hay menemukan fakta-fakta objektif, dia tidak berani langsung menyimpulkan penemuannya. Yang ia lakukan adalah mencari fakta-fakta objektif pendukung lainnya; kemudian setelah itu, ia mengelompokan fakta-fakta objektif tersebut sesuai dengan konteksnya. Lalu dari fakta-fakta objektif yang telah dikelompokan itu dianalisa secara cermat dan akurat. Setelah itu, hasilnya baru disimpulkan.
Dari kisah di atas, ada langkah sangat menarik yang dilakukan oleh Hay, yakni ia tidak menganggap penelitian selesai pada tahapan kesimpulan. Ia tidak merasa puas dengan hasil kesimpulan penelitiannya. Hay menindak-lanjutinya dengan cara melakukan verifikasi (pengujian) hasil penelitian melalui metode diskusi yang ia lakukan dengan ulama yang ditemuinya. Barulah setelah itu disimpulkan secara pinal dengan tanpa menghilangkan prinsip "keterbukaan" terhadap antitesanya.
Hay bin Yakdhan mengajarkan pada kita untuk tidal berpikir su’udzan (prasangka), yang berakar dari tidak lengkapnya informasi fakta-fakta objektif yang kita temui. Fakta-fakta objektif yang tidak didukung oleh fakta-fakta objektif lainnya - apalagi jika tidak dikelompokan sesuai teks dan konteksnya, akan mengakibatkan fakta-fakta objektif menjadi bersipat subjektif. Sehingga yang muncul adalah kesimpulan-kesimpulan pemikiran, yang bukan saja akan bersipat prasangka, tetapi juga akan bersipat artifisial dan bahkan terkadang terdengar “lucu”.
***
Seandainya saat ini orang membudayakan berpikir ilmiah, dan seandainya saat ini orang berpikir bebas “polusi” (alias lepas dari berbagai kepentingan) dan “polos” sebagaimana Hay bin Yakdzan, mungkin saat ini dunia warnanya akan lain. Minimal akan tercerahkan. Dan ini tentu saja akan lebih menggambarkan fitrah kemanusiaan manusia yang sebenarnya.
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar