SELAMAT DATANG DI ASGUN INSTITUTE " BANGKIT BERSAMA KAUM MUDA!!! MARI BERBUAT AGAR HIDUP BERMANFAAT " Asgun Institute: Falsafah Iqra' dan Logika Kebangkitan Islam

"Bangkit Bersama Kaum Muda" "Kami Siap Memegang Amanat!"

"Bangkit Bersama Kaum Muda" "Kami Siap Memegang Amanat!"
"Mari Berbuat Agar Hidup Bermanfaat"

Minggu, 22 Juni 2008

Falsafah Iqra' dan Logika Kebangkitan Islam

Oleh : Asep Gunawan

Secara riil, minimal ada dua kenyataan hidup yang sedang dihadapi oleh umat Islam. Pertama, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, sekarang ini sedang terjadi apa yang disebut dengan global village (dunia sudah seperti satu kampung). Dimana saat itu, tidak terlihat jelas batas-batas budaya dan geografis - sehingga perbenturan budaya sudah merupakan suatu hal yang wajar. Siapa yang akan menjadi pemenang dalam pembenturan budaya itu, sangat ditentukan oleh seberapa banyak ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dikuasai. Sayangnya, secara riil, umat Islam sangatlah minim dalam penguasaan bidang ini. Sehingga dapat diprediksi, selamanya umat Islam senantiasa akan menjadi konsumen budaya orang lain. Jangankan mewujudkan sintesa budaya baru, untuk mempertahankan budaya yang sudah adapun sepertinya sangat sulit.
Kedua, seiring dengan pergeseran cara pandang tentang ekonomi, sekarang ini sedang muncul apa yang disebut dengan human capital (yang terpenting adalah modal manusia). Saat ini, yang paling menentukan dalam penguasaan ekonomi, bukan hanya berlimpahnya sumber daya alam dan banyaknya pasokan tenaga kerja, melainkan berkualitas-tidaknya sumber daya manusia yang dimiliki umat Islam, baik dari segi intelektual, skill maupun moral. Oleh karena itu, investasi yang paling menjanjikan bagi umat Islam sekarang ini adalah investasi serius di sektor pendidikan, yang berorientasi kepada pencapaian sumber daya manusia yang memiliki kemampuan intelektual, moral dan skill secara terintegratif.
Pendidikan yang bersistem dan membudayakan membaca, berdiskusi serta menulis, merupakan model pendidikan yang sangat efektif dan pas dikembangkan oleh umat Islam untuk saat ini. Bila model pendidikan seperti ini sudah dapat membudaya di kalangan umat Islam, maka akan sangat diharapkan dapat muncul kebangkitan kembali peradaban Islam yang sedang kita tunggu-tunggu.

Reinterpretasi Iqra’
Beberapa riwayat shohih menerangkan bahwa QS. Iqra ayat 1-5 merupakan ayat yang pertama kali turun. Diriwayatkan, ketika menerima pewahyuan ayat pertama ini, secara psikologis, kondisi Nabi Muhammad belum benar-benar siap. Hal ini disebabkan, karena Nabi Muhammad tidak terbiasa dengan tradisi baca dan tulis - yang karena alasan ini kemudian ada yang menuduhnya Ummiy (dengan makna tidak bisa baca-tulis). Namun, setelah ketiga kalinya - melalu proses belajar dengan bimbingan malaikat Jibril, akhirnya Nabi Muhammad mampu mengucapkan wahyu itu secara fasih dan benar. Keluarlah kata Iqra’ sebagai wahyu yang pertama kali muncul dari bibir Nabi terakhir ini.
Kata Iqra’, yang berbentuk kata kerja perintah (fi’lu amri) yang artinya “Bacalah!”, memberi kesan yang sangat mendalam untuk dimulainya tradisi intelektual. Iqra bi ismi rabbika al-ladzi khalaq, mengandung arti, “Silahkan baca apa saja, asal dalam kerangka mengembangkan nilai ibadah kepada Allah SWT”. Sementara yang menjadi objek baca, sebagaimana telah dirumuskan oleh para mufasir, adalah ayat-ayat Allah yang termaktub - baik secara tersurat ataupun tersirat - dalam bentuk ayat qur’aniyah dan ayat kauniyah. Ayat qur’aniyah adalah ayat-ayat Allah yang dapat dibaca secara tekstual, yakni berupa tulisan - termasuk di dalamnya kitab suci al-Qur’an, buku-buku tafsir dan buku-buku lainnya. Dari pembacaan terhadap ayat qur’aniyah ini lahir dasar-dasar logika deduksi (idealis).
Sedangkan ayat kauniyah adalah objek berupa fenomena kejadian di alam semesta, yang akan melahirkan dasar-dasar logika induksi (empiris). Kedua logika pengetahuan di atas inilah yang menjadi kerangka dasar logika ilmu pengetahuan modern.
Kata iqra’ kemudian menjadi khazanah penting dalam perkembangan peradaban Islam selanjutnya. Sejarah membuktikan, bahwa transformasi sosio-budaya orang-orang baduwi (primitif) menuju masyarakat berbudaya dimulai dari kata Iqra’ ini. Budaya Iqra’ telah merubah masyarakat model jahiliyah menuju masyarakat model ummah (masyarakat yang hidup bersama dalam kesatuan dengan ilmu pengetahuan); hingga pernah mencapai puncak keemasan peradaban pada masanya.
“Kata Iqra memberikan i’tibar (pelajaran) kepada kita bahwa langkah awal untuk mengadakan perubahan sosial yang baik harus diawali dengan iqra’,” simpul Ismail Raji al-Faruqi (Intelektual penggagas islamisasi ilmu).
Di samping kata iqra’, sebetulnya ada dua tema penting lainnya dalam wahyu pertama itu yang berkaitan dengan metode pendidikan yang sangat fundamental, yaitu al-akram dan al-qalam. Kata al-akram, yakni mencapai kemuliaan sebagaimana mulia-Nya Tuhan (Iqra’ wa rabbuka al-akram), memberikan pemahaman bahwa tidak ada proses berhenti setelah iqra’ (membaca). Aktualisasi selanjutnya (setelah membaca) harus diwujudkan dalam bentuk diskusi atau dialog sebagai proses pencarian alternatif keilmuan yang lebih mapan lagi. Tujuannya agar kita bisa lebih bijaksana dan mulia dalam berpikir, bertutur dan bersikap.
Diskusi atau dialog yang sejati akan memproses kesadaran kita pada dua arah. Pertama, kita menjadi semakin mengenal diri kita, memahami dan menghayati sikap-sikap kita, manakala dihadapkan pada pengertian dan penghayatan rekan dialog kita dalam dialektika keilmuan terus-menerus. Walaupun jika keputusan kita akhirnya akan “menutup diri” dengan mengesampingkan paparan dialog itu, kita tetap berada dalam kesadaran diri yang lebih kenal pada batas maupun luas pikiran kita. Kedua, dialog juga akan membawa kita kepada kesadaran baru yang keluar dari diri sendiri, lalu menuju ke pengenalan orang lain dalam bingkai pencarian kebenaran bersama.
Terma selanjutnya adalah al-Qalam (pena), yakni langkah terpenting ketiga untuk menyadarkan dan membangkitkan kembali intelektualisme umat Islam dalam percaturan intelektual dunia. Al-Qalam atau budaya menulis, memainkan peranan yang signifikan sekali dalam tranformasi ilmu pengetahuan. Karenanya, umat Islam dianjurkan untuk menuliskan ilmu pengetahuan yang telah dikuasai untuk kemudian dikomunikasikan melalui tulisan dengan yang lain. Mengingat pentingnya budaya menulis ini, Allah SWT sendiri sampai bersumpah “Demi Pena”, dan dalam al-Qur’an sendiri ada satu surat yang diberi nama pena (surat al-Qalam).
Konsepsi inilah yang telah menjadikan umat Islam menjadi umat yang terdidik, sehingga dapat mencapai sejarah gemilang dalam dunia ilmu pengetahuan. Pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan khazanah ilmu pengetahuan klasik Yunani dan bangsa lainnya yang tertekstualisasikan dalam bentuk tulisan - ditambah dengan pembacaan serius terhadap fenomena alam semesta, serta diiringi dengan budaya diskusi dan menulis, telah menstimulasi lahirnya khazanah keilmuan baru.
Dengan konsepsi inilah Ibnu Sina berhasil merumuskan konsep kedokteran modern yang dituliskannya dalam karya masterpiecenya “al-Qanun fi al-Thib”. Demikian pula dengan Ibnu Rusyd dengan “Bidayat al-Mujtahid”-nya, al-Khawarizmi dengan “Hisab al-Jabar wa al-Muqabala”-nya yang memperkenalkan kegunaan angka-angka terutama nol (0), Ibnu Hayyan, al-Ghazali, dan para ulama-intelektual muslim lainnya.
Namun, ketika muncul dalam diri umat Islam penyakit kebodohan (karakter jahiliyyah yang lebih mementingkan kehidupan konsumtif, materialistis, hedonistis, barbarisme dan fanatisme buta), tradisi intelektual ini sedikit demi sedikit mulai terkikis. Umat Islam lebih merasa senang berprilaku taqlid (mengekor) kepada dogma dan doktrin ketimbang mengembangkan daya nalar kritis. Upaya ijtihad dinilai sebagai sesuatu yang ekstrem dan aneh - atau bahkan berbahaya. Pintu ijtihad sebagai puncak dari tradisi intelektual yang lahir dari sinergi budaya membaca, diskusi dan menulis, benar-benar telah berada dalam fluktuasi mengkhawatirkan. Saat itu, kebangkitan peradaban Islam menjadi sesuatu hal yang bukan saja sangat absurd, tetapi juga tidak terbayang sama sekali dalam pikiran umat Islam.
Kondisi “keterpurukan” ini persis seperti yang dialami oleh bangsa Arab yang dihadapi oleh Nabi Muhammad pada masa awal perjuangannya. Secara sosial, budaya, politik dan ekonomi, masyarakat Arab bukanlah masyarakat yang established. Kedatangan wahyu pertama dan kemudian diikuti dengan wahyu-wahyu yang lainnya sangatlah tepat sasaran. Semangat Iqra’, al-akram dan al-qalam, mampu memberikan sugesti dalam kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi bangsa Arab, yang perlahan-lahan tapi pasti berjalan dinamis menuju fluktuasi kemapanan, sampai akhirnya mampu mencapai sejarah keemasannya. @

Wa Allah A’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar: