Oleh : Asep Gunawan
Bagi seseorang yang memiliki potensi intra-personal di atas rata-rata, segala sesuatu yang ada dan terjadi di hadapannya bisa menjadi “ilmu”. Baginya, benda dan makhluk sekecil apapun pasti memiliki kekuatan “ilmu” yang bisa diambil manfaatnya.
Siapa sangka, hanya dari sebiji buah apel, sambil “melamun” Sir Isaac Newton mendapat gagasan yang kemudian memunculkan teori gravitasi bumi yang terkenal itu. Siapa mengira, hanya dengan meneliti dan memperhatikan cara terbang burung, Wright bersaudara kemudian bisa menciptakan teknologi pesawat terbang sederhana yang menjadi cikal bakal lahirnya pesawat terbang modern.
Bagi Tsa‘i lun yang hidup ratusan tahun lalu sebelum masehi, pohon-pohon bambu yang banyak tumbuh di negeri Cina, sangat menarik minatnya. Dengan dukungan kuat dari potensi intra-personal yang dimilikinya, Tsa‘i lun kemudian mampu menciptakan teknologi pembuatan kertas yang besar manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Bisa dibayangkan, kalau seandainya di dunia ini tidak lahir orang-orang yang memiliki kemampuan mengembangkan potensi diri seperti mereka. Mungkin saja pesawat terbang, mobil, telepon, komputer, kertas, dan alat-alat teknologi modern lainnya, tidak akan muncul meramaikan kehidupan modern saat ini.
Inilah mungkin pelajarannya, kenapa dalam salah satu ayat-Nya, Allah SWT mengaku tidak merasa “malu” membuat perumpamaan (analogi) dengan menggunakan nyamuk - atau kalau dipandang perlu, dengan menggunakan binatang yang lebih kecil lagi (QS. al-Baqarah : 26). Bagi-Nya yang terpenting adalah ibroh (pelajaran) dan manfaat (nilai guna) yang terkandung di dalamnya, yang manusia “wajib” mempelajari dan merenungkannya.
Kata kunci kesuksesan mereka itu sebetulnya hanya satu, yakni kemapanan mentalitas ilmiah yang dimiliki. Bekal inilah yang menjadi modal utama, yang kemudian diramu secara dialektis dengan kemampuan potensi diri yang mereka miliki, akhirnya melahirkan gagasan-gagasan cerdas dan cemerlang.
Mental ilmiah telah membawa mereka menjadi kuat duduk berjam-jam sambil “melamun” mengamati dan meneliti proses siklus hidup benda-benda langit dan bumi. Mental ini juga yang telah mengilhami mereka agar konsisten dalam penelitian dan pengamatannya, mengingat proses perubahan dan dinamisasi alam semesta merupakan hukum alam (sunatullah) yang akan terjadi.
Karakter inilah yang membedakan mereka dengan mayoritas manusia pada umumnya, yang dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar merasa memiliki potensi diri, tetapi karena belum mapannya keajegan mentalitas ilmiah dimiliki, mayoritas ini pada umumnya “tidak berdaya” untuk berpikir dan berbuat sesuatu.
Mungkinkah mereka yang “berhasil” mendaya-gunakan potensi intra-personalnya itu merupakan golongan yang disebut oleh Allah SWT dengan sebutan “Ulul Albab”. Sebab, kalau dilihat dari karakteristiknya yang suka bertafakur dan berani tegas mengatakan : ”Bahwa segala apa yang telah diciptakan-Nya tidaklah sia-sia. Semuanya memiliki manfaat jika manusia merenunginya” (QS. Ali Imran : 191), sepertinya pernyataan itu ada benarnya juga. Mungkin tinggal melengkapinya saja dengan “hobi” berdzikir (ingat) pada Allah SWT, seperti yang ditegaskan dalam QS. Ali Imran di atas.
Ilmuan-ilmuan besar seperti Ibnu Sina, Ibnu Bajah dan al-Khawarizmi serta yang lainnya, lahir dari tradisi “tafakur’ dan ‘tadzakur’. Sebuah sintesa pemikiran akal pikiran dan akal qalbu yang sangat memungkinkan kita mencapai kebenaran Ilahi. Bagaimana dengan kita?
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab
Bagi seseorang yang memiliki potensi intra-personal di atas rata-rata, segala sesuatu yang ada dan terjadi di hadapannya bisa menjadi “ilmu”. Baginya, benda dan makhluk sekecil apapun pasti memiliki kekuatan “ilmu” yang bisa diambil manfaatnya.
Siapa sangka, hanya dari sebiji buah apel, sambil “melamun” Sir Isaac Newton mendapat gagasan yang kemudian memunculkan teori gravitasi bumi yang terkenal itu. Siapa mengira, hanya dengan meneliti dan memperhatikan cara terbang burung, Wright bersaudara kemudian bisa menciptakan teknologi pesawat terbang sederhana yang menjadi cikal bakal lahirnya pesawat terbang modern.
Bagi Tsa‘i lun yang hidup ratusan tahun lalu sebelum masehi, pohon-pohon bambu yang banyak tumbuh di negeri Cina, sangat menarik minatnya. Dengan dukungan kuat dari potensi intra-personal yang dimilikinya, Tsa‘i lun kemudian mampu menciptakan teknologi pembuatan kertas yang besar manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Bisa dibayangkan, kalau seandainya di dunia ini tidak lahir orang-orang yang memiliki kemampuan mengembangkan potensi diri seperti mereka. Mungkin saja pesawat terbang, mobil, telepon, komputer, kertas, dan alat-alat teknologi modern lainnya, tidak akan muncul meramaikan kehidupan modern saat ini.
Inilah mungkin pelajarannya, kenapa dalam salah satu ayat-Nya, Allah SWT mengaku tidak merasa “malu” membuat perumpamaan (analogi) dengan menggunakan nyamuk - atau kalau dipandang perlu, dengan menggunakan binatang yang lebih kecil lagi (QS. al-Baqarah : 26). Bagi-Nya yang terpenting adalah ibroh (pelajaran) dan manfaat (nilai guna) yang terkandung di dalamnya, yang manusia “wajib” mempelajari dan merenungkannya.
Kata kunci kesuksesan mereka itu sebetulnya hanya satu, yakni kemapanan mentalitas ilmiah yang dimiliki. Bekal inilah yang menjadi modal utama, yang kemudian diramu secara dialektis dengan kemampuan potensi diri yang mereka miliki, akhirnya melahirkan gagasan-gagasan cerdas dan cemerlang.
Mental ilmiah telah membawa mereka menjadi kuat duduk berjam-jam sambil “melamun” mengamati dan meneliti proses siklus hidup benda-benda langit dan bumi. Mental ini juga yang telah mengilhami mereka agar konsisten dalam penelitian dan pengamatannya, mengingat proses perubahan dan dinamisasi alam semesta merupakan hukum alam (sunatullah) yang akan terjadi.
Karakter inilah yang membedakan mereka dengan mayoritas manusia pada umumnya, yang dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar merasa memiliki potensi diri, tetapi karena belum mapannya keajegan mentalitas ilmiah dimiliki, mayoritas ini pada umumnya “tidak berdaya” untuk berpikir dan berbuat sesuatu.
Mungkinkah mereka yang “berhasil” mendaya-gunakan potensi intra-personalnya itu merupakan golongan yang disebut oleh Allah SWT dengan sebutan “Ulul Albab”. Sebab, kalau dilihat dari karakteristiknya yang suka bertafakur dan berani tegas mengatakan : ”Bahwa segala apa yang telah diciptakan-Nya tidaklah sia-sia. Semuanya memiliki manfaat jika manusia merenunginya” (QS. Ali Imran : 191), sepertinya pernyataan itu ada benarnya juga. Mungkin tinggal melengkapinya saja dengan “hobi” berdzikir (ingat) pada Allah SWT, seperti yang ditegaskan dalam QS. Ali Imran di atas.
Ilmuan-ilmuan besar seperti Ibnu Sina, Ibnu Bajah dan al-Khawarizmi serta yang lainnya, lahir dari tradisi “tafakur’ dan ‘tadzakur’. Sebuah sintesa pemikiran akal pikiran dan akal qalbu yang sangat memungkinkan kita mencapai kebenaran Ilahi. Bagaimana dengan kita?
Wa Allah A’lam bi al-Shawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar