Oleh : Asep Gunawan
Sebagai agama yang muncul terakhir dalam rentetan agama-agama samawi, Islam memiliki kekhasan tersendiri dalam konsep dan aktualisasinya. Kekhasan konsep Islam ini tidak bisa dilepaskan dari konsep dasarnya yang berdiri diantara dua kaki : dunia dan akhirat. Dalam konsep Islam, dunia dan akhirat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat dua sisi keping mata uang, bila hilang salah satu sisinya, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai keping mata uang. Demikian juga dengan Islam, bukan Islam namanya kalau seandainya dunia terlepas dari akhirat; atau sebaliknya, akhirat terlepas dari dunia. Dalam konteks ini, sangat bisa dimengerti bila umat Islam di dalam setiap kesempatan berdo’a selalu menyelipkan do’a “sapu jagat”, ‘rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina adzaban nar’.
Konsep dasar Islam yang bersipat dualitas ini didasarkan kepada satu dalil bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya memiliki dua misi sekaligus; sebagai khalifah dan sebagai ‘abid. Sebagai khalifah manusia bertugas mewakili Allah untuk mengelola keseimbangan alam semesta yang diciptakan-Nya. Dengan potensi akal pikir yang telah dianugrahkan Allah, manusia dibebaskan untuk menikmati alam semesta beserta isinya. Hanya satu permintaan Allah, agar alam semesta ini senantiasa seimbang, “Janganlah kamu di dalam mengelola alam semesta ini dilandasi dengan sipat dan sikap merusak (destruktif)”. Ketidak-seimbangan alam semesta – dan karena itu alam semesta menjadi murka, nyata telah mengakibatkan terjadinya bencana bagi manusia.
Bencana longsor (baik tanah ataupun sampah) dan banjir di beberapa daerah adalah bukti yang tidak terbantahkan dari ‘logika’ ketidak-seimbangan alam semesta ini. Mewabah massifnya penyakit demam berdarah dan cikungunya (termasuk di dalamnya hama-hama penyakit tanaman pangan) menjadi bukti ada yang salah dalam ‘pergaulan’ kita dengan ekosistem kehidupan yang ada di alam semesta. Untuk tujuan mengingatkan kembali kepada ‘pergaulan’ yang seimbang dengan alam semesta inilah Allah berfirman : “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan, karena manusia tidak memperhatikan keseimbangan alam semesta, agar dapat merasakan sebagian dari karya destruktifnya, dengan harapan bisa kembali kepada ‘pergaulan’ dengan alam semesta yang sebenarnya. ” (QS. Al-Rum : 41)
Sebagai ‘abid (hamba Allah), manusia bertugas beribadah kepada Allah. Dalam kajian fikih Islam, ibadah itu terbagi ke dalam dua bagian; ada yang bersipat ‘sempit’ melalui ibadah mahdhah yang ‘rule of game’ dan waktunya sudah ditentukan seperti shalat, puasa, zakat dan haji; ada juga yang bersipat luas melalui aktivitas hidup tidak terbatas waktu yang diselaraskan dengan niat ikhlas beribadah kepada Allah. Dalam kaitannya dengan macam ibadah yang kedua, Sayidina Ali Ibnu Abi Thalib memiliki prinsip hidup ‘Hayatuna kulluha ibadatun’ (segala ringkah paripolah kita di dunia harus dimaknai dengan nilai ibadah).
Bila kita perhatikan ringkah paripolah Rasulullah SAW sehari-hari yang termaktub dalam catatan hadits, apa yang menjadi prinsip Sayidina Ali itu sudah teraplikasi secara ideal. Dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali, Rasulullah memaknai kisi-kisi hidupnya dengan nilai ibadah – baik dalam arti sempit ataupun luas. Dzikir dalam paradigma Rasulullah tidak terbatas waktu shalat dan berdo’a saja. Dari detik ke detik dalam kesehariannya, dzikir dan fikir (sebagai proses ibadah baik dalam arti sempit maupun luas) menjadi rutinitas dalam aktivitas hidupnya. Efeknya dalam memaknai tugasnya sebagai khalifah, Rasulullah menekankan kepada satu prinsip kesatuan yang seimbang antara dunia dan akhirat.
Ketidak-seimbangan di dalam memandang kehidupan dunia dan akhirat, bukanlah sikap yang dimiliki oleh seorang muslim. Karena itulah Islam tidak merestui munculnya ‘sekulerisme’, satu paham yang tidak mengakui kesatuan antara dunia dan akhirat; tidak ada hubungan sama sekali antara dunia dan akhirat, akhirat dan dunia. ‘Sekulerisme’ hanya akan mengorientasikan tujuan hidup kita pada satu sisi; jika tidak sisi dunia saja, pasti sisi akhirat saja.
Bagi seorang muslim, dunia adalah sawah ladang tempat berjuang (majro’ah), yang hasilnya akan dirasakan ketika memasuki kehidupan akhirat. Maka dari itu, sangatlah proporsional jika Rasulullah pernah menegur dengan keras seseorang yang sehari-hari kerjanya dzikir di mesjid, sementara istri dan anak-anaknya dibiarkan terlantar - sehingga diberi makan oleh mertuanya. Dzikir dalam arti melapadkan ‘amalan’ dzikir tentu tidak dilarang; tapi dzikir yang benar-benar dzikir adalah dzikir yang mampu mensintesakan dua kepentingan yang satu sama lainnya saling menopang; yakni kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.
Cag !
Sebagai agama yang muncul terakhir dalam rentetan agama-agama samawi, Islam memiliki kekhasan tersendiri dalam konsep dan aktualisasinya. Kekhasan konsep Islam ini tidak bisa dilepaskan dari konsep dasarnya yang berdiri diantara dua kaki : dunia dan akhirat. Dalam konsep Islam, dunia dan akhirat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat dua sisi keping mata uang, bila hilang salah satu sisinya, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai keping mata uang. Demikian juga dengan Islam, bukan Islam namanya kalau seandainya dunia terlepas dari akhirat; atau sebaliknya, akhirat terlepas dari dunia. Dalam konteks ini, sangat bisa dimengerti bila umat Islam di dalam setiap kesempatan berdo’a selalu menyelipkan do’a “sapu jagat”, ‘rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina adzaban nar’.
Konsep dasar Islam yang bersipat dualitas ini didasarkan kepada satu dalil bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya memiliki dua misi sekaligus; sebagai khalifah dan sebagai ‘abid. Sebagai khalifah manusia bertugas mewakili Allah untuk mengelola keseimbangan alam semesta yang diciptakan-Nya. Dengan potensi akal pikir yang telah dianugrahkan Allah, manusia dibebaskan untuk menikmati alam semesta beserta isinya. Hanya satu permintaan Allah, agar alam semesta ini senantiasa seimbang, “Janganlah kamu di dalam mengelola alam semesta ini dilandasi dengan sipat dan sikap merusak (destruktif)”. Ketidak-seimbangan alam semesta – dan karena itu alam semesta menjadi murka, nyata telah mengakibatkan terjadinya bencana bagi manusia.
Bencana longsor (baik tanah ataupun sampah) dan banjir di beberapa daerah adalah bukti yang tidak terbantahkan dari ‘logika’ ketidak-seimbangan alam semesta ini. Mewabah massifnya penyakit demam berdarah dan cikungunya (termasuk di dalamnya hama-hama penyakit tanaman pangan) menjadi bukti ada yang salah dalam ‘pergaulan’ kita dengan ekosistem kehidupan yang ada di alam semesta. Untuk tujuan mengingatkan kembali kepada ‘pergaulan’ yang seimbang dengan alam semesta inilah Allah berfirman : “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan, karena manusia tidak memperhatikan keseimbangan alam semesta, agar dapat merasakan sebagian dari karya destruktifnya, dengan harapan bisa kembali kepada ‘pergaulan’ dengan alam semesta yang sebenarnya. ” (QS. Al-Rum : 41)
Sebagai ‘abid (hamba Allah), manusia bertugas beribadah kepada Allah. Dalam kajian fikih Islam, ibadah itu terbagi ke dalam dua bagian; ada yang bersipat ‘sempit’ melalui ibadah mahdhah yang ‘rule of game’ dan waktunya sudah ditentukan seperti shalat, puasa, zakat dan haji; ada juga yang bersipat luas melalui aktivitas hidup tidak terbatas waktu yang diselaraskan dengan niat ikhlas beribadah kepada Allah. Dalam kaitannya dengan macam ibadah yang kedua, Sayidina Ali Ibnu Abi Thalib memiliki prinsip hidup ‘Hayatuna kulluha ibadatun’ (segala ringkah paripolah kita di dunia harus dimaknai dengan nilai ibadah).
Bila kita perhatikan ringkah paripolah Rasulullah SAW sehari-hari yang termaktub dalam catatan hadits, apa yang menjadi prinsip Sayidina Ali itu sudah teraplikasi secara ideal. Dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali, Rasulullah memaknai kisi-kisi hidupnya dengan nilai ibadah – baik dalam arti sempit ataupun luas. Dzikir dalam paradigma Rasulullah tidak terbatas waktu shalat dan berdo’a saja. Dari detik ke detik dalam kesehariannya, dzikir dan fikir (sebagai proses ibadah baik dalam arti sempit maupun luas) menjadi rutinitas dalam aktivitas hidupnya. Efeknya dalam memaknai tugasnya sebagai khalifah, Rasulullah menekankan kepada satu prinsip kesatuan yang seimbang antara dunia dan akhirat.
Ketidak-seimbangan di dalam memandang kehidupan dunia dan akhirat, bukanlah sikap yang dimiliki oleh seorang muslim. Karena itulah Islam tidak merestui munculnya ‘sekulerisme’, satu paham yang tidak mengakui kesatuan antara dunia dan akhirat; tidak ada hubungan sama sekali antara dunia dan akhirat, akhirat dan dunia. ‘Sekulerisme’ hanya akan mengorientasikan tujuan hidup kita pada satu sisi; jika tidak sisi dunia saja, pasti sisi akhirat saja.
Bagi seorang muslim, dunia adalah sawah ladang tempat berjuang (majro’ah), yang hasilnya akan dirasakan ketika memasuki kehidupan akhirat. Maka dari itu, sangatlah proporsional jika Rasulullah pernah menegur dengan keras seseorang yang sehari-hari kerjanya dzikir di mesjid, sementara istri dan anak-anaknya dibiarkan terlantar - sehingga diberi makan oleh mertuanya. Dzikir dalam arti melapadkan ‘amalan’ dzikir tentu tidak dilarang; tapi dzikir yang benar-benar dzikir adalah dzikir yang mampu mensintesakan dua kepentingan yang satu sama lainnya saling menopang; yakni kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.
Cag !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar