Oleh : Asep Gunawan
“Sayang anak, sayang anak,” teriak lelaki muda pedagang aneka mainan anak-anak di sudut Pasar Rebo, Purwakarta. Sambil kedua tangannya (memaksa) menawarkan “momobilan” dan “rorobotan” kepada anak balita dalam gendongan ibunya, tiada henti mulutnya berteriak membujuk : “Sayang anak, sayang anak. Ayo de, ini mainan bagus. Bisa jalan sendiri dengan remote kontrol.”
Si anak yang terkantuk-kantuk, mendapat serangan bertubi-tubi seperti itu, menjadi “curinghak”. Mula-mula hanya melihat, kemudian memperhatikan, lalu kemudian mengelus. Bisa diduga, si anak lalu merengek minta di belikan “momobilan” itu.
Kini tinggal si ibu yang sedikit agak kebingungan. Ibarat buah simalakama; jika dicuekin, si anak akan semakin keras merengek dan juga khawatir disangka tidak sayang anak (minimal oleh pedagang tadi). Jika dibelikan, jelas kontraproduktif dengan program pendidikan anak yang telah disepakati bersama suaminya untuk berprinsip hidup hemat dan produktif, tentunya dengan tanpa membelenggu masa bermain anaknya.
Jelas, sebuah pilihan sulit yang dilematis dan problematik sifatnya. Namun, jelas juga, pilihan kita haruslah yang terbaik untuk mengaktualisasikan rasa sayang sejati kita kepada anak. Jika dalam skup yang bersifat mikro saja, yakni mengurus anak sendiri, kita kebingungan dalam menentukan pilihan yang terbaik. Apalah jadinya bila hal ini terjadi dalam skup yang bersifat lebih makro lagi; mengurus anak-anak bangsa.
Kemarin, kita baru saja menyelesaikan masa-masa “mencekam” Ujian Nasional (UNAS). Namun, alhamdulillah, kita dapat melewatinya, bukan saja dengan sikap cool and calm, melainkan juga (ini yang menjadi kebanggaan kita), rangking kabupaten Purwakarta dalam lingkup Jawa Barat terdongkrak naik ke “papan tengah”; rangking ke-9. Tentu ini membanggakan masyarakat Purwakarta.
Namun, demi keberlangsungan “kesehatan” generasi mendatang masyarakat Purwakarta ke depan, ada beberapa catatan besar yang harus kita coba merenunginya secara arif. Teropong beberapa pengamat pendidikan menemukan beberapa indikasi yang tidak sehat dalam pencapaian hasil UNAS kemarin. Stigma rangking buncit kemarin dan ditambah juga dengan kekhawatiran yang berlebihan, ternyata membuat sebagian praktisi pendidikan kita menjadi gelap mata. Akhirnya yang terjadi adalah peggunaan cara-cara yang tidak sehat dan tidak menyehatkan.
Sepertinya sudah bukan rahasia umum lagi bahwa di tingkat dasar (SD), anak-anak kita sudah dididik cara-cara yang tidak sehat dan tidak menyehatkan itu. Guru pengawas, mungkin atas perintah kepala sekolah, dan kepala sekolah mungkin juga atas perintah pejabat di atasnya, dengan sengaja memberikan kunci jawaban UNAS yang dituliskan di papan tulis. Atau yang lebih demonstratif lagi, guru pengawas sengaja memberikan kunci jawaban UNAS secara langsung kepada anak melalui lisan. Atau yang lebih ironis lagi, seperti yang disinyalir beberapa pengamat pendidikan di kabupaten Purwakarta, soal-soal UNAS sengaja dibocorkan dan sudah dibahas sebelum diujikan.
Ketidak-sehatan ini ternyata merembes naik ke tingkat yang lebih tinggi; SMP dan SMA. Sepertinya pepatah orang kulon, the experience is the best teacher, di masyarakat kita benar-bernar terverifikasi dengan sempurna. Pengalaman ketidak-sehatan ketika duduk di tingkat SD, dinikmati betul oleh sebagian anak-anak kita. Sehingga ketika duduk di tingkat SMP dan SMA, kerinduan untuk mengulanginya, senantiasa terus menggoda. Akhirnya, ketika lulus sekolah, sebagian anak-anak kita kurang memiliki skills dan pengetahuan hidup dan kehidupan yang cukup. Yang menempel lekat (involved) pada diri mereka hanyalah skills dan pengetahuan menyontek; yang sesungguhnya merupakan pupuk alamiah bagi tumbuh-kembangnya prinsip dan sikap ketidak-jujuran dan machiavellisme (menggunakan cara apa saja asal tujuan tercapai).
Ketika anak-anak kita ini sudah terjun ke masyarakat dan memiliki posisi kunci di masyarakat, pengalaman ketidak-sehatan itu akan terus melekat kuat, atau bahkan bisa bertambah lebih mengcengkram. Inilah sesungguhnya akar persoalan dari keterpurukan bangsa ini. Ketika kompetisi hidup dan kehidupan sudah didasari oleh falsafah ketidak-jujuran dan machiavellisme, yang akan muncul kemudian adalah korupsi dan kolusi yang lebih massif, mengganas, dan mengakar lagi. Buah dari investasi bangsa yang perlu kita koreksi dan kita renungkan bersama.
Sudah saatnya kita mulai kembali mengoreksi dasar dari konsepsi pendidikan kita. Rasa sayang terhadap anak memang betul merupakan dasar dari konsepsi pendidikan; baik dalam keluarga, masyarakat, atau-pun negara. Penulis sangat yakin, bahwa ketika para guru, kepala sekolah, dan stakeholders pendidikan berikhtiar meningkatkan nilai UNAS anak-anak didik di kabupaten Purwakarta, dasar dari semuanya adalah rasa sayang terhadap mereka. Namun, rasa sayang seperti apa yang seharusnya kita berikan kepada anak-anak kita? Apakah rasa sayang yang didasari oleh kesejatian atau justru kebutaan?
Rasa sayang sejati kita terhadap anak, akan membawa kita untuk senantiasa hati-hati dalam memilih sesuatu yang terbaik bagi si anak. Orientasinya jelas untuk kebaikan si anak di masa-masa mendatang. Logikanya, walau-pun memang terasa pahit, kalau itu memang obat yang akan menyehatkan, si anak harus dipaksa untuk menelannya. Namun, walau-pun manis, kalau itu racun yang akan menyakitkannya, si anak harus dipaksa untuk menghindarinya. Dalam konteks UNAS kemarin, nilai jelek memang teramat pahit. Namun, sepahit apa-pun, si anak harus dipaksa untuk menelannya. Orang tua dan juga guru, harus terus memberikan motivasi pada si anak, agar pahitnya nilai UNAS itu dapat berguna untuk kesehatan masa depannya.
Logika ini jelas akan berbeda 180 derajat dengan logika sayang yang dasarnya kebutaan. Karena dirasa nilai jelek akan mempahitkan si anak, yang kita berikan kemudian adalah manisnya “racun” nilai bagus dengan cara-cara yang tidak sehat dan tidak menyehatkan. Karena racun yang diberikan, lambat laun, akhirnya racun itu akan menggerogoti kesehatan mentalitasnya. Akhirnya, masa depan hidup dan kehidupan si anak menjadi tidak sehat dan tidak menyehatkan. Sayang yang dasarnya kebutaan adalah sayang yang buta melihat aib dan kejelekan yang dicintai; sehingga kemudian akal sehatnya dimatikan oleh emosi yang irasional dari rasa sayangnya itu.
Penulis hanya bisa berguman, “Hidup memang harus memilih.”
“Sayang anak, sayang anak,” teriak lelaki muda pedagang aneka mainan anak-anak di sudut Pasar Rebo, Purwakarta. Sambil kedua tangannya (memaksa) menawarkan “momobilan” dan “rorobotan” kepada anak balita dalam gendongan ibunya, tiada henti mulutnya berteriak membujuk : “Sayang anak, sayang anak. Ayo de, ini mainan bagus. Bisa jalan sendiri dengan remote kontrol.”
Si anak yang terkantuk-kantuk, mendapat serangan bertubi-tubi seperti itu, menjadi “curinghak”. Mula-mula hanya melihat, kemudian memperhatikan, lalu kemudian mengelus. Bisa diduga, si anak lalu merengek minta di belikan “momobilan” itu.
Kini tinggal si ibu yang sedikit agak kebingungan. Ibarat buah simalakama; jika dicuekin, si anak akan semakin keras merengek dan juga khawatir disangka tidak sayang anak (minimal oleh pedagang tadi). Jika dibelikan, jelas kontraproduktif dengan program pendidikan anak yang telah disepakati bersama suaminya untuk berprinsip hidup hemat dan produktif, tentunya dengan tanpa membelenggu masa bermain anaknya.
Jelas, sebuah pilihan sulit yang dilematis dan problematik sifatnya. Namun, jelas juga, pilihan kita haruslah yang terbaik untuk mengaktualisasikan rasa sayang sejati kita kepada anak. Jika dalam skup yang bersifat mikro saja, yakni mengurus anak sendiri, kita kebingungan dalam menentukan pilihan yang terbaik. Apalah jadinya bila hal ini terjadi dalam skup yang bersifat lebih makro lagi; mengurus anak-anak bangsa.
Kemarin, kita baru saja menyelesaikan masa-masa “mencekam” Ujian Nasional (UNAS). Namun, alhamdulillah, kita dapat melewatinya, bukan saja dengan sikap cool and calm, melainkan juga (ini yang menjadi kebanggaan kita), rangking kabupaten Purwakarta dalam lingkup Jawa Barat terdongkrak naik ke “papan tengah”; rangking ke-9. Tentu ini membanggakan masyarakat Purwakarta.
Namun, demi keberlangsungan “kesehatan” generasi mendatang masyarakat Purwakarta ke depan, ada beberapa catatan besar yang harus kita coba merenunginya secara arif. Teropong beberapa pengamat pendidikan menemukan beberapa indikasi yang tidak sehat dalam pencapaian hasil UNAS kemarin. Stigma rangking buncit kemarin dan ditambah juga dengan kekhawatiran yang berlebihan, ternyata membuat sebagian praktisi pendidikan kita menjadi gelap mata. Akhirnya yang terjadi adalah peggunaan cara-cara yang tidak sehat dan tidak menyehatkan.
Sepertinya sudah bukan rahasia umum lagi bahwa di tingkat dasar (SD), anak-anak kita sudah dididik cara-cara yang tidak sehat dan tidak menyehatkan itu. Guru pengawas, mungkin atas perintah kepala sekolah, dan kepala sekolah mungkin juga atas perintah pejabat di atasnya, dengan sengaja memberikan kunci jawaban UNAS yang dituliskan di papan tulis. Atau yang lebih demonstratif lagi, guru pengawas sengaja memberikan kunci jawaban UNAS secara langsung kepada anak melalui lisan. Atau yang lebih ironis lagi, seperti yang disinyalir beberapa pengamat pendidikan di kabupaten Purwakarta, soal-soal UNAS sengaja dibocorkan dan sudah dibahas sebelum diujikan.
Ketidak-sehatan ini ternyata merembes naik ke tingkat yang lebih tinggi; SMP dan SMA. Sepertinya pepatah orang kulon, the experience is the best teacher, di masyarakat kita benar-bernar terverifikasi dengan sempurna. Pengalaman ketidak-sehatan ketika duduk di tingkat SD, dinikmati betul oleh sebagian anak-anak kita. Sehingga ketika duduk di tingkat SMP dan SMA, kerinduan untuk mengulanginya, senantiasa terus menggoda. Akhirnya, ketika lulus sekolah, sebagian anak-anak kita kurang memiliki skills dan pengetahuan hidup dan kehidupan yang cukup. Yang menempel lekat (involved) pada diri mereka hanyalah skills dan pengetahuan menyontek; yang sesungguhnya merupakan pupuk alamiah bagi tumbuh-kembangnya prinsip dan sikap ketidak-jujuran dan machiavellisme (menggunakan cara apa saja asal tujuan tercapai).
Ketika anak-anak kita ini sudah terjun ke masyarakat dan memiliki posisi kunci di masyarakat, pengalaman ketidak-sehatan itu akan terus melekat kuat, atau bahkan bisa bertambah lebih mengcengkram. Inilah sesungguhnya akar persoalan dari keterpurukan bangsa ini. Ketika kompetisi hidup dan kehidupan sudah didasari oleh falsafah ketidak-jujuran dan machiavellisme, yang akan muncul kemudian adalah korupsi dan kolusi yang lebih massif, mengganas, dan mengakar lagi. Buah dari investasi bangsa yang perlu kita koreksi dan kita renungkan bersama.
Sudah saatnya kita mulai kembali mengoreksi dasar dari konsepsi pendidikan kita. Rasa sayang terhadap anak memang betul merupakan dasar dari konsepsi pendidikan; baik dalam keluarga, masyarakat, atau-pun negara. Penulis sangat yakin, bahwa ketika para guru, kepala sekolah, dan stakeholders pendidikan berikhtiar meningkatkan nilai UNAS anak-anak didik di kabupaten Purwakarta, dasar dari semuanya adalah rasa sayang terhadap mereka. Namun, rasa sayang seperti apa yang seharusnya kita berikan kepada anak-anak kita? Apakah rasa sayang yang didasari oleh kesejatian atau justru kebutaan?
Rasa sayang sejati kita terhadap anak, akan membawa kita untuk senantiasa hati-hati dalam memilih sesuatu yang terbaik bagi si anak. Orientasinya jelas untuk kebaikan si anak di masa-masa mendatang. Logikanya, walau-pun memang terasa pahit, kalau itu memang obat yang akan menyehatkan, si anak harus dipaksa untuk menelannya. Namun, walau-pun manis, kalau itu racun yang akan menyakitkannya, si anak harus dipaksa untuk menghindarinya. Dalam konteks UNAS kemarin, nilai jelek memang teramat pahit. Namun, sepahit apa-pun, si anak harus dipaksa untuk menelannya. Orang tua dan juga guru, harus terus memberikan motivasi pada si anak, agar pahitnya nilai UNAS itu dapat berguna untuk kesehatan masa depannya.
Logika ini jelas akan berbeda 180 derajat dengan logika sayang yang dasarnya kebutaan. Karena dirasa nilai jelek akan mempahitkan si anak, yang kita berikan kemudian adalah manisnya “racun” nilai bagus dengan cara-cara yang tidak sehat dan tidak menyehatkan. Karena racun yang diberikan, lambat laun, akhirnya racun itu akan menggerogoti kesehatan mentalitasnya. Akhirnya, masa depan hidup dan kehidupan si anak menjadi tidak sehat dan tidak menyehatkan. Sayang yang dasarnya kebutaan adalah sayang yang buta melihat aib dan kejelekan yang dicintai; sehingga kemudian akal sehatnya dimatikan oleh emosi yang irasional dari rasa sayangnya itu.
Penulis hanya bisa berguman, “Hidup memang harus memilih.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar